Selasa, 14 Juli 2015
Ajaran dari Al-Muhajir dan Al-Faqih Muqaddam
Al-Imam
Al-Muhajir Ahmad bin Isa, beliau berhijrah dari Bashrah ke Hadramaut
seraya berderma, tidak menengadahkan tangan meminta-minta pada
siapapun. Beliau berhijrah dan memberikan keteladanan tentang
pengorbanan berbagi terhadap sesama, ikhlas dan kesungguhan terhadap
Allah. Beliau membimbing para pengikutnya di negeri itu seperti
halnya beliau membimbing keturunannya dengan nilai kebajikan dan
ketaqwaan. Dari negeri Bashrar yang subur, ia menjelajah berbagai
negeri dan mengarungi belantara hingga sampailah beliau ke lembah
yang penuh keberkahan dimana beliau bersuka cita untuk menetap disana
bersama keluarga dan keturunannya. Membimbing mereka dengan
nilai-nilai kebajikan dan ketaqwaan kepada Allah. juga disertai
dengan akhlaq mulia para leluhur agung yang melahirkan generasi
penerus yang mulia pula. merekalah pewaris, pengikut setia dan
keturunan Nabi Muhammad, meskipun diingkari oleh orang yang buta mata
batinnya.
Senin, 06 Juli 2015
Whiplash Sinopsis
Assalamau’alaikum,
teman-teman. Kali ini saya ingin bercerita tentang Film Whiplash, bisa juga
disebut sinopsis. Menurut saya film ini cukup bagus ditonton karena banyak
pelajaran yang dapat diambil darinya. Oke gak usah lama-lama,
silahkan dibaca. J
Whiplash
adalah film yang mengkisahkan tentang seorang Drummer muda ambisius bernama
Andrew Neiman yang sedang berlajar di sekolah musik Shaffer. Andrew melakukan
apa saja untuk mengapai cita-citanya menjadi Drammer Hebat.
Di awal
cerita, perjalanan karir Andrew di Shaffer terkesan akan berjalan mulus. hanya
butuh beberapa pekan saja ia sudah naik ke kelas musik unggulan yang dilatih
oleh Terence Fletcher. Namun justru dikelas inilah perjalan Andrew mengalami
fluktuatif hingga akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah musik Shaffer karena ia
berkelahi dengan Fletcher.
Fletcher
sang guru musik Andrew memang seorang yang sangat keras dalam melatih
murid-muridnya bahkan cenderung ekstrim. Fletcher bahkan tidak segan-segan
memaki, menampar, melempar kursi jika muridnya melakukan kesalahan. Hal ini
yang menyebabkan banyak muridnya merasa mendapatkan tekanan psikologis darinya,
termasuk Andrew.
Setelah
perkelahian antara Andrew dan Fletcher, pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk
memberhentikan mereka berdua. Andrew dikeluarkan karena telah melakukan
tindakan kekerasan, sedangkan Fletcher dikeluarkan karena dianggap cara
mengajarnya yang terlalu ekstrim.
Senin, 04 Mei 2015
Qosidah Qoro'na Fi Dhuha
هذه القصيدة قرأنا فی الضحی
قرأنا فى الضحی ولسوف يعطيك
فسر قلوبنا ذاك العطاء
Qoro,nâ fîdl-dluhâ wa lasaufa yu’thîk fasarro qulûbanâ dzâkal ‘athô,u
Telah kami baca di dalam Surah Dhuha “Dan kelak kamu akan diberi karunia” Maka gembira hati kami atas kurniaan itu
و أحسن منك لم تر قط عيني
و أجمل منك لم تلد النساء
Wa ahsanu minka lam taro qoththu ‘ainî wa ajmalu minka lam talidin-nisâ-u
Dan yang lebih baik darimu belum pernah telihat oleh mata. Dan yang lebih indah darimu belum pernah dilahirkan para wanita
حشاك يارسول الله ترضی
وفينا من يعذب أو يساء
Hasyâka yâ Rosûlallâhi tardlô wa fînâ man yu’adzdzabu au yusâ-u
Tidak sesekali wahai Rasulullah akan kau ridho Sedangkan diantara kami ada yang diazab dan diperlakukan keburukan keatasnya
خلقت مبرأ من کل عيب
گأنك قد خلقت گما تشاء
Khuliqta mubarro-an min kulli ‘aibin ka-annaka qod khuliqta kamâ tasyâ-u
Engkau diciptakan bebas dari segala aib Seakan-akan engkau dicipta seperti yang mana yang kau inginkan dirimu diciptakan
نبي هاشمي أبطحي
شمائله السماحة والوفاء
Nabiyyun Hâsyimiyun abthohiyun syamâ-iluhus-samâhatu wal wafâ-u
Nabi dari Bani Hasyim dari Abtah (sebuah tempat di Mekkah) Keperibadiannya lemah lembut dan penuh kasih dan sayang
Sahabat
Kali ini aku ingin bercerita tentang sahabat. Setiap orang umumnya memiliki seorang sahabat, atau teman dekat, kawan bermain, partner dalam berbisnis, ataupun teman seperjuangan. Biasanya mereka yang kita anggap sahabat memang orang-orang yang telah menjadi bagian dalam kehidupan kita. Mereka selalu menemani dan mewarnai kehidupan kita, baik dalam keadaan susah maupun senang.
Begitu juga denganku, aku punya seorang sahabat diwaktu kecil, namanya Sambadha. Dia adalah teman pertamaku ketika pindah sekolah di SDN Tlogomas III kelas 2 SD. Ketika itu keluargaku baru pindah ke kota Malang, tepatnya di jalan Merah Delima no. 20, kelurahan Tlogomas. Karena sebelumnya aku tinggal di desa dekat rumah nenek di daerah Bantur, Kabupaten Malang.
Awal Perkenalan
Awal perkenalanku dengan Sambadha adalah ketika jam istirahat sekolah, dia dan beberapa teman yang lain (Agung, didit, Adi ketua kelas, kuntiya teman sebangku) mengerumuniku dan menghujani dengan berbagai macam pertanyaan seperti orang yang sedang di interogasi.
Siang harinya ketika aku sedang bersepeda untuk berkeliling melihat-lihat koplek perumahan, aku bertemu dengan Sambadha yang sedang bermain di depan rumah. Langsung ia menyapa dan kami berbincang-bincang cukup lama. Dan ternyata rumahku dengan rumahnya hanya berjarak 10 rumah.
Dan sejak hari itu aku sering bermain dan belajar bersama-sama. Aku sering bermain kerumahnya. Rumahnya cukup besar dan asri, di dalamnya terdapat taman kecil yang ditanami pohon jambu besar yang berbuah setiap hari dan aku boleh memetiknya semauku. Selain itu di dalamnya juga ada studio musik, sehingga setiap hari selalu banyak orang-orang yang datang berkunjung baik untuk belajar musik, atau sekedar kumpul-kumpul bareng. Dan usut punya usut ternyata keluarga Sambadha memang keluarga Seniman.
Disana keluarganya selalu menyambut dengan ramah, karena mungkin sejak pertemananku ia jadi punya teman bermain. Ya, Sambadha adalah anak bontot alias terakhir dari 3 bersaudara. kakak-kakaknya memang sudah besar, kakak pertama namanya Hendra sudah kuliah, dan kakak keduanya namanya Yudha sudah SMA, jadi setiap hari jika tidak ada teman yang datang bermain, maka ia hanya ditemani Bona kucing peliharaannya.
Bermain sambil Belajar
Aku dan Sambadha sering belajar bersama ketika sepulang sekolah, bukan karena aku rajin belajar tetapi karena aku tidak diizinkan keluar rumah oleh ibuk kecuali untuk belajar. Jadinya aku suka izin untuk belajar agar bisa bermain diluar (hhe, bohong yang baik). Meski begitu kami memang selalu belajar dahulu baru kemudian bermain, karena dirumah sambadha ada Buleknya (ibu cilek) yang selalu mengawasi ketika kami belajar, dan setelah selesai barulah kami bisa bermain.
Permainan yang sering kami mainkan adalah kapal-kapalan. Permainan ini membutuhkan imajinasi yang tinggi, karena kapal yang kita naiki adalah kolong meja makan yang kita tutup sampingnya sehingga kita seolah-olah berada didalam ruang navigator kapal. Entahlah apa yang membuat kami suka bermain kapal-kapan seperti itu, yang jelas kalau sudah bermain kapal-kapalan kami bisa berjam-jam berada di bawah kolong meja.
Kadang-kadang kalau bosen kita biasanya bermain Bantengan. Permainan ini memang adalah kesenian daerah malang, tapi jangan dipikir kami bermain sampai kesurupan. Biasanya permainan ini kami mainkan bertiga atau berempat. Agung menjadi penabuh gendang, dan yang lain bergantian menjadi bantengnya dengan memegang kepala banteng yang biasa disebut caplokan. Jika biasanya kesenian bantengan diringi musik-musik ala Reog Ponorogo, maka lagu yang biasa ditabuh oleh Agung adalah lagu dangdut, dan juga lagu Dewa 19, (gak kebayang kan anehnya kayak apa?)
Studio musik yang ada dirumahnya pun tak luput menjadi sasaran kami bermain, kadang ketika kosong kami masuk dang memainkan berbagai alat musik dengan teknik AS-AL pukul yang menciptakan irama yang luar biasa tidak beraturan. Bermain seperti ini sering kita mainkan dan baru berhenti ketika sore. Berhenti bukan untuk pulang, tapi untuk bermain bola. Di dekat komplek ada lapangan basket yang biasa kami gunakan untuk bermain bola bersama teman-teman komplek yang lain. Aku dan Sambadha biasanya bertugas untuk menghampiri dan mengajak teman-teman bermain bola. Uniknya adalah, teman yang kami ajak bermain bola umurnya jauh diatas kami, mereka yang sudah kelas 5 SD sampai yang sudah SMP, dan bahkan ada yang sudah kuliah, jadi ketika bermain kami akan selalu dipanggil anak bawang alias gak dianggap.
Jamaah Tabligh
Meski sering bermain, kami juga tidak lupa mengaji. Setiap sore aku dan Sambadha selalu mengajak teman-teman yang lain untuk mengaji. Seperti biasa aku dan Sambadha lah yang bertugas mengajak teman-teman untuk sholat Maghrib berjamaah di Masjid, persis seperti yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh. Meskipun judulnya mengaji tetap saja kami kita bermain, entah itu kejar-kejaran di dalam Masjid, atau bermain voli penghapus. Voli penghapus adalah istilah permainan yang kami mainkan di masjid, dengan mengandalkan Hijab/satir masjid sebagai net dan penghapus sebagai bolanya, ckck. Meskipun sudah dilarang oleh Ustadz Hepi tetapi tetap saja kami lanjut bermain karena beliau orangnya kalem jadi kami cukup kebal dengan omelanya.
Ustadz Hepi adalah mahasiswa dan juga takmir yang bertugas di Masjid Al-Ghazali tempat kami bermain, eh mengaji. Tak jarang kami dimarahi oleh pengurus “tua” Masjid Al-Ghazali yang memergoki kami bermain di masjid, Bahkan kami pernah di kunci selama lima menit di dalam kamar mandi masjid. Dan itu cukup membuat kami berhenti bermain di masjid selama satu hari, setelahnya kami akan tetap bermain seperti biasa.
Petualangan Anak-anak Terpilih
Aku dan Sambadha selalu pulang sekolah bersama, awalnya kita hanya pulang berdua karena memang jalan pulang yang kami lewati tidak searah dengan teman-teman yang lain. Sampai akhirnya kami memilih untuk berjalan memutar demi bisa pulang sekolah bareng dengan teman-teman yang lain (Didit, Agung, Kuntiya, Azza, Fahruddin, Farel, dll). Ternyata pilihan itu cukup tepat, karena selama kita melewati jalan itu, perjalanan pulang kami menjadi lebih mengasyikkan dan menyenangkan.
Mungkin semuanya berawal ketika hari senin pada saat jam istirahat. seperti pada umumnya anak-anak SD di hari Senin, aku dan teman-teman selalu mereview setiap film kartun yang telah kami tonton di hari Minggu kemarin. Dan pada saat masa itu, film kartun yang banyak disukai adalah film Digimon Advanture. Film itu berkisah tentang anak-anak terpilih yang masuk ke dunia digital yang di dalamnya terdapat monster-monster jahat yang bisa mengancam kehidupan manusia di dunia nyata, skip. Sepulang sekolah, seperti biasa kami berjalan menyusuri jalan pulang sambil mengobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya menjurus kesatu topik pembahasan yaitu Legenda Watu Gong yang tempatnya akan kita lewati. (Watu Gong adalah batu besar yang berbentuk gong dan tengahnya dilubangi untuk menumbuk beras atau yang lainnya ; ini persepsi kami pada saat itu)
Dan pada saat itu juga kami menghampiri Watu Gong yang ada di tanah lapang dan berkata bahwa dari dalam Watu Gong ini dapat keluar Monster yang akan mengancam kehidupan umat manusia, dan kami adalah anak-anak terpilih yang dapat menyelamatkan Dunia. Entah bagaimana awalnya, Legenda Watu Gong itu bisa kami hubungkan dengan Dunia Digimon. Tapi yang jelas pada saat itu imajinasi ala Spongebob (jaman itu Spongebob belum ada) sepertinya cukup bekerja dipikiran kami semua (Aku, Sambadha dan teman seperpulangan). Sejak hari itu pulang sekolah kami serasa lebih menegangkan, karena kami sama-sama ketakutan, berlari-lari, dengan hal yang kami bayangkan sendiri. Uniknya Kegiatan aneh itu berlanjut di setiap pulang sekolah dan baru berakhir ketika film Digimon Advanture 02 tamat.
Dulu Teman, Sekarang Lawan..Besok Sahabat
Dekatnya pertemananku dengan Sambadha bukan berarti bersih dari perselisihan dan huru-hara akhir zaman. Kami juga sering bertengkar, pernah kami bertengkar karena kejar-kejaran, pernah kami bertengkar karena mainan, dan yang paling memorable adalah pertengkaran di depan rumahku. Alkisah aku sedang bermain bola bersama Affan (teman tetangga depan rumah), dan hanif (teman tapi bukan tetangga)di depan rumah. Kemudian datang Sambadha bersama Aga, dan Febi. tidak seperti biasa ia datang dengan langsung menendang bola dan masuk ke dalam selokan. Aku pikir hanya bercanda, tapi ternyata kok terus-terusan, sampe akhirnya emosiku terpancing juga. jadi ya langsung aja aku tendang bola dan mendarat kencang kearah dadanya. Dan akhirnya peperangan akhir zamanpun tak terhindarkan, kami saling pukul secara brutal, sampai akhirnya dilerai oleh tetangga yang ada disekitar.
Perkelahian tadi sore membuat hatiku galau bukan main, bukan apa-apa tapi takut dimarahi bapak. Maklum saja, bapak paling marah kalau anaknya buat masalah dengan orang lain. Dan ternyata ibuk cukup kooperatif dengan menutup-nutupi kejadian tadi sore. Ketika hati sudah merasa tenang tiba-tiba datang tamu mengetuk pintu rumah. Ternyata Sambadha yang datang bersama kakaknya Mas Hendra. Hal itu membuat bulu kudukku merinding, dan ternyata benar kedatangannya ingin membicarakan perkelahian tadi sore. Singkat cerita, kami berdua disuruh untuk berdamai, tapi bagi kami berdua ini sama saja dengan genjatan senjata alias diem-dieman.
Bagiku, tinggal berdekatan dan juga satu sekolahan dengan musuh itu amat sangat tidak mengenakkan. Selama genjatan senjata, aku selalu mencoba menghindari segala bentuk kontak dengan Sambadha, baik itu kontak mata, kontak bicara, dan kontak batin (emang bisa?). Hal itu sama saja membatasi teritorialku dalam beroperasi, bayangkan saja ketika disekolah aku tidak akan bisa berbicara dengan Didit dan Agung ketika mereka sedang bersama Sambadha, dan sebaliknya Sambadha tidak akan berbicara dengan Didit dan Agung, ketika mereka berdua sedang berbicara denganku. Karena dalam genjatan senjata, yang mulai mengajak bicara terlebih dahulu berarti dia menyerah, dan menyerah berarti kalah. Tapi jika mengajak berbicara orang yang sedang bicara dengan kita tanpa mengajak kita berbicara, berarti itu melanggar aturan genjatan senjata. (jangan harap menemukan peraturan ini di PBB)
Di siang harinya, tak pernah kuduga Sambadha datang kerumahku yang itu artinya dia menyerah. Tapi dia datang dengan tawaran yang tak bisa kutolak, dia mengajakku main PS1 di rentalnya mas Soni. Meski begitu, aku menerimanya dengan 1 syarat, syaratnya adalah game yang dimainkan adalah Bomberman dan bukan Winning Eleven. Jujur saja dulu aku paling gak bisa main WE, bisa bisa bukannya terhibur malah pegel karena kalah melulu. Akhirnya Sambadha menerima syarat yang kuajukan, dan akhirnya kamipun berdamai dan berjanji tidak akan pernah berperang lagi.
Mungkin hanya sedikit kisahku dengan Sambadha yang dapat ku ceritakan kepada kalian, tapi jangan pernah berfikir petualanganku bersama Sambadha sudah berakhir, karena cerita ini hanya kisahku dengan Sambadha sampai kelas 3 SD, dan kami selalu bersama sampai kemudian kami berpisah ketika kelas 1 SMP. meski telah lama berpisah aku selalu menganggap teman-temanku sebagai sahabat, bahkan keluarga. teringat doa dari Alhabib Umar bin Salim bin Hafidz dalam kitabnya Dhiya’ul Lami’ yang artinya “ Ya Allah kumpulkanlah kami dan orang-orang yang kami cintai di Surga FirdausMu, wahai yang hanya kepadaMu kami berharap”...Aamiin.
Nb: maaf jika tulisan ini cukup membosankan, karena saya hanya ingin sekedar berbagi kisah dan sekedar bercerita. Barangkali ada hikmah yang bisa kalian petik darinya. Menulislah karena menulis adalah hak segala bangsa, Dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.
Qasidah Yaa Robbi Ya 'Alimal Hal
يَا رَبِّ عَالِمَ الْحَـالْ
Wahai Allah yang mengetahui hal hamba
إِلَيْكَ وَجَّهْتُ اْلآمـَالْ
Kepada-Mu aku hadapkan segala cita-cita
فَامْنُنْ عَلَيْناَ بِاْلإقْبـَالْ
Kurniakanlah kami nikmat perkenan dari-Mu
وَكُنْ لَناَ وَاصْلِحِ الْبـَالْ
Serta belas kasihan dan tenteramkan hati kami
يَارَبِّ يَا خَيـْرَ كـَافِي
Wahai Allah yang Maha mencukupi
اُحْلُـلْ عَلَيْنـَا الْعَـوَافِي
Berilah kami sihat afiat
فَلَيْسَ شَيْء ثَمَّ خـَافِي
Kerana tiada yang sulit atas-Mu
عَلَيْكَ تَفْصِيْلُ وَاجْمـَالْ
Segala sesuatu dalam pengetahuan-Mu
وَقَـْد أَتـَاكَ بِعُـذْرِه
Ia telah datang pada-Mu dengan dosa
وَبِانْكِسـَارِهِ وَفَقْـرِه
Dan kesedihan dan kefakirannya
فَاهْزِمْ بِيُسْـرِكَ عُسْـره
Angkatlah dengan kemudahan-Mu segala kesusahannya
بِمَحْضِ جُوْدِكَ وَاْلإِفْضَالْ
Dengan Berkat kemurahan dan kurnia-Mu
وَامْـنُنْ عَلَيـْهِ بِتَوْبـَةْ
Kurniakanlah padanya taubat
تَغْسِلْهُ مِنْ كُلِّ حَوْبـَةْ
Yang dapat menghapus segala dosa
وَاعْصِمْهُ مِنْ شَرِّ أَوْبـَةْ
Jagalah ia dari segala bahaya
لِكُلِّ مَا عَنْهُ قَدْ حـَالْ
Dari segala yang akan menimpa padanya
فَأَنْتَ مَـوْلَى الْمَـوَالِي
Engkau adalah Tuhan seluruh hamba
الْمُنْـفَرِدُ بِـالْكَمـَالِ
Yang Esa dalam kesempurnaanMu
وَبِـالْعُـلَى وَالتَّعـَالِي
Dalam ketinggian dan keagunganMu
عَلَوْتَ عَنْ ضَرْبِ الأَمْثَالْ
Maha suci Allah dari semua keserupaan
جُوْدُكَ وَفَضْلُكَ وَبِـرُّكَ
Kemurahan, kurnia, dan kebaikan-Mu
يُرْجَى وَبَطْشُكَ وَقَهْـرُكَ
Sungguh sangat di harapkan. Murka dan marah-Mu
يُخْشَى وَذِكْرُكَ وَشُكْـرُكَ
Sungguh sangat di takutkan. Berdzikir dan bersyukur pada-Mu
لاَزِمْ وَحَمْدُكَ وَاْلإِجْـلاَلْ
Adalah lazim, demikian pula memuji dan mengagungkan-Mu
وَصَـلِّ فِي كُلِّ حَالَـةْ
Selawat pada setiap masa
عَلَى مُزِيْـلِ الضَّلاَلـَةْ
Di atas nabi penghapus kesesatan
مَـنْ كَلَّمَتْـهُ الْغَزَالـَةْ
Kepadanya rusa bercakap
مُحَمَّدِ الْهـَادِي الـدَّالْ
Iaitu Muhammad penunjuk jalan
وَالْحَمْـدُ لِلّـه شُكْـرًا
Segala puji bagi Allah sebagai tanda syukur
عَلَى نِعَمٍ مِنْـهُ تَتْـرَى
Atas nikmatNya yang tidak putus
نَحْمَـدُهُ سِـرًّا وَجَهْـرًا
Kami memuji padaNya dengan rahsia dan terang
وَبِـالْغَـدَايَـا وَاْلآصـَالْ
Siang malam setiap waktu
Makalah Sejarah Pendidikan Islam
PERKEMBANGAN PTAI
Pendidikan Islam yang lahir seiring dengan datangnya Islam itu
sendiri, meskipun pada mulanya dalam bentuk yang sangat sederhana, dalam
sejarahnya senantiasa tidak sunyi dari berbagai persoalan dan rintangan yang
dihadapinya, dari berhadapan dengan segala tekanan dan intimidasi pemerintah
kolonial Belanda dan sampai diberlakukannya kurikulum 1994 dan sebagainya.
Kendatipun demikian, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pendidikan Islam
dengan lembaga pendidikannya cukup mewarnai perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Umat Islam yang merupakan mayoritas dari
penduduk Indonesia selalu mencari berbagai cara untuk membangun sistem
pendidikan Islam yang lengkap, mulai pesantren yang sederhana sampai tingkat
perguruan tinggi).
Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) yang sekarang menyebar hampir di seluruh nusantara bukan
merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan kelembagaan
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam sejarah, nama
Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai upaya meresponi
perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek tarik menarik antara
berbagai kekuatan atau kelompok dalam masyarakat.
Selain itu pendidikan juga merupakan salah satu perhatian sentral
masyarakat Islam baik dalam negara maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam
pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam
mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk
kepentingan masa depan umat Islam.
1.
Bagaimanakah
sejarah dan latar belakang berdirinya PTAI di Indonesia?
2.
Bagaimanakah
perkembangan PTAI di Indonesia ?
3.
Bagaimanakah
eksistensi PTAI di Indonesia ?
4.
Bagaimnakah
transformasi perubahan IAIN menjadi UIN?
1.
Agar
mengetahui sejarah dan latar belakang didirikannya PTAIN di Indonesia
2.
Agar
mengatahui bagaimana perkembangan PTAIN di Indonesia
3.
Agar
memahami eksistensi PTAI di Indonesia
4.
Agar
memahami transformasi IAIN menjadi UIN
D.
Sekolah-sekolah islam telah berdiri sejak masa penjajahan Belanda,
seperti madrasah dan pondok pesantren. Kemudian perhatian umat islam terhadap
pendidikan agama islam semakin tumbuh ketika mengetahui bahwasannya Belanda
datang ke Indonesia dengan tujuan gospel. Hal inilah yang kemudian melatar
belakangi berdirinya PTAIN di Indonesia. Masyarakat muslim semakin sadar bahwa
pendidikan agama islam tidak boleh berhenti dan terbatas di tingkat pesantren
dan madrasah saja, akan tetapi pendidikan agama islam haru lanjut sampai ke
tingkat perguruan tinggi islam. Dan ide untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam
ini berkembang sekitar tahun 1930.
Pendidikan agama islam di indonesia mulai diajarkan secara resmi di
sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946. Dan sebagai tindak lanjut dari
pengajaran pendidikan agama islam di sekolah-sekolah umum ini ialah dengan
menyediakan dan mengadakan tenaga guru agama yang akan ditugaskan di
sekolah-sekolah umum negeri.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan guru agama islam, maka departemen
agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam ( SGAI ) pada tahun 1950. Yang mana
para lulusan dari SGAI ini dipersiapkan untuk bisa menjadi tenaga pendidik
agama islam di sekolah dasar. Dan untuk tenaga guru agama islam di sekolah
menengah, didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam, yang mana lulusan SGHAI
ini selain menjadi guru agama islam di sekolah menengah, mereka juga
dipersiapkan untuk bisa menjadi tenaga pengajar di SGAI dan juga untuk tenaga
panitera pengadilan agama.
Sedangkan untuk memenuhi tenaga pengajar di SGHAI dan tenaga dosen
islam di perguruan tinggi umum, untuk itu Departemen Agama mendirikan Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri ( PTAIN ) yang mana PTAIN ini kemudian bernama IAIN (
Institut Agama Islam Negeri). Hal-hal tersebut merupakan hal-hal yang melatar
belakangi didirikannya PTAIN di indonesia.
Perguruan Tinggi Islam yang pertama kali berdiri berada di daerah
Padang Sumatera Barat. Perguruan Tinggi Islam ini berdiri pada tanggal 09
Desember 1940, yang mana berdirinya perguruan tinggi islam ini dipelopori oleh
Persatuan Guru-guru Agama Islam yang dipimpin oleh Mahmud Yunus.
Lalu pada kongres MIAI II ( Majelis Islam A’la Indonesia ) yang
diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939 dan dihadiri oleh 25 organisasi
islam. Pada kongres tersebut dihasilkan dukungan untuk mendirikan Perguruan
Tinggi Islam. Lalu pada bulan Juni 1938, M. Natsir menulis artikel mengenai
pentingnya Sekolah Tinggi Islam yang bisa menghasilkan kelompok intelektual
yang memiliki basas pegetahuan islam dan kebudayaan yang kuat sebagai
alternative pendidikan ala barat.
Maka Masyumi ( Majelis Syura Muslim Indonesia ) yang merupakan
gabungan dari organisasi-organisasi Islam mempelopori mendirikan Perguruan
Tinggi Islam, sebagai tindak lanjut dari artikel M. Natsir. Kemudian pada bulan
April 1945 diadakan rapat dengan sejumlah toko besar yang antara lain :
1. PBNU
dihadiri oleh KH Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahid Hasyim, KH.
Masykur, dan Zainal Arifin.
2. PB
Muhammadiyah di hadiri Ki Bagus Hadikusuma, KH. Farid Ma’rif KH. Mas Mansur,
dan lain-lain
3. PB POI
dihadiri KH A.Halim dan H.Mansur
4. PB PUII
dihadiri A Sanusi dan Sumoatmojo
5. PB Al Islam
di hadiri KH. Imam Ghazali
6. Shumubu
dihadri A. Kahar Muzakar, KH. A. Moh Adnan, KH. Imam Zarkasi
Pada sidang tersebut diputuskan
untuk membentuk panitia perencana Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh
Mohammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Lalu dengan bantuan dari
pemerintah pendudukan Jepang STI didirikan dan di buka secara resmi pada
tanggal 8 Juli 1945.
STI ikut pemerintah pusat Republik
Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka
kembali. Kemudian pada November 1947 dibentuk panitia perbaikan STI. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan jangkauan STI. Hasil sidang
memutuskan untuk mendirikan Universita Islam Indonesia pada tanggal 10 Maret
1948 dengan empat fakultas yaitu: Fak. Agama, Fak. Hukum, Fak. Ekonomi dan Fak.
Pendidikan.
Selanjutnya didirikan PTAIN di Yogyakarta pada bulan september 1951
yang berdasarkan pada peraturan pemerintah No. 34 Tahun 1950, yang ditanda
tangani ole Presiden RI. Yang mana dalam pasal 2 pada peraturan tersebut
dinyatakan bahwa PTAIN dimaksudkan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi
pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama islam.
Pada bulan Juni 1957 di jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan penetapan Menteri Agama No.1 Tahun
1957. Tujuann didirikannya ADIA ini adalah untuk mendidik dan mempersiapkan
pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau
menjadi petugas di bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama.[2]
Dari keterangan diatas bisa diketahui bahwasannya PTAIN yang
pertama bernama IAIN dan berdiri pada tahun 1951 dan diresmikan secara langsung
oleh Presiden RI, lalu pada tahun 1957 didirikan pula ADIA, yang mana kedua
lembaga pendidikan ini didirikan dengan tujuan untuk meluluskan siswa yang
mahir dalam bidang agama islam, sehingga para lulusannya bisa menjadi tenaga
pendidik agama islam di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan juga bisa
menjadi tenaga petugas pada bidang pendidikan di Departemen Agama. Pada bulan
Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN Al-Jami’ah
Al-Islamiyah Al-Hukumiyah.
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia
pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri.
Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu
dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan
pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan
pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik. Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat
mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan
tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam, pada tahun 1950 Departemen
Agama telah mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI)[3].
Lulusan sekolah ini dipersiapkan sebagai guru agama di sekolah dasar baik
sekolah umum maupun sekolah dasar Islam. Sedangkan untuk memenuhi guru-guru
agama Islam di sekolah menengah Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru dan
Hakim Agama (SGHA). Tamatan sekolah ini juga untuk memenuhi tenaga pengajar di
sekolah dan sebagai hakim di pengadilan agama.
Umat Islam telah memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan
tinggi yang berbasiskan Islam dengan tujuan untuk memperdalam dan memahami
ajaran Islam. Sebelum Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan
tinggi telah diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di
Minangkabau yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di
Padang. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia
yang didirikan pada tahun 1940[4].
Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan Jepang di
Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya mengizinkan
pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan menengah. Sedangkan
di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan tinggi Islam.
Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun
1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung
oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah
diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo
dan Surabaya. Akibat penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat
direalisasikan. Baru pada tahun 1945 STI dapat didirikan atas inisiatif
beberapa pemimpin Islam yang tergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh
Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Sedangkan STI tersebut
diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika terjadi perang kemerdekaan STI
dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945. Namun tiga tahun
berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948 STI di Yogyakarta ini berubah
bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas yaitu
Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Paedagogik
(Pendidikan).
Melalui peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani
oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas Agama UII
menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan memberikan
pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan serta
memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang dibawah
naungan Departemen Agama. Seiring dengan hal tersebut Fakultas Umum UII yaitu
Fakultas Hukum, fakultas Ekonomi dan Fakultas Pendidikan berubah bentuk menjadi
Universitas Gajah Mada (UGM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1950. dengan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan[5].
Perkembangan selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga
ahli pendidikan agama dan urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta sebagaimana dituangkan dalam
penetapan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957. ADIA terdiri dari dua jurusan yaitu
Jurusan Pendidikan Agama dan Jurusan Sastra. Lama studi di ADIA ini adalah lima
tahun yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu tingkat Semi Akademi selama 3
tahun, sedangkan tingkat kedua adalah Akademi yang ditempuh selama 2 tahun.
Sejak berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946, muncul kebutuhan-kebutuhan
terhadap tenaga-tenaga ahli agama Islam dan hakim-hakim agama di pengadilan
agama. Kekurangan tenaga hakim tersebut dapat dipenuhi dengan membuka jurusan
Hakim Agama di ADIA. Untuk sementara para mahasiswanya hanya mereka yang telah
menjadi pegawai dan jawatan agama yang telah mengabdikan diri selama tidak
kurang dari dua tahun dan berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun, sehingga
ADIA tidak dapat menambah kuantitas mereka dan hanya meningkatkan kualitas para
pegawai yang bekerja di lingkungan Departemen agama saja. Dengan demikian ADIA
disamping menciptakan tenaga-tenaga guru agama juga menciptakan tenaga-tenaga
terampil dalam bidang hukum yaitu hakim-hakim agama dan menciptakan tenaga
profesional lain yang dibutuhkan dilingkungan Departemen Agama.
Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan
ADIA, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur
PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “AL-JAMI’AH ISLAMIYAH AL-HUKUMIYAH”
atau “INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta
dengan Rektor Prof. Mr. RHA. Soenarjo, yang kemudian diberi nama IAIN Sunan
Kalijaga. Akhirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal
24 Agustus 1960. Latar belakang penggabungan tersebut menurut A. Hasjmy adalah
keinginan untuk mendirikan kampus Darussalam di Aceh sebagai upaya untuk
pemulihan keamanan yang diakibatkan karena pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan
Daud Beureueeh, mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada zaman
revolusi. Gubernur Aceh mengemukakan usul kepada Presiden Sukarno agar di
bangun Perguruan tinggi Islam Negeri dan Perguruan Tinggi Umum di dalam kampus
Darussalam dengan alasan pemulihan keamanan. Usul tersebut mendapat persetujuan
oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian sebagai realisasi usulan tersebut,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama berunding dengan Gubernur
Aceh yang menghasilkan persetujuan bahwa didalam kampus Darussalam akan
didirikan Fakultas Agama Islam Negeri[6].
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar fakultas tersebut
dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga Departemen
Agama menginginkan bahwa Fakultas tersebut berada dalam nauangan Departemen
Agama. Pada akhir September 1959 Gubernur Aceh pergi ke Jakarta, waktu itu
Departemen P dan K mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan Panitia
Persiapan Pendirian Fakultas Kehewanan di Darussalam. Pada saat yang sama
Menteri Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Panitia
Persiapan Pendirian Fakultas Agama Islam Negeri. Setelah surat keputusan
Menteri Agama yang tertanggal September 1959 No. 48 tersiar tembusannya ke
berbagai departemen dan instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke Menteri
Agama yang pada saat itu dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa
menurut konsensus yang telah disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja
yang boleh mengelola Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan
Departemen Agama hanya mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya
beberapa perundingan yang khusus membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR.
Priyono sebagai Menteri P dan K dengan K. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama.
Akhirnya perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Departemen Agama
boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam asalkan tidak dinamai
Universitas, maka didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta dan ADIA
di Jakarta, menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai
cabangnya.
Berhubungan dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan
dengan SK Menteri Agama No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah
di Banda Aceh (cabang dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama
tertanggal 2 Agustus 1960 No. 40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun,
IAIN mengalami perkembangan yang cepat. Di daerah-daerah dibuka
fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah
sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam
pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu
untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri
sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN
Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui
keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963 tertanggal 25 Pebruari.
Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya, dikeluarkan
pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir
fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura,
Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN
Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat,
kalimantan Barat dan Sumatera. Menyusul Keputusan Menteri Agama diatas
keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tanggal 5 Desember 1963 yang
antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan Jakarta dapat diadakan
fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan memberi
hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan
ujian-ujian. Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis
fakultas dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN.
Sehingga sampai tahun 1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah
dan 104 fakultas di seluruh Indonesia, yaitu : 1. IAIN Sunan Kalijogo di
Yogyakarta 2. IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-Raniri di
Aceh 4. IAIN Raden Fatah di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN
Alaudin di Ujung Pandang 7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di
Padang 9. IAIN Sultan Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di
Bandung 11. IAIN Raden Intan di Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang
13. IAIN Syarif Qosim di Pekan Baru 14. IAIN Sumatera Utara di Medan.
Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal
21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
yaitu dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan
di IAIN, dilakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang
berlokasi di luar induk. Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh
Indonesia. STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada
didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri
untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi
serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri tersebut
antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang
5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9.
STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate
13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat
16. STAIN Kerinci 17. STAIN Bukittinggi 18. STAIN Pekalongan 19. STAIN
Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN Curup 22. STAIN Manado 23. STAIN
Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26. STAIN Cirebon 27. STAIN
Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN Jurai Siwo 31. STAIN
Ambon 32. STAIN 33. STAIN[7].
Selanjutnya, STAIN Malang berubah nama menjadi Universitas Islam
Indonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Meskipun pertumbuhan
Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang
semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat
Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan tidak menjadikan
perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah yang berkembang
pesat sebagai hambatan.
Berdirinya perguruan tinggi Islam swasta dimaksudkan untuk
membendung faham komunisme, atheisme yang berkembang sekitar tahun 60-an, demi
kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak lolos
seleksi di perguruan tinggi Islam negeri. Fakultas-fakultas agama yang ada pada
mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi berstatus “Diakui” sehingga
sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110 fakultas agama yang berinduk pada
81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping itu terdapat pula perguruan Tinggi
Islam, seperti UII (Universitas Islam Indonesia), UM (Universitas
Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas
Islam Malang), serta USU (Universitas Islam Sumatera Utara)[8].
Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada
dalam naungan dan tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA),
kemudian dilimpahkan kepada IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah
masing-masing. Sedangkan fakultas selain fakultas agama berada dibawah tanggung
jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang adalah Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi Islam membutuhkan tenaga
pendidik yang profesional dan mumpuni dibidangnya, maka dibutuhkan tenaga
pendidik tersebut demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan. Tenaga
pendidik tersebut dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik
kualitas maupun kuantitasnya. Pembinaan tenaga edukatif yang profesional dan
memenuhi syarat kualitatif dilakukan dengan mendorong dan membiayai mereka
untuk mengikuti program pendidikan pasca sarjana baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
Berkaitan dengan upaya membentuk tenaga pendidik di perguruan
tinggi Islam yang berkualitas. Maka Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, H.A. Timur Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
KEP/E/422/1981 tertanggal 13 Agustus 1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk
melaksanakan dan membuka program pasca sarjana. Akhirnya pada tanggal 25
Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982,
tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang
sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution
sebagai Dekan.
Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk
menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari
tenaga penggerak dan praktisi pendidikan Islam, penelitian, dan pengembangan
ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan tujuan Khusus didirikan
program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk
ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam serta
mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah
sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam.
Tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama
membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai
kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan
negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak
sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk
kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain yang memerlukan keahliannya
di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum. Sampai
sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari kalangan
masyarakat umumnya berkaitan dengan proses pendidikan dan out put IAIN dan
perguruan tinggi Islam lainnya[9].
Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang
wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan
eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna.
Kritik tersebut dapat dikemukakan antara lain : Kelemahan dalam kemampuan
berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan sikap mental ilmiah, dan
kekurangan piranti keras. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan dan
solusi dengan Memperbaruhi dan mengembangkan Wawasan keilmuan dasar Islami,
Memperbaruhi struktur institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta
usaha-usaha lain yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan
Perguruan Tinggi Islam lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga
tidak ditinggalkan oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya.
Dalam perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam
Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan
sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di
masyarakat, mereka berada di semua ini kehidupan masyarakat yang tentunya
adalah untuk membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang
lebih baik.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan bagian penting dari pembangunan nasional, mengemban misi yang diemban oleh tugas pembangunan. Maka karena itu tanggung jawab PTAI bagaimana mengorganisir dan mengembangkan sumber daya manusia melalui proses pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, tugas utamanya adalah membangun dan mengembangkan sumber daya manusia, dengan posisi sentral adalah mahasiswa.
Mahasiswa PTAI memiliki dua
keunggulan utama yakni keunggulan dalam hal pemahaman dan kematangan terhadap
nilai-nilai keagamaan secara universal dan pemahaman dan kematangan terhadap
nilai-nilai kebangsaan. Wujud keunggulan dari dua kematangan itu terakumulasi
dalam kurikulum yang dikembangkan pada PTAI yakni kurikulum yang bercorak
keagamaan dan kurikulum yang bercorak kebangsaan (keindonesiaan). Sehingga
sosok mahasiswa PTAI akan memiliki basic dan konsep keilmuan yang terpadu,
yakni antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (integrated).
Dengan pemahaman keduanya itu maka mahasiswa PTAI akan memiliki faham dan haluan kebangsaan yang luas dan plural, serta pemahaman keagamaan yang universal kontekstual. Inilah sosok mahasiswa PTAI yang akan dibangun. Konsep itu pula yang telah ditunjukan oleh sejarah perkembangan PTAI di Indonesia dari masa ke masa.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memiliki sejarah yang panjang, bermula dari ide KH.Wahid Hasyim yang kala itu menjadi Ketua Pengadilan Agama kemudian menjadi menteri agama. PTAI awalnya adalah pecahan dari Fakultas Agama Islam pada Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta.
Dengan pemahaman keduanya itu maka mahasiswa PTAI akan memiliki faham dan haluan kebangsaan yang luas dan plural, serta pemahaman keagamaan yang universal kontekstual. Inilah sosok mahasiswa PTAI yang akan dibangun. Konsep itu pula yang telah ditunjukan oleh sejarah perkembangan PTAI di Indonesia dari masa ke masa.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memiliki sejarah yang panjang, bermula dari ide KH.Wahid Hasyim yang kala itu menjadi Ketua Pengadilan Agama kemudian menjadi menteri agama. PTAI awalnya adalah pecahan dari Fakultas Agama Islam pada Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta.
Lewat peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1950
Fak. Agama Islam UII jogyakarta berubah menjadi PTAIN yang terdiri dari tiga
fakultas yakni Jurusan dakwah kelak menjadi Fak. Ushuluddin, Jurusan Qodlo
berubah menjadi Fak. Syariah, Jurusan pendidikan berubah menjadi Fak. Tarbiyah.
Dalam perkembangan selanjutnya UII tetap mempertahankan Fak. Agama sebagai salah
satu trade mark UII sebagai Perguruan tinggi Islam swasta pertama di Indonesia.
Oleh karena kelahiran PTAI di
Indonesia adalah bentuk dari aspirasi masyarakat muslim khususnya pada suatu
daerah maka, hampir setiap daerah di Indonesia berupaya untuk mendirikan PTAI
dengan berbagai corak dan karakteristiknya masing-masing. Kelahiran PTAI pada
tiap daerah tentu saja dimotivasi oleh beberapa hal diantaranya :
1.
Kebutuhan pendidikan tinggi dan bentuk
pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat.
2.
Untuk lebih memperdalam wawasan dan ilmu
pengetahuan keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya.
3.
Lewat PTAI dapat diperoleh pematangan
pengetahuan dan ilmu keagamaan secara luas dan komprehensif sehingga missi
Islam sebagai rahmatan lil alamiin dapat terwujud.
4.
PTAI juga dalam perkembangan selanjutnya mampu
membentuk mahasiswa dan alumni yang memahami ajaran Islam secara komprehensif
dan moderat.
Dalam
sejarah perkembangannya yang begitu panjang PTAI kemudian mendapat ruang gerak
yang luas sehingga mahasiswa dan alumninya memiliki nilai plus, karena otoritas
keagamaan yang ada di tangannya bisa dibumikan dengan menggunakan bahasa yang
bisa dipahami oleh publik secara luas, sehingga mahasiswa dan alumni PTAI bisa
menjadi pengamat politik, politisi, wartawan cetak dan elektronik, aktivis LSM,
bankir, advokat dan lain sebagiannya.
Ada beberapa
kekuatan lebih lainnya yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi Islam dibanding
dengan perguruan Tinggi lainnya, antara lain :
1.
Perguruan tinggi Islam oleh sementara
masyarakat dipandang mampu memberikan bekal kehidupan yang lengkap baik
menyangkut aspek keduniaan dan akhirat.
2.
Memiliki dukungan emosional yang luas dari
masyarakat
3.
Menyandang kekuatan motivasi yang bersifat
transenden yang hal itu kurang tumbuh berkembang di lingkungan lembaga
pendidikan tinggi lainnya.
Lembaga
perguruan tinggi Islam dengan menilik pada kekuatan dan peluangnya masih sangat
berpeluang di masa yang akan datang, yakni masih dapat memenangkan kompetisi
dan sekaligus menjadi perguruan tinggi alternative dengan catatan :
1.
Asal dikelola, dipimpin secara benar dan mampu
membangun dan memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik
yang bertaraf lokal, regional maupun internasional.
2.
Melakukan upaya-upaya revitalisasi, improvisasi
secara terus menerus termasuk visi dan misinya kelak,
3.
Mempertimbangkan kebutuhan konsumen,
4.
Melakukan inovasi dan memperbaharui managerial
dan leadership yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan lingkungannya, serta
perlunya terobosan-terobosan di dalam membangun dan memperkokoh jaringan
kemitraan dengan institusi-institusi lain.
Kerjasama
antar-perguruan tinggi merupakan salah satu upaya strategis di dalam memecahkan
berbagai kelemahan yang disandang suatu lembaga pendidikan tinggi. Di samping
itu, kerjasama dilakukan dalam rangka untuk membuka katub isolasionisme
institusional yang dihadapi perguruan tinggi, baik pada level lokal, nasional,
regional, maupun internasional.
Melalui
kerjasama perguruan tinggi Islam dengan lembaga-lembaga lain diharapkan akan
mampu menjadi pemicu bagi terlaksanakan terobosan-terobosan baru dalam
pengelolaan, peningkatan kualitas pendidikan, profesionalisme dan sebagainya.
Berbagai masalah yang dihadapi perguruan tinggi baik dalam bidang akademik,
kelembagaan, ketenagaan, pembiayaan maupun peluang kerja bagi alumni dapat
ditanggulangi dengan baik melalui kerjasama baik antar-perguruan tinggi
dan/atau lembaga lain, di dalam maupun luar negeri. Jika model konsep keummatan
di atas dapat diwujudkan, berarti mahasiwa PTAI telah menjadi embrio dan sedang
dalam proses pelaksanaan pengembangan dan pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas. Indikator sumber daya manusia yang berkualitas adalah sebagai
berikut :
1.
Memiliki iman dan takwa
2.
Memiliki budi pekerti
3.
Memiliki pengetahuan dan keterampilan
4.
Memiliki kesehatan jasmani dan rohani
5.
Memiliki kepribadian dan kemandirian
6.
. Memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Otokritik
dan sumber kelemahan IAIN
Mengiringi perjalanan IAIN, sejak
tahun pertama berdirinya (1960) hingga usianya yang kurang lebih 60 tahun
sekarang. IAIN tidak pernah luput dari otokritik dari civitas Akademica-nya
sendiri, akan tetapi semua itu tidak semata- mata untuk menjatuhkan martabat
IAIN, tetapi untuk kebaikan dan kemajuan IAIN.
Banyak pandangan terhadap IAIN terhadap akses yang sangat terbatas dalam
dunia pencarian kerja ha tersebut dikemukakan oleh Prof.A.Chotib Qudwain,
mantan rektor IAIN Sultan Toha Jambi, beliau ikut merasa kecewa alumni IAIN
yang sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang mereka. Pada
kenyataannya alumni IAIN hanya sebagian kecil saja yang bisa diserap oleh
lapangan pekerjaan, khususnya lowongan pekerjaan yang tersedia di lingkungan
Kementerian Agama, seperti menjadi guru, penyuluh program KB melalui jalur
agama, hakim agama, dan tenaga kependidikan lain di lembaga- lembaga pendidikan
yang dikelola oleh kementerian agama. Menteri Agama juga memberikan kritikan
yang tajam terhadap IAIN, yang dianggap lemah dalam bahasa asing, lemah
metodologi, dan lemah dalam mental ilmu[10].
Sesungguhnya sumber kekuatan dan
sekaligus sumberkelemahan IAIN berdampak luas terletak pada perkembangan
kuantitas yang sulit dikendalikan. Segi positif dari penyebaran IAIN :
1.
Memberikan
akses bagi generasi muda islam untuk berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi.
2.
Memberi
corak bagi masyarakat sebagai masyarakat madani dan bercorak islam.
3.
Mendorong
kegiatan dakwah dalam masyarakat sekitar.
4.
Membuka
kesempatan bagi guru- guru dan pegawai negeri untuk meningkatkan kemampuan dan
kompetensi serta standar pendidikan yang dituntut bagi suatu pekerjaan misalnya
seorang guru di Madrasah Tsanawiyah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku, harus sudah sarjana[11].
Kelemahan dari
perkembangan IAIN secara kuantitas yang demikian pesat sehingga tak terkontrol
adalah
1.
Sulit
memenuhi biaya pembangunansarana dan prasarana dan fasilitas pendidikan yang
memadai
2.
Sulit
memenuhi tenaga kependidikan baik
kuantitas maupun kualitas.
3.
Sulit
meningkatkan kemampuan dan kualitas tenaga dosen melalui program diploma atau
non diploma karena keterbatasan biaya atau beasiswa terlebih bgi IAIN /STAIN
4.
Dan
paling kursial, dan berdampak luas terhadap kehidupan bernegara, adalah bahwa
dengan jumlah kelembagaan yang tak terkontrol dengan kualitas yang substandar,
IAIN terus mencetak tenaga terdidik yang secara akumulatif, makin mempertinggi
angka pengangguran[12].
Diantara
alasan enam pemimpin UIN sekarang untuk memperjuangkan IAIN menjadi UIN adalah
:
1.
Dengan
berubahnya status institut menjadi Universitas, mereka dapat mengembangkan
program studi dan fakultas meraka dapat mengembangkan program studi dan
fakultas non agama atau fakultas umum yang memungkinkan para lulusan IAIN/UIN
memperoleh akses yang lebih luas dalam mencari lowongan pekerjaan.
2.
Untuk
mengintegrasikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, yang selama in
bersifat dikotomik dengan implikasinyayang tidak diinginkan[13].
Pengelompokan
secara dikotomik antara ilmu yang diakui secara universal ada tiga macam, yaitu
ilmu- ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu sosial dan ilmu ilmu humaniora.. disisi lain
umat islam mengembangkan ilmu agama islam dengn cabang-cabangnya ilmu
ushuluddin, ilmu syariah, ilmu tarbiyah, ilmu da’wah dan ilmu adab.
Dengan
adanya kedua jenis ilmu tersebut maka terjadilah dikotomi ilmu dan agama.
Pengelompokan secara dikotomik seperti itu berdampak luas dan pada akhirnya
disadari oleh umat islam bahwa mereka tertingga dari umat lainnya.
Upaya Integrasikan Ilmu agama dan Sosial
“Sains”
Perubahan IAIN ke UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih
maju. Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru-guru agama baru,
penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Stigma ini tersepsi
ketika alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang dihasilkan adalah tidak
memiliki standar yang diminta oleh pasar. Kita tidak bisa pungkiri bahwa,
keinginan di setiap kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan
beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama.
Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi
pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha
mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan
sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana
Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA) dari tahun 1957-1960. Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi
salah satu bagian dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif
Hidayatullah (yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya
Keppres No. 31 tahun 2002.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan
beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan
harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di
Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul
sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang
selama ini terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama
dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas paradigma
keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi
ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat
menghambat perkembangan ilmu sosial. Karena itu kiranya dibutuhkan paradigma
lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial
yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran
manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat
didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata.
Tetapi lebih dari itu. Pengeseran paradigma pemahaman agama mengarah pada
keterbukaan dan transparan dalam pergaulan di dunia.
Ada ketakutan bagi sebagian individu, kelompok, perubahan UIN sebuah ajang sekularisme terhadap fakultas agama, mungkin mereka punya alasan. Tapi bagi saya, tidaklah kuat, karena perubahan ini sebuah delema atas agama dalam menghadapi persoalan sosial. Kalau kita boleh mengutip penjelasan yang diutarnkan oleh al-Afghani, perubahan sebuah keharusan untuk keterbukaan, untuk menerima apa yang di suguhkan oleh modernitas Barat. Tujuan utama bukan meniru, tetapi menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat serta mencapai hukum perbedaan (diversity law), tetapi tetap pada lingkaran “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”. Masyarakat modern, paradigma ilmu pengetahuan yang objektif di bangun oleh motedelogi berdasarkan paradigma empiris dan nyata. Sedangkan agama sebagai hal-hal subjektif yang mengungkapkan perasaan dan emosional dan penilaian moral. Keduanya memiliki peran masing-masing, tetapi yang paling penting adalah keduanya tidak boleh dicampurkan. Kenyataan yang objektif dilihat dari ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosional , dan nilai moral menjadi bidang budaya dan agama. Kedunya agar memiliki arti penting dalam kehidupan adalah dengan mendialokannya, agar terdapat keserasian dalam mengelola kosmos dan kosmis ini.
Ada ketakutan bagi sebagian individu, kelompok, perubahan UIN sebuah ajang sekularisme terhadap fakultas agama, mungkin mereka punya alasan. Tapi bagi saya, tidaklah kuat, karena perubahan ini sebuah delema atas agama dalam menghadapi persoalan sosial. Kalau kita boleh mengutip penjelasan yang diutarnkan oleh al-Afghani, perubahan sebuah keharusan untuk keterbukaan, untuk menerima apa yang di suguhkan oleh modernitas Barat. Tujuan utama bukan meniru, tetapi menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat serta mencapai hukum perbedaan (diversity law), tetapi tetap pada lingkaran “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”. Masyarakat modern, paradigma ilmu pengetahuan yang objektif di bangun oleh motedelogi berdasarkan paradigma empiris dan nyata. Sedangkan agama sebagai hal-hal subjektif yang mengungkapkan perasaan dan emosional dan penilaian moral. Keduanya memiliki peran masing-masing, tetapi yang paling penting adalah keduanya tidak boleh dicampurkan. Kenyataan yang objektif dilihat dari ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosional , dan nilai moral menjadi bidang budaya dan agama. Kedunya agar memiliki arti penting dalam kehidupan adalah dengan mendialokannya, agar terdapat keserasian dalam mengelola kosmos dan kosmis ini.
Dalam perjalanannya, memang masih ada pro dan kontra dalam
perubahan ini. Pertanyaan yang mucul adalah perlukah Islamisasi ilmu? Ini
pertanyaan yang diajukan oleh tokoh pemikiran Islam Indonesia yaitu Mulyadi
Kartanegara , menurutnya, ketika bicara ada sebuah urgent untuk menjawab itu,
“kenapa tidak”, melahirkan sebuah pertanyaan apakah ia memang perlu?. ada
beberapa alasan untuk “jika perlu”. Tetapi tetap kita perhatikan, menganalisa
pembatasan ruang lingkup. Ilmuan-Ilmuan Barat modern hanya pada objek-objek
indrawi, pada awalnya pembagian kapling antara akal dan agama. Ini yang akan
melahirkan serta mencerminkan materialisme, sekularasisme, dan positivisme,
yakni pandangan-pandang filosofis yang biasanya berakhir dengan penolakan
terhadap realitas metafisik dan alam ghoib.
Akan tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa realitas berbicara
lain, bahwa umat juga tidak ingin lepas dari berkeinginan untuk mendalamkan
sain dan teknologi sebuah kebutuhan dan tuntutan zaman. Ini konsep yang di
tawarkan oleh Yudian Wahyudi “Islamic Positivist transedentalisme”. Positivis
adalah bicara Islam kekinian, sedangkan transeden adalah Islam punya orentasi
untuk hari esok, di mana hari diluar jangkauan manusia (akhirat). Ini salah
satu alasan bahwa, Islam tidak ada keingingan untuk memisahkan antara kapling
akal dan agama, karena dua-dua sangat dibutuh satu dengan yang lainnya, ini
yang melahirkan otentiksitas keilmuan, juga membedakan antara keilmuan Barat
dengan keilmuan keislaman. Pemikiran Islam tidak ingin seperti Darwin yang
mengantikan peran Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, dengan hukum
seleksi alamiah dalam “teori evolusi-nya”.
Dengan demikian, UIN sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang
sangat di pengaruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis),
untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis untuk menpertanyakan hakikat
“agama” dalam menjawab tantangan zaman. Untuk itu kedunya tidak bisa di
pisahkan agar menjadi agama yang objektif dan terpandang. Menurut Amin
Abdullah, Islam normatif dan Islam Historis tidak bisa di pisahkan, tetapi bisa
di bedakan, keduanya merupakan hasil dari konteks, pola berpikir dan asumsi
sejarah yang di bentuk oleh manusia pada jaman tertentu, kita sebagai manusia
harus memformulasikan secara baru agar membangun sebuah paradigma baru untuk
lebih maju.[14]
A.
Kesimpulan
Latar belakang didirikannya PTAIN ialah Perhatian umat islam
terhadap pendidikan agama islam semakin tumbuh ketika mengetahui bahwasannya
Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan gospel, dan juga dalam rangka
memenuhi kebutuhan guru agama islam di Indonesia.
Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan dan di
buka secara resmi pada tanggal 8 Juli 1945. Lalu pada tanggal 10 Maret 1948 STI
dirubah menjadi Universitas Islam Indonesia dengan empat fakultas yaitu: Fak.
Agama, Fak. Hukum, Fak. Ekonomi dan Fak. Pendidikan. Kemudian PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan september 1951 yang
berdasarkan pada peraturan pemerintah No. 34 Tahun 1950, yang ditanda tangani
oleh Presiden RI.
Sejak pertama didirikan hingga saat ini Sekolah Tinggi Islam telah
mengalami banyak perubahan dan juga perkembangan, yang mana perkembangan ini
menjadikan Sekolah Tinggi Islam atau Perguruan Tinggi Islam menjadi lebih baik
dan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, jumlah
perguruan tinggi Islam diseluruh Indonesia sangat banyak. Ada yang berbentuk
Sekolah Tinggi Islam Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), UIN (Universitas Islam Negeri) dan juga
sekolah tinggi swasta.
Dalam sejarah perkembangannya yang begitu panjang PTAI kemudian
mendapat ruang gerak yang luas sehingga mahasiswa dan alumninya memiliki nilai
plus, karena otoritas keagamaan yang ada di tangannya bisa dibumikan dengan
menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh publik secara luas, sehingga
mahasiswa dan alumni PTAI bisa menjadi pengamat politik, politisi, wartawan
cetak dan elektronik, aktivis LSM, bankir, advokat dan lain sebagiannya.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan
beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan
harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di
Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul
sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN.
Yunus, Mahmud, 1995, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos.
Hasbullah, 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Lintasan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam; Jakarta:
Rajawali Press.
Khaeruddin.
2004. Perkembangan
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV. Berkah Utami.
Zuhairini.
2004. Pengaruh
Sistem Pendidikan Islam terhadap Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Bumi
Aksara.
[1] http://forummah.blogspot.com/2011/11/sejarah-berdirinya-iain.html
[2] Zuhairini, dkk. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Hal. 197
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995) hal 367
[4] Ibid, hal, 389.
[5] Ahmad Haris,, Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi
UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi, dalam Andito (ed),
Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam, hal 119
[6] Wikipedia, Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_t…
20:20, 05/12/2012
[9] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, hal 88
[10] Marwan Saridjo, Pendidikan Islam Dari Masa ke Masa, hal. 195
[13]Marwan Saridjo, Pendidikan Islam Dari Masa ke Masa.hal.199
[14]http://dedisyaputra.wordpress.com/2011/02/10/perubahan-iain-ke-uin-membangun-sebuah-paradigma-baru
Langganan:
Postingan (Atom)