Kamis, 12 Desember 2013

Makalah Pemikiran Pendidikan Islam


PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-QASIBI

Dosen Pembimbing :Mukhlis Fahruddin,M.Pd.
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pemikiran Pendidikan Islam
Semester Ganjil Tahun Ajaran 2012/2013
Disusun oleh:
1.      Arif Mutohir               (11110110)
2.      Helmi Muhammad      (11110106 )
3.      Widya Rahmawati      ( 11110181)












JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2012




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, Taufik Serta Hidayah-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Al-Qabisi” ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,ucapan terima kasih kami kepada :
1.      Mukhlis Fahruddin, M.Pd. selaku dosen pembimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
2.      Teman-teman kelas E yang telah bersedia membantu dan mendukung penyusunan makalah ini.
3.      Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.Amin.




                                                                                                            Malang, 19 September 2012

                                                                                                            Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal perkembangan pendidikan silam telah berdiri tegak di atas dua sumber pokok yang amat penting yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi muhammad Saw. Di dalam kitab suci ini terkandung ayat-ayat mufashalaat (terinci) dan ayat-ayat mubayyinat (yang memberikan buki-bukti kebenaran) yang mendorong kepada manusia untuk belajar membaca dan menulis serta untuk menuntut ilmu, memikirkan, merenungkan dan menganalisis ciptaan langit dan bumi. Oleh karena itumaka tujuan dakwah islamiya adalah untuk memberi cahaya terang kepadahati nurani dan pikiran serta menambah kemampuan umat islam dalam melakukan proses pengajaran dan pendidikan. Karena Rasullah sendiridi utuspertama-tama untuk menjadi pendidik dan beliau adalah guru yang pertama dalam islam.
Walaupun sasaran, metode dan tujuan-tujuan pendidikan islam sangat berbeda dengan apa yang terdapat dalam pendidikan umum, karena pendidikan islam berlandaskan pada Al-qur’an dan sunnah Rasul-Nya, tetapi sistem pendidikan selalu mengkaitkan pola dan sistem pendidikan umum. Pada dasarnya pola pelaksanaan pendidikan islam yaitu untuk menciptakan kondisi kehidupan yang ideal bagi manusia dalam  mrncapai kesatuan hidup sosial sekaligus pembersihan ruh (jiwa), menumbuhkan kecerdasan pikiran, memperkuat jasmani demi mendapat keridhoan dari Allah Swt.
Pada hakekatnya agama islam adalah agama yang mendasarkan kepada persamaan dan tasamuh (toleransi), kebebasan, kasih sayang antara sesama manusia, mengajarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dari aspek inilah pendidikan islam berkembang dengan jiwaagama yang didasarkan pada rasa takut kepada Allah Swt, dan ia berani menghadapi kesulitan hidup dengan berfikir matang.Dalam pendidikan islam dikenal pengertian interaksi seperti yang dikenal oleh para pemikir aliran empirisme-eksteralisme akan tetapi pendidikan islam mengenal adanya interaksi yang tidak mempertentangkan antara perbuatan seseorang yang berkaitan dengan hak-hak asasi terhadap kebebasan berkehendak. Perdaban islam berdiri diatas landasa ilmu dan iman yang kokoh yaitu ilmu yang manfaat yang memberikan kebajikan kepada manusia seluruhnya an iman yang kuat kepada Allah Swt sebagai pencipta langit dan bumi. Ilmu dan iman itu merupakan landasan kuat bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera di dunia dan diakhirat kelak.
Dalam pembahasan kali ini penulis Lebih terfokus pada pendidikan islam zaman klasik terutama pemikiran-pemikiran tokoh islam yangcukup masyhur (terkenal) saat itu, terhadap bagaimana pendidikan islam mampu merealisasikan ketenangan dan kemantapan jiwa anak dalam upaya pengembangan potensi yang dimiliki olek anak didik dan pemahaman terutama hal-hal yang berkaitan dengan agama. Salah satu tokoh islam yang terkenal pada zaman klasik salah satunya yaitu Al-Qabisi yang mempunyai nama lengkap Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf Al-Qabisi yang lahir pada abad ke-3 H tepatnya tahun 224 H. Disini akan dikupas tentang masalah sejarah Al-qabisi, pemikirannya, pandangannya terhadap pendidikan saat itu serta kritik-kritik tokoh lain terhadap Al-qabisi pada masanya. Dalam pembahasan dalam bab selanjutnya semoga mudah difahami tentang salah satu tokoh islam ini, khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya untuk pembaca. Akhiirnya kepada Allah kita memohon petunjuk agar dapat berhasil dalam melaksanakan sistem dan pola pendidikan islam.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang adadi atas maka penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Riwayat Kehidupan dan Biografi Al-Qabisi
2. Bagaimana Riwayat pendidikan Al-Qabisi
3. Bagaimana konsep pemikiran Al-qabisi tentang pendidikan
1.3 Tujuan
Dari berbagai rumusan masalah yang ada di atas, maka penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa/i mampu memahami Riwayat Kehidupan dan Biografi Al-Qabisi
2. Agar mahasaswa/i dapat memahami Riwayat pendidikan Al-Qabisi
3. Agar mahasiswa/i mampu memahami konsep pemikiran Al-qabisi tentang pendidikan
    














BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Al-Qasibi
     Al-Qabisi adalah salah satu tokoh ulama ahli hadis dan seorang pendidik yang ahli, yang hidup pada tahun 324-403 H, tepatnya dikota Qaeruan, Tunisia. Kehidupan Al-Qabisi, Karel Brockelman menyatakan bahwa menurut  Ibnu Khalikan dan Asy-Susyuti dalam kitab “Thabaqat Al- Huffaz”. jugamengutip dari Ibnu Ahmad dalam kitabnya “syadzarat ad-Dzahab”. Mengatakan nama lengkap Al-Qabisi Adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf Al-Qabisi, lahir pada bulan rajabtahun 224 H Atau 13 Mei 1936 dikota Qaeruan.Ia pernah merantau kenegara-negara timurpada 353H atau 963 M selama 5 tahunkemudian kemval kenegeri asalnya dan meninggal dunia pada 3 Robiul Awwal 403 H atau pada tanggal 23Oktober 1012 M.[1]
     Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-‘Abbas Al-Ibyani yang  amat menguasai fikih mazhab Malik. Al-Qabisiy pernah mengatakan tentang gurunya ini: “saya tidak pernah menemukan di Barat dan di Timur ulama seperti Abu al-‘Abbas. Guru-guru lain  yang banyak ia menimba ilmu dari mereka adalah  Abu Muhammad Abdullah bin Mansur Al-Najibiy, Abdullah bin Mansur Al-Ashal, Ziyad bin Yunus Al-Yahsabiy, Ali Al-Dibagh dan  Abdullah bin Abi Zaid.[2]
Al-Qadhi’iyah pernah mengatakan bahwa Abu Hasan ini bukanlah berasal dari kafilah Al-qabisi, tetapi karena pamannnya mengenakan surba dikepalanya rapat-rapat yang bertentangan dengan kebiasaan orang Qabisi, maka ia diberi nama Al-qabisi. Sebenarnya ia adalah penduduk Qaeruan. Pendapat ini sesuai dengan keterangan As-Shafdi yang menyatakan bahwa nama Al-qabisi itu diberikan kepadanya karena karena pamannya mengenakan surbanterlalu ketat dikepalanya.[3]
     Barangkali Al-Qabisi bukan dari keturunan ulama yang termasyhur, atau bangsawan ataupun hartawan sehingga asal keturunannya tidak banyak digambarkan sejarah, namun namanya terkenal setelah ia menjadi  ilmuan yang berpengaruh dalam dunia Islam.
Dengan memperhatikan apakah ia bersuku Qabisi atau pun Qaeruan, yang jelas bahwa dia dikenal sebagai orang yang tinggaldi qaeruan. Dan ia pernah pergi haji ke tanah suci lalu kembali pulang kenegerinya. Dia juga pernah tinggal dimesir bebrapa waktu lamanya, serta berguru pada seorang ulama di Iskandariyah. Dia memperdalam ilmu agama, Al-hadist dari ulama-ulama terkenal di Afrika utara, sepertiAbul Abbas Al-Ibyani dan Abul Hasan bin Masrur Ad-Dibaghi, dan Abu Abdillah bin Masrur Al-Assaali dan sebagainya. Para pengamat Aliran Al-qabisi sepakat bahwa dia adalah ulama yang hafal hadist yang terkemuka dalam ilmu ini, dan alim dalam matan-matan dan sanad-sanad Al-hadis sehingga dikenal sebagai ulama yang shaleh, taqwa dan wira’i.
     Ia mengintegrasikan antara ilmu dan ibadah, yang takut kepada Allah, berbudi halus bersih jiwanya dan pecinta orang fakir. Pada zamannayia terkenal sebagai ulama yang menonjol, di mana ia gemar berpuasa, shalat tahuajud waktu malam, berwatak qana’ah (menerima apa adanya), berhati halus terhadap orang-orang yang menderita musibah dan ia sendiri tahan dan sabar terhadap segala penyakit yang menimpa dirinya. Pada waktu ia tinggal di Qaeruan, mahzab maliki berkembang pesat diwilayah afrika utara maka dari itu Al-qabisi belajar kepada guru-guru yang bermadzab maliki, sampai ia menjadi orang yang ahli fiqih, ahli hadist bermadzab maliki ini. Salah satu karya tulisannya yang berkaitan dengan topik yang kita bahas disini  adalah kitab “ Ahwal Al-Muta’alimin wa Ahkam Al-Mu’allimin wal Muta’alimin.[4]
     Al-Qabisi hidup dalam kondisi sosial keagamaan yang semarak dan sangat mantap dengan mempelajari, menyebarluaskan dan mengajarkannya. Dimana lebih banyak diwarnai aliran Mazhab Maliki, satu aliran yang tergolong Ahlussunnah, sehingga tuntutan masyarakat dalam bidang pendidikan cenderung pada masalah-masalah keagamaan.
Dunia pendidikan diwaktu itu banyak diwarnai oleh pemikir Islam klasik yang konsen terhadap masalah pendidikan yaitu Ibnu Sahnun, dengan karyanya bernama "Adabal al-Mualllimin" sebuah kitab kecil tentang pendidikan yang akhirnya nanti, banyak mempengaruhi pemikiran Al-Qabisi.
Al-Qabisi merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab. la menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya al-Mumahid fi al-Fiqh dan al-I'tiqadat.
Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan berjudul: "al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa al-Muta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi ke dalam 3 juz.[5]
Dalam hubungannya dengan nama kitab tersebut, Dr. Al-Ahwani membenarkannya, bahwa kitab ini adalah merupakan rincian perilaku murid dan hukum-hukum yang mengaturpara guru dan murid, “ maka jelaslah bahwa dengan menyebutkan nama kitab tersebut, membuktika bahwa kitab ini merupakn salah satu kitab yang terkenal dibidang ilmu pendidikan islam pada abad ke-4 H dan sesudahnya.[6]
Beberapa kondisi  mengenai kehidupannya sejak dia dilahirkan sanpai menjadi ulama ahli hadistyang terkenal ada beberapa diantaranya:
1. Kondisi ilmiah dan Perkembangan Ilmiah pada Masa Al-Qabisi
          Al-Qabisi adalah merupakan cerminyang tepat bagi masanya. Ia menjadi seorang ahli hadist dimana pengaruhnya besar sekali dalam lingkungan kehidupan masyarakat islam yang utuh. Pada masa itu ada dua madzab yang berpengaruh terhadap cara berfikir islam terutama setelah kaum muslimin menetap benar-benar dinegara-negara Maghribi (afrika utara), dengan kota Qaeruan menjadi pusat perkembangan ilmu diwilayah itu.
          Masyarakat afrika pada umumnya menganut madzab maliki, karena madzab ini berkembang pesat sekali, disamping madzab ini cukup cocok didaerah itu, sehingga akar-akar madzab ini menancap kuat dibumu magribi dan mempunyai cabang-cabang yang subur padapertengahan abad ke-3 H.[7] Karena madzab ini dianggap cocok terhadap pola pikir oleh masyarakat afrika utara saat itu, sehingga mereka berpegang kuat-kuat terhadap nash-nash agama dan tidak ingin melanggarnya.
          Dengan sikap demikian, mereka lebih dekat dengan langkah-langkah para ulama fiqih dan ahli hadist, dan madzab ini sebanding dengan madzab ahli fikir dan qiyas. Sesungguhnya madzab maliki telah tersebar luas dikawasan sebelah utara benua afrika. Dengan demikian maka penduduk negara-negara islam dikawasan tersebut terdiri dari penganut madzab maliki dalam fiqihdan hadist, madzab ini yang akhirrnya berpengaruh dalam aliran Al-qabisi yang mereka pilih untuk didikuti, dan disebarkan dikawasan afrika utara ini.[8]
          Ketiki aliran paham pendidikan berlawanan dengan aliran paham filsafat, akal dan agama yang di ikuti oleh para pemimpin umatdan filosof saat itu, maka madzab al-qabisi dalam paham pendidikan menjadi cermin yang terpercaya darikehidupan lingkungan sekitar dengan menunjukkan jalan yang jelas tentang dasar-dasar yang dipedomani pada zamannya di wilayah afrika utara.[9]
2. Kurikulum Menurut Madzab Al-Qabisi dan Pengaruhnya Terhadap Madzab Agama
          Al-Qabisi sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai pengajaran anak-anak di khuttab-khuttab. Barang kali pendapatnya tentang pendidikan anak-anak ini merupakan tiang yang pertama dalam pendidikan islam dan juga bagi pendidikan umat yang lainnya. Al-qabisi tidak menentukan usia tertentu untuk menyekolahkan anak dilembaga khuttab. Oleh karena pendidikan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya semenjak mulai anak dapat berbicara fasih yakni pada usia mukkalaf yang wajib diajar bersembayang (menurut hadist nabi). Rasulullah Saw bersabda: “perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat paa waktu usia tujuh tahun dan pukullah mereka pada usia sepuluh tahun”. Dari sabna nabi tersebut dapat didsimpulkan bahwa pendidikan islam dimulai pertama-tama yakni dirumah.
          Anak-anak yang belajar dikhuthab mula-mula di ajar menghafal Al-qur’an lalu di ajar menulis, dan pada waktu dhuhur mereka pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang, kemudian kembali lagi ke khuttab untuk belajar lagi sampai sore hari.  Anak-anak yang belajar di khuttab berlangsung sampai masa akil baligh, yang mempelajari berbagai ilmu seperti Al-Qur’an, tulis menulis, nahwu, dan bahasa arab, juga sering belajar ilmu hitung dan syair serta kisah-kisah arab.metode pengajaran dengan mengerjakan tugas berulang kali disertai dengan hafalan, tolog menolong antara satu dengan yang lain untuk memantapkan hafalan, antara lain dengan menggerakkan tangan untuk menuliskan apa yang dihafal, memfungsikan mata untuk mengamati dan membaca, serta penggunaan daya menghafal dan mengingat, kemudian anak disuruh menunjukkan hasilnya dihadapan guru.[10]
          Diantara pendapat Al-qabisi ialah bahwa agama itu mempersiapakan anak untuk kehidupan yang serba baik, dan baginya kurikulum pendidikan dapat dibagi menjadu dua kategori yakni kurikulum ijbari (wajib) dan kurikulum ikhtiyari (tidak wajib) sebagai berikut:
a) kurikulum Ijbari
   kurikulum yang terdiri dari pada kandungan ayat-ayat Al-qur’an seperti sembayang dan doa-do’a. Sebagian para ahli mengatakan bahwa ilmu nahwu dan bahasa arab, keduanya merupakan persyaratan mutlak nutuk memantapka dalam membaca Al-qur’an,tilawah, menulis dan hafalan.[11]
b) Kurikulum Ikhtiyari      
Kurikulum ini berisi ilmu hitung, dan seluruh ilmu nahwu, bahsa arab, syair, kisah-kisah arab.
Menurut pandangan ibnu khaldunbahwa kurikulum yang berkembang di kawasan afrika utara dan di negara islam lain, mengalami pernedaan karena perbedaan geografis, yang kadang-kadang  berkisar pada permasalahan bentuk dan sistemnya. Metode yang pertama diatas jika di tinjau dari segi pendidikan modern ada;ah lebih baik dan lebih berdaya guna karena seluruh kawasan negara islam dengan tanpa syarat menyetujui caramendidik dengan mendahulukan pengajaran Al-qur’an beserta dengan keharusan mengajar baca dan tulis, nawu serta bahasa arab.
Jika memperbandingkan kurikulum yang ditetapkan Alkhutab pada abad ketiga hijriyah dengan yang di ajarkan diAl-khuttab pada abad-abad kemudian, maka tidak menemukan perbedaanya esensi keberhasilanya terletak pada sikap taat dengan taklid (mengikuti tanpa kritik). Al-Qabis tidak mau menerima perilaku yang merendahkan Al-Qur’an dan ia memohon perlindungan kepada tuhan dari [erilaku seperti itu, Al-qabisi memberikan garis agar orang islam meninggalkan jauh perilaku yang hina, karena jika sampai terjadi penghinaan terhadap Al-qur’an maka pasti terjadi kerusakan yang merajalela.
Adapun kondisi lingkungan hidup sosial-budaya paada masa Al-Qabisi adalah bersifat keagamaan yang mantap sehinggatdak memungkinkan timbulnya paham Atheisme dam Materialisme 9 seperti sekarang yang kita saksikan). Maka dari itu Al-Qur’an dan shalat beserta segenap ilmu yang berkaitan dengan pemahamannya dikenal,oleh setiap orang islam, ari usaha memotivasi sampai kegiatan mempelajari ilmu-ilmu itu.[12]
Al-qabisi memperkuat dan mengabadikan sistem yang demikian itu karena menjadi gambaran yang benar dari semangat zaman-Nya. Al-Qabisi bersama-sama ulama fiqih dan ahli hadis pada masa itu telah berusaha menerangkan dan memberi pandangan kepada kita tentang kurikulum ijbari (wajib) yang menyatakan bahwa Al-qur’an dalah kalam Allah yang menjadi sumber hukum dan tasnya tidak menderyri’. Ia menjadi referensi khususnya kaum muslimindalam masalah ibadah dan muamalat. Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al-qur’an sebagai berikut:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَوَ اَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَ عَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab allah dan mendirikan sembayang dan membelanjakan hartanya ke jalan allah setengah dari apa yang kami rezekikan kepada mereka baik dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara terang-terangan mereka mengharapka usaha dagangnya tidak menderita kerugian (Q.S. fatir: 29).
Al-qabisi sebagai ahlifiqih dan hadis memandang bahwa lebih baik diajarkan Al-Qur’anlebih dahulu pada anak sejak dini yakni dengan syair dan bahasa arab seta ilmu berhitung. Al-Qabisi mensyaratkan pengajaran Al-Qur’an dengan tartil yang baik dan tajwidnya, waqafyang tepat, mengambil contoh dari pembaca yang bagus. Al-qaisi mengutip pendapat Ibnu sachnun bahwansanya kita mengajar anak-anak bagaimana mengikrabkan Al-qur’an , anak harus dibiasakan dengan menaruh syakal, menghafal alfabet arab dan belajar tulisan indah.
Dlam kurikulum Al-Ijbari menurut pandangan Al-qabisi bahwa pelajaran yangwajib trdiri dari:
1. Al-Qur’an al Karim
2. shalat doa-doa
3. menulis dan nahwu, dan
4. sebagian bahasa arab.[13]
Karena ilmu ini mendidik budi pekerti anak da;lam mencintai agama serta mengajarkan anak hidup dijalan yang terpuji.
2.2 Riwayatpendidikan Al-Qabisi
Sebagaimana lazimnnya para pelajar muslim pada masa kerajaan Islam dalam mencari ilmu pengetahuan, yaitu dengan berpindah-pindah tempat belajar dan mencari sejumlah guru dengan disiplin ilmu yang berbeda pula. Tak terkecuali al-Qabisi yang hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika ulama terdahulu memiliki banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Di Kairawan Afrika beliau belajar kepada sejumlah ulama ternama di antaranya:
       Abul 'Abbas at-Tamimy (w.352 H) seorang ahli fiqih yang bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia. Darinyalah al-Qabisi mendapat sejumlah nama-nama guru, baik dari Timur maupun dari Barat dunia Islam tempat beliau melanjutkan rihlah ilmiah nantinya.
       Ibnu Masrur ad-Dibagh (w.359 H)
       Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H), seorang faqih yang bermazhab Maliki di Kairawan.
       Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)
       Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang disegani karena kewara'an dan kemulian pribadinya.
       Durras bin Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang faqih yang berhaluan Asy'Ary dalam Theologi
       Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama yang produktif dalam menulis berbagai kitab tentang ilmu Tasawuf.(w.370 H)
       Abu Ishak al-Jibinyani (w.369 H) seorang ulama yang terkenal karena permohonannya.
     Di Afrika kelihatannya al-Qabisi banyak belajar tentang ilmu fiqih dan akhlak. Oleh karenanya, pada tahun 352 H bertepatan dengan 963 M al-Qabisi berangkat ke Timur tepatnya tanah Hijaz dan Mesir. Tujuan utama adalah menunaikan haji, di samping belajar mencari ilmu pengetahuan. Disana beliau belajar kepada sejumlah guru, diantaranya:
       Abul Qasim Hamzah bin Muhammad al-Kinani, seorang 'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi belajar kitab hadist An-nasa'i
       Abu Zaid Muhammad bin Ahmad al-Marwazi seorang ulama Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih al-Bukhory
       Abul Fath bin Budhan (w.359) ulama Mesir ahli qiraah
       Abu Bakar Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali, seorang ulama terkenal di Mesir, dari beliau al-Qabisi banyak mengambil teladan
       Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad al-Jurjani salah seorang ulama perawi Shahih Bukhary
       Abu Dzar al-Harwi (w.434 H), seorang faqih Maliki yang terkenal dengan karyanya Musnal al-Muwaththa' darinyalah al-Qabisi mempelajari hadist Imam Maliki dengan kitabnya al- al-Muwaththa'[14]
     Pada tahun 357H/967M beliau pulang ke Kairawan untuk menerapkan ilmu yang telah dikuasainya. Dari perjalanannya mencari ilmu pengetahuan menghantarkannya menjadi seorang alim dalam fiqih dan hadist. Di Kairawan beliau menjadi seorang guru sekaligus kepala madrasah al-Malikiyah yaitu madrasah al-Fikriyah al-Aqa'idiyah menggantikan teman sepergurunnya Ibnu Abi Zaid al-Kairawan (w.389 H). Banyak murid yng belajar kepada beliau dan selanjutnya menjadi ulama besar, bail dari Afrika maupun dari luar Afrika, terutama dari Andalusia.[15]
     Di tinjau dari keadaan politik mada itu (324-403 H masa kehidupan al-Qabisi) Afrika dikuasai oleh dinasty Fathimiyah yang bermazhab Syi'ah. Ketika itu dynasty Fathimiyah dipimpin oleh kekhalifahan al-Mu'iz li Dininillah. Pada tahun 362 H  Mesir ditaklukkan dan dikuasai oleh khalifah al-Mu'iz di bawah panglima Jauhar al-Shiqli. Di bawah kekuasaan Syi'ah ekstrim ini, al-Qabisi mampu berhaluan Asy'ary bermazhabkan fiqih Maliki. Oleh karena itu, dapat kita lihat tidak adanya subsidi pemerintah terhadap madrasah yang beliau pimpin.
     Dari penjelasan ditas dapat dilihat, bahwa al-Qabisi adalah seorang ahli hadist dan ulama bermazhab Maliki serta di beliau hidup dimasa kekuasaan Syi'ah yang ekstrim. Pengalamannya menjadi guru dan pemimpin madrasah, menghantarkan al-qabisi sebagai ahli dalam bidang pendidikan. Latar belakang ini mempengaruhi konsepnya tentang pendidikan Islam. Keahliannya yang begitu kuat dalam bidang Fiqih dan hadist mrmbust sl-Qabisi telah mengambil corak pemikiran keislaman normative, tetapi bukan berarti doktrin. Dengan demikian, maka acuan yang digunakan dalam merumuskan pemikirannya ternasuk bidang pendidikan adalah paradigma fiqih dan hadist.
2.3 Konsep pemikiran Pendidikan Al-Qasibi
Diatas telah dikemukakan bahwa selain ahli dalam bidang hadis dan fiqih, Al-Qabisi juga ahli dalam bidang pendidikan. Hal ini dapat diketahui daribeberapa konsep pemikirannya tentang pendidikan. Beberapa konsep pemikiran pendidikan menurut Al-Qabisi, yaitu:
1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara.Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.[16]
Selanjutnya ia juga terkenal sebagai ulama yang berakhlak mulia. Keluasan ilmunya yang tinggi dibarengi dengan ketekunan ibadah dan budi pekerti mulia, menyebabkan apa yang diajarkannya kepada orang lain akan dapat diterima. Sifat inilah yang nantinya menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan seorang guru dalam mengajar.
2. Tujuan Pendidikan
Sejalan dengan sikapnya yang berpegang teguh kepada agama dengan spesialisasi pada bidang fiqih yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.[17] Tujuan umum pendidikan yang dipegang oleh Al-Qabisi dan mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nlai-nilai agama yang murni.[18]Namun demikian Al-Qabisi uga menghendaki tujuan pendidikan yang mengarahkan agar anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuannya mencari nafkah.
Dalam hubungan ini ia juga mengatakan bahwa pada hakikatnya pendidikan keterampilan kerja setelah memperoleh pendidikan agama dan akhlak, akan menolong anak itu keterampilan bekerja, mencari nafkah dengan didasari rasa taut kepada Allah dalam bekerja.[19]Tujuan pendidikan demikian itu, kini disebut dengan tujuan pendidikan agama. Sementara tujuan pendidikan yang bercorak keduniaan tampaknya hanya merupakan alat untuk dapat menolng kehidupan ekonomi seseorang, dengan cara memberikan keterampilan yang memadahi.
3. Kurikulum
Dilihat dari segi isi mata pelajaran (kurikulum) yang diajarkan kepada anak didik, Al-Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian, dengan uraian sebagai berikut.
A. Kurikulum Ijbari
Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak. Kurikulum model seperti ini terdiri dari kandungan ayat-ayat al-qur’an seperti sembahyang dan doa-da, ditambah dengan penguasaan terhadap ilmu nahwu dan bahasa arab yang keduanya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan bacaan, tulisan dan bacaan al-qur’an.
Al-Qabisi lebih lanjut mengatakan bahwa dimasukkannya pelajaran membaca dan menulis alqur’an kedalam kurikulum ijbari adalah karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah dan menjari sumber hukum tasyri’. Al-Qur’an menjadi referensi (rujukan) kaum muslimin dalam masalh ibadat dan mu’amalat.Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al-Qur’an sebagai berikut.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَ اَقَامُوْا الصَّلَوةَ وَ اَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَ عَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Q S. al-Fathir: 29).
     Itulah sebabnya kemampuan membaca, menulis dan memahami Al-Qur’an merupakan persyaratan untuk melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Selain itu karena didalam Al-Qur’an terkandung pula petunjuk dan ajaran utama mengenai berbagai masalah yang dihadapi manusia.
     Lebih lanjut Al-Qabisi melihat bahwa dengan mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari Al-Qur’an dengan sembahyang dan berdoa, berarti telah mengintegrasikan antara aspek berpikir, merasa dan berbuat (beramal). Prinsip kurikulum demikian itu sesuai dengan pandangannya mengenai ilmu jiwa yang ditetapkan melalui tiga prinsip yang logis, yaitu; (1) menumpahkan perhatian kepada pengajaran Al-Qur’an, karena ia adalah jalan yang ditempuh untuk menambah makrifat kepada Allah serta mendekatkan kepada-Nya, (2) pentingnya ilmu nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suci Al-Qur’an secara benar. (3) mengajarkan bahasa arab sebagai alat memahami makna ayat Al-Qur’an beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan mengucapkannya dengan lancar.
b. Kurikulum Ikhtiyari (tidak wajib/pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa arab, sya’ir, kisah-kisah masyarakat arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammar) dan bahasa arab lengkap. Selanjutnya kedalam kurikulum ikhtiyari ini Al-Qabisi memasukkan pelajaran keterampilan yang dapat mengasilkan produksi kerja yang mampu membiaai hidupnya di masa yang akan datang.
Dengan demikian pendidikan keterampilan yang menlong mencari nafkah yang dilakukan setelah seseorang memperoleh pendidika akhlak akan menolong seseorang menjadi orag yang seimbang, yaitu seseorang yang dapat membiayai hidupnya sendiri serta senantiasa taat dalam menjalankan perinta-perintah Allah SWT.
Perlu pula ditambahkan disini, bahwa dalam kurikulum ikhtiyari ini, Al-Qabisi memasukkan pelajaran berhitung. Dalam hubungan ini Al-Qabisi menyetujui pengajaran berhitung sebagai yang tidak bersifat mutlak.Lebih lanjut Al-Qabisi mengatakan sebaiknya mengajarka berhitung itu didasarkan atas izin orang tua anak, sehingga persetujuan orang tua menjadi persyaratan bagi pengajaran berhitung itu.
selanjutnya Al-Qabisi mencoba memberikan penjelasan tentang mata pelajaran syair yang dimasukkan dalam kurikulum ikhtiyari ini. Al-Qabisi tidak menentang pelajaran syair, karena didasarkan atas sebuah hadits nabi yang mengatakan bahwa syair tu merupakan kalimat atau perkataan yang dapat membuat orang menjadi fasih dalam berkata-kata serta menghaluskan hatinya dalam  suatu waktu tertentu, dan akan dapat memperoleh kesaksian terhadap apa yang ingin ia jelaskan.
Sejalan dengan pelajaran syair tersebut, Al-Qabisi juga mengatakan bahwa pelajaran syair itu sesungguhnya mengandung pendidikan seni keindahan yang jika diajarkan maka tidaklah akan hilang unsure seninya itu. Selanjutnya pelajaran tentang kesenian ini dapat pula dikaitkan dengan pelajaran menulis indah (al-khatt/kaligrafi) yang pada saat itu merupakan seni keindahan yang berkembang luas diwilayah Maghribi.
Selanjutnya Al-Qabisi menjelaskan tentang dimasukkannya pelajaran sejarah kedalam kurikulum ikhtiyari. Menurutnya mengajarkan sejarah bangsa arab tidak ada yang menentangnya. Menurutnya dalam pelajaran sejarah tersebut terkandung pengetahuan tentang tokoh-tokoh penting, pemimpin-pemimpin yang berjiwa pahlawan kesatria, yang pada gilirannya dapat menimbulkan rasa mencintai tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin teladan itu serta dapat mendorongnya kearah berbat baik seperti apa yang dilakukan oleh mereka yang dikemukakan dalam sejarah tersebut.
Dengan demikian terlihat dengan jelas Al-Qabisi amat selektif dalam memasukkan mata pelajaran ke dalam kurikulum yang bersifat ikhtiyari, yaitu selalu dikaitkan dengan tujuan untuk mengembangkan kekuatan akhlak mulia pada diri si anak, menumbuhkan rasa cinta pada agama, berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Namun demikian kurikulum yang dikemukakan Al-Qabisi itu untuk masa sekarang lebih tepat dikatakan sebagai kurikulum pendidikan agama, bukan kurikulum dalam arti yang luas.
4. Metode dan teknik belajar
Selain membicarakan kurikulum, Al-Qabisi juga berbicara tentang metode dan teknik mempelajari mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum  itu. Ia misalnya telah berbicara mengenai teknik dan langkah-langkah menghafal Al-Qur’an dan belajar menulis. Menurutnya bahwa langkah-langkah penting dalam menghafal Al-Qur’an dan belajar menulis ditetapkan berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik yang dapat mendorong meningkatkan kecerdasan akalnya, yaitu pada waktu pagi-pagi selama seminggu terus menerus dan baru beristirahat (libur) sejak waktu setelah dhuhur hari kamis sampai dengan hari jum’at.Kemudian belajar lagi pada hari sabtu pagi hingga minggu berikutnya.
Al-Qabisi menganjurkan tnentang keharusan anak pulang kerumah masing masing diwaktu siang hari untuk makan siang dan harus kembali ke Kuttab stela sembahyang dhuhur tepat pada waktu-waktu istirahat dantara dua waktu belajar dalam satu hari. Mengapa Al-Qabisi memperhatikan waktu istirahat, karena hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pendidikan modern yang memberikan waktu istirahat sebagai waktu yang amat penting untuk menyegetkan kemampuan berpikir mereka.
Metode menghafal yang diajukan Al-Qabisi itu didasarkan pada pemahaman sebuah hadits nabi SAW. Tentang menghafalkan Al-Qur’an, yang diumpamakan oleh nabi dengan “perumpamaan Al-Qur’an itu seperti unta yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta iyu akan terikat erat pula, dan jika ila melepasakan tali ikatannya, maka ia akan pergi.” Jika orang yang hafal Al-Qur’an di waktu malam dan siang hari mengulang-ulanginya, maka ia akan tetap mengingatnya, dan jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan melupakannya (hilang hafalannya).
Selanjutnya Al-Qabisi mencoba menjelaskan hubungan yang erat antara metode menghafal dengan pendidikan akal. Menurutnya, bahwa pendidikan akal tidak lain kecuali merupakan bagian dari usaha menuntut ilmu, dan pada tahap pertamanya adalah mengingat-ingat secara verbal. Semampuan mengingat merupakan persyaratan mutlak bagi para ahli ilmu pengetahuan kimia, tumbuh-tumbuhan dan matematika, karena pekerjaan ilmiah itu menuntut  mereka untuk menghafalkan rumus-rumus dan dalil-dalil atau asas-asasnya.
5. Pencampuran Belajar antara Murid Laki-laki dan Perempuan.
Pencampuran belajar antara  murid laki-laki dan pemrempuan dalam satu tempat atau dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi perhatian Al-Qabisi. Ia tidak setuju apabila murid laki-laki dicampur dengan murid perempuan dalam al-kuttab, sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia baligh (dewasa). Menurut Al-Qabisi bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar adalah suatu hal yang tidak baik. Dalam hubungan ini Al-Qabisi menilai, sungguhpun pendapatnya terkesan kuno, namun pendapat itulah yang sesuai dengan garis ajaran agama Islam, karena anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga sampai waktu dewasa.
Salah satu alasan mengapa Al-Qabisi berpegang teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia khawatir kalau anak-anak itu menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa (sudah bermimpi coitus), kecuali bila anak remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa).
6. Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut Al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat.Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian.Ia menghendaki agar penyelenggaraan pendidikan anak-anak muslim dilaksanakan dalam satu ruang dan memperoleh pengetahuan dari pendidik yang satu, sehingga tidak perlu dibagi-bagi menjadi tigkat atau jenjang. Pendapatnya yang demikian mengisyaratkan adanya paham demokrasi pendidikan.
Selanjutnya Al-Qabisi mengajak para guru agar mengajar anak-anak kaum muslimin tanpa pegaruh oleh pandangan dari lingkungan masyarakat dan oleh perbedaan stratafikasi social ekonomi dan keuangan masyarakat yang ada. Atas dasar pandangan yang demikian, maka guru harus mengajar anak orang uang tak mampu dengan anak yang mampu secara bersama-sama berdasarkan atas rasa persamaan dan penyediaan kesempatan belajar bagi semua secara sama. Al-Qabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa pendidikan bagi anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan bagi anak laki-laki, meskipun harus dipisahkan kelasnya antara keduanya sebagaimana telah diuraikan diatas.
Untuk mendukung terlaksananya demokrasi atau pemerataan dalam bidang pendidikan ini, Al-Qabisi menganjurkan agar orang-orang islam berkemampuan material hendaknya mau berbuat banyak untuk menolong memberikan bantuan biaya pendidikan kepada anak-anak yang kurang mampu, atau yang lebih dikenal sebagai orang tua asuh. Dari uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa Al-Qabisi sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah pendidikan. Pemikiran dalam bidang pendidikan itu tampa sangat dipengaruhi oleh sikap dan pendiriannya sebagai ulama’ ahli al-sunna wa al-jama’ah yang mendasarkan setiap usaha dan pemikirannya pada pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.






























BAB III
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
     Dari pembahasan diatas yang mengenai tentang pemikiran pendidikan Al-Qabisi yang sangat populer dan masyhur yakni pada masa islam klasik. beberapa poin yang akan kami simpulankan disini, diantaranya:
3.1.1 Al-Qabisi adalah salah satu tokoh ulama ahli hadis dan fiqih serta seorang pendidik yang ahli, yang hidup pada tahun 324-403 Htepatnya dikota Qaeruan, Tunisia. Karel Brockelman menyatakan bahwa menurut  Ibnu Khalikan dan Asy-Susyuti dalam kitab “Thabaqat Al- Huffaz”. jugamengutip dari Ibnu Ahmad dalam kitabnya “syadzarat ad-Dzahab”. Mengatakan nama lengkap Al-Qabisi Adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf Al-Qabisi dan Abu Hasan ini sebenarnya bukanlah berasal dari kafilah Al-qabisi, tetapi karena pamannya mengenakan surba dikepalanya rapat-rapat yang bertentangan dengan kebiasaan orang Qabisi, maka ia diberi nama Al-qabisi. Sebenarnya ia adalah penduduk Qaeruan. Pendapat ini sesuai dengan keterangan As-Shafdi yang menyatakan bahwa nama Al-qabisi itu diberikan kepadanya karena karena pamannya mengenakan surban terlalu ketat dikepalanya. Ia juga pernah merantau kenegara-negara timur pada 353H atau 963 M selama 5 tahun kemudian kemval kenegeri asalnya dan meninggal dunia pada 3 Robiul Awwal 403 H atau pada tanggal 23 Oktober 1012 M. Salah satu karaganya yang populer hingga saat ini yakni kitab al-Mufassal li Ahwal al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa al-Muta'allamin', sebuah kitab rincian tentang keadaan para pelajar, serta hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi ke dalam 3 juz.
3.1.2Al-Qabisi yang hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika ulama terdahulu memiliki banyak disiplin ilmu pengetahuan.Di Kairawan Afrika beliau belajar kepada sejumlah ulama ternama di antaranya:
       Abul 'Abbas at-Tamimy (w.352 H) seorang ahli fiqih yang bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia.
       Ibnu Masrur ad-Dibagh (w.359 H)
       Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H), seorang faqih yang bermazhab Maliki di Kairawan.
       Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)
       Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang disegani karena kewara'an dan kemulian pribadinya.
       Durras bin Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang faqih yang berhaluan Asy'Ary dalam Theologi
       Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama yang produktif dalam menulis berbagai kitab tentang ilmu Tasawuf.(w.370 H)
       Abu Ishak al-Jibinyani (w.369 H) seorang ulama yang terkenal karena permohonannya.
             pada tahun 352 H bertepatan dengan 963 M al-Qabisi berangkat ke Timur tepatnya tanah Hijaz dan Mesir. Disana beliau belajar kepada sejumlah guru, diantaranya:
       Abul Qasim Hamzah bin Muhammad al-Kinani, seorang 'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi belajar kitab hadist An-nasa'i
       Abu Zaid Muhammad bin Ahmad al-Marwazi seorang ulama Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih al-Bukhory
       Abul Fath bin Budhan (w.359) ulama Mesir ahli qiraah
       Abu Bakar Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali, seorang ulama terkenal di Mesir, dari beliau al-Qabisi banyak mengambil teladan
       Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad al-Jurjani salah seorang ulama perawi Shahih Bukhary
       Abu Dzar al-Harwi (w.434 H), seorang faqih Maliki yang terkenal dengan karyanya Musnal al-Muwaththa' darinyalah al-Qabisi mempelajari hadist Imam Maliki dengan kitabnya al- al-Muwaththa'.
3.1.3Beberapa konsep pemikirannya tentang pendidikan menurut Al-Qabisi, yaitu:
a. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian besar terhadap pendidikan anak-anak amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara.Sifat inilah yang nantinya menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan seorang guru dalam mengajar.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan umum pendidikan yang dipegang oleh Al-Qabisi dan mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nlai-nilai agama yang murni yang mengarahkan agar anak dapat memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuannya mencari nafkah.
3. Kurikulum
Al-Qabisi membagi kurikulum ke dalam dua bagian sebagai berikut:
a. Kurikulum Ijbari (mata pelajaran wajib)
Kurikulum ijbari secara harfiah berarti kurikulum (mata pelajaran) yang merupakan keharusan atau kewajiban bagi setiap anak.
b. Kurikulum Ikhtiyari (tidak wajib/pilihan)
Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu nahwu, bahasa arab, sya’ir, kisah-kisah masyarakat arab, sejarah Islam, ilmu nahwu (grammar) dan bahasa arab lengkap.
4. Metode dan teknik belajar
Selanjutnya Al-Qabisi mencoba menjelaskan hubungan yang erat antara metode menghafal dengan pendidikan akal. Menurutnya, bahwa pendidikan akal tidak lain kecuali merupakan bagian dari usaha menuntut ilmu.
5. Pencampuran Belajar antara Murid Laki-laki dan Perempuan.
Menurut Al-Qabisi bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar adalah suatu hal yang tidak baik. namun pendapat itulah yang sesuai dengan garis ajaran agama Islam, karena anak yang berusia muharriqah (masa pubertas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga sampai waktu dewasa.
6. Demokrasi dalam Pendidikan
Menurut Al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat.Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian. Pendapatnya yang demikian mengisyaratkan adanya paham demokrasi pendidikan.Al-Qabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa pendidikan bagi anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan bagi anak laki-laki, meskipun harus dipisahkan kelasnya antara keduanya.
3.2 Saran
Bahwa apa yang ada didalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami mengambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditugaskan kepada kami. Untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kami meminta kritik dan saran kepada pembaca demi kesempurnaan makalah ini untuk kedepannya. Supaya isi makalah ini lebih ditingkatkan lagi, dengan mencari sumber-sumber lain sehingga kita bisa semakin mengerti dan  memahami tentang berbagai ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA


Al-jumbulati, Ali dan Abdul futuh At-Tuwaanisi. 1994. Perbandingan pendidikan Islam; cetakan Ke-1. Jakarta: Rineka Cipta.
Al-jumbulati, Ali dan Abdul futuh At-Tuwaanisi. 2002. Perbandingan pendidikan Islam; cetakan Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmad, Fuad al-Ahwani. 1980. al-tarbiyah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Ma'Arif.
Abuddin, Nata. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam;Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
al- Abrasyi, Athiya. 1984. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin, Psikologi Agama . Cet.I; Jakarta:  Grafindo Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2003
H.M. Arifin, M. Ed., dari judul asli Dirasatun Muqaranab Fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet. I, hlm. 76
http://artikelborneo.blogspot.com/2010/05/pemikiran-pendidikan-al-qabisi.html.
http://andikahendra.blogspot.com/dahsyatnya-pemikiran-manajement-al-qabisi.html














[1] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaasini, Perbandingan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1, Jakarta,: Rineka Cipta, 1994, Hal. 76
[2] Abdullah al-Amin al-Nu’my, Kaedah dan Tekhnik Pengajaran Menurut Ibnu Khaldun dan Al-Qabisy, (Jakarta: t.pt., 1995), h.184
[3] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaasini, Perbandingan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1, Hal. 76
[4] Ibid Hal. 77
[5]http://www.referensimakalah.com/2011/08/material-makalah-biografi-al-qabisi_8160.html
[6] Ibid
[7] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaasini, Perbandingan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1, Jakarta,: Rineka Cipta, 1994, Hal 77-78
[8] Ibid Hal. 80
[9]  Ibid 81
[10] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaasini, Perbandingan Pendidikan Islam Cetakan Ke-1, Jakarta,: Rineka Cipta, 1994, Hal 81-82
[11] Ibid Hal 83
[12] Ibid 84
[13] Ibid 86
[14]http://muhdahlan.wordpress.com/2010/11/20/konsep-pendidikan-al-qabisi-dan-m-rasyid-ridha-koedukasi-dan-kurikulum/
[15] Ali al-Jumbulati, Dirasatun Muqaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, terj. M. Arifin, dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 76. Menurut data yang ada, bahwa ia lahir pada bulan Rajab, 224 M (13 Mei 936 M), dan wafat di negeri asalnya pada tanggal 3 R. Awal 403 H (23 Oktober 1012 M).
[16]Ali al-jumbulati, Perkembangan Pendidikan Islam (Terj.) H.M. Arifin, M. Ed., dari judul asli Dirasatun Muqaranab Fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet. I, hlm. 76
[17]Ibid., hlm. 87.
[18]Ibid., hlm. 89.

[19]Ibid., hlm. 87