Senin, 04 Mei 2015

Sahabat


Kali ini aku ingin bercerita tentang sahabat. Setiap orang umumnya memiliki seorang sahabat, atau  teman dekat, kawan bermain, partner dalam berbisnis, ataupun teman seperjuangan. Biasanya mereka yang kita anggap sahabat memang orang-orang yang telah menjadi bagian dalam kehidupan kita. Mereka selalu menemani dan mewarnai kehidupan kita, baik dalam keadaan susah maupun senang.
Begitu juga denganku, aku punya seorang sahabat diwaktu kecil, namanya Sambadha. Dia adalah teman pertamaku ketika pindah sekolah di SDN Tlogomas III kelas 2 SD. Ketika itu keluargaku baru pindah ke kota Malang, tepatnya di jalan Merah Delima no. 20, kelurahan Tlogomas. Karena sebelumnya aku tinggal di desa dekat rumah nenek di daerah Bantur, Kabupaten Malang.

Awal Perkenalan
Awal perkenalanku dengan Sambadha adalah ketika jam istirahat sekolah, dia dan beberapa teman yang lain (Agung, didit, Adi ketua kelas, kuntiya teman sebangku) mengerumuniku dan menghujani dengan berbagai macam pertanyaan seperti orang yang sedang di interogasi.
Siang harinya ketika aku sedang bersepeda untuk berkeliling melihat-lihat koplek perumahan, aku bertemu dengan Sambadha yang sedang bermain di depan rumah. Langsung ia menyapa dan kami berbincang-bincang cukup lama. Dan ternyata rumahku dengan rumahnya hanya berjarak 10 rumah.
 Dan sejak hari itu aku sering bermain dan  belajar bersama-sama. Aku sering bermain kerumahnya. Rumahnya cukup besar dan asri, di dalamnya terdapat taman kecil yang ditanami pohon jambu besar yang berbuah setiap hari dan aku boleh memetiknya semauku. Selain itu di dalamnya juga ada studio musik, sehingga setiap hari selalu banyak orang-orang yang datang berkunjung baik untuk belajar musik, atau sekedar kumpul-kumpul bareng. Dan usut punya usut ternyata keluarga Sambadha memang keluarga Seniman. 
Disana keluarganya selalu menyambut dengan ramah, karena mungkin sejak pertemananku ia jadi punya teman bermain. Ya, Sambadha adalah anak bontot alias terakhir dari 3 bersaudara. kakak-kakaknya memang sudah besar, kakak pertama namanya Hendra sudah kuliah, dan kakak keduanya namanya Yudha sudah SMA, jadi setiap hari jika tidak ada teman yang datang bermain, maka ia hanya ditemani Bona kucing peliharaannya. 

Bermain sambil Belajar
Aku dan Sambadha sering belajar bersama ketika sepulang sekolah, bukan karena aku rajin belajar tetapi karena aku tidak diizinkan keluar rumah oleh ibuk kecuali untuk belajar. Jadinya aku suka izin untuk belajar agar bisa bermain diluar (hhe, bohong yang baik). Meski begitu kami memang selalu belajar dahulu baru kemudian bermain, karena dirumah sambadha ada Buleknya (ibu cilek) yang selalu mengawasi ketika kami belajar, dan setelah selesai barulah kami bisa bermain.
Permainan yang sering kami mainkan adalah kapal-kapalan. Permainan ini membutuhkan imajinasi yang tinggi, karena kapal yang kita naiki adalah kolong meja makan yang kita tutup sampingnya sehingga kita seolah-olah berada didalam ruang navigator kapal. Entahlah apa yang membuat kami suka bermain kapal-kapan seperti itu, yang jelas kalau sudah bermain kapal-kapalan kami bisa berjam-jam berada di bawah kolong meja.
Kadang-kadang kalau bosen kita biasanya bermain Bantengan. Permainan ini memang adalah kesenian daerah malang, tapi jangan dipikir kami bermain sampai kesurupan. Biasanya permainan ini kami mainkan bertiga atau berempat. Agung menjadi penabuh gendang, dan yang lain bergantian menjadi bantengnya dengan memegang kepala banteng yang biasa disebut caplokan. Jika biasanya kesenian bantengan diringi musik-musik ala Reog Ponorogo, maka lagu yang biasa ditabuh oleh Agung adalah lagu dangdut, dan juga lagu Dewa 19, (gak kebayang kan anehnya kayak apa?)  
Studio musik yang ada dirumahnya pun tak luput menjadi sasaran kami bermain, kadang ketika kosong kami masuk dang memainkan berbagai alat musik dengan teknik AS-AL pukul yang menciptakan irama yang luar biasa tidak beraturan. Bermain seperti ini sering kita mainkan dan baru berhenti ketika sore. Berhenti bukan untuk pulang, tapi untuk bermain bola. Di dekat komplek ada lapangan basket yang biasa kami gunakan untuk bermain bola bersama teman-teman komplek yang lain. Aku dan Sambadha biasanya bertugas untuk menghampiri dan mengajak teman-teman bermain bola. Uniknya adalah, teman yang kami ajak bermain bola umurnya jauh diatas kami, mereka yang sudah kelas 5 SD sampai yang sudah SMP, dan bahkan ada yang sudah kuliah,  jadi ketika bermain kami akan selalu dipanggil anak bawang alias gak dianggap.

Jamaah Tabligh
Meski sering bermain, kami juga tidak lupa mengaji. Setiap sore aku dan Sambadha selalu mengajak teman-teman yang lain untuk mengaji. Seperti biasa aku dan Sambadha lah yang bertugas mengajak teman-teman untuk sholat Maghrib berjamaah di Masjid, persis seperti yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh. Meskipun judulnya mengaji tetap saja kami kita bermain, entah itu kejar-kejaran di dalam Masjid, atau bermain voli penghapus.  Voli penghapus adalah istilah permainan yang kami mainkan di masjid, dengan mengandalkan Hijab/satir masjid sebagai net dan penghapus sebagai bolanya, ckck. Meskipun sudah dilarang oleh Ustadz Hepi tetapi tetap saja kami lanjut bermain karena beliau orangnya kalem jadi kami cukup kebal dengan omelanya. 
Ustadz Hepi adalah mahasiswa dan juga takmir yang bertugas di Masjid Al-Ghazali tempat kami bermain, eh mengaji. Tak  jarang kami dimarahi oleh pengurus “tua” Masjid Al-Ghazali yang memergoki kami bermain di masjid, Bahkan kami pernah di kunci selama lima menit di dalam kamar mandi masjid. Dan itu cukup membuat kami berhenti bermain di masjid selama satu hari, setelahnya kami akan tetap bermain seperti biasa. 
Petualangan Anak-anak Terpilih
Aku dan Sambadha selalu pulang sekolah bersama, awalnya kita hanya pulang berdua karena memang jalan pulang yang kami lewati tidak searah dengan teman-teman yang lain. Sampai akhirnya kami memilih untuk berjalan memutar demi bisa pulang sekolah bareng dengan teman-teman yang lain (Didit, Agung, Kuntiya, Azza, Fahruddin, Farel, dll). Ternyata pilihan itu cukup tepat, karena selama kita melewati jalan itu, perjalanan pulang kami menjadi lebih mengasyikkan dan menyenangkan.
Mungkin semuanya berawal ketika hari senin pada saat jam istirahat. seperti pada umumnya anak-anak SD di hari Senin, aku dan teman-teman selalu mereview setiap film kartun yang telah kami tonton di hari Minggu kemarin. Dan pada saat masa itu, film kartun yang banyak disukai adalah film Digimon Advanture. Film itu berkisah tentang anak-anak terpilih yang masuk ke dunia digital yang di dalamnya terdapat monster-monster jahat yang bisa mengancam kehidupan manusia di dunia nyata, skip. Sepulang sekolah, seperti biasa kami berjalan menyusuri jalan pulang sambil mengobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya menjurus kesatu topik pembahasan yaitu Legenda Watu Gong yang tempatnya akan kita lewati. (Watu Gong adalah batu besar yang berbentuk gong dan tengahnya dilubangi untuk menumbuk beras atau yang lainnya ; ini persepsi kami pada saat itu) 
Dan pada saat itu juga kami menghampiri Watu Gong yang ada di tanah lapang dan berkata bahwa dari dalam Watu Gong ini dapat keluar Monster yang akan mengancam kehidupan umat manusia, dan kami adalah anak-anak terpilih yang dapat menyelamatkan Dunia. Entah bagaimana awalnya, Legenda Watu Gong itu bisa kami hubungkan dengan Dunia Digimon. Tapi yang jelas pada saat itu imajinasi ala Spongebob (jaman itu Spongebob belum ada) sepertinya cukup bekerja dipikiran kami semua (Aku, Sambadha dan teman seperpulangan). Sejak hari itu pulang sekolah kami serasa lebih menegangkan, karena kami sama-sama ketakutan, berlari-lari, dengan hal yang kami bayangkan sendiri. Uniknya Kegiatan aneh itu berlanjut di setiap pulang sekolah dan baru berakhir ketika film Digimon Advanture 02 tamat.

Dulu Teman, Sekarang Lawan..Besok Sahabat
Dekatnya pertemananku dengan Sambadha bukan berarti bersih dari perselisihan  dan huru-hara akhir zaman. Kami juga sering bertengkar, pernah kami bertengkar karena kejar-kejaran, pernah kami bertengkar karena mainan, dan yang paling memorable adalah pertengkaran di depan rumahku. Alkisah aku sedang bermain bola bersama Affan (teman tetangga depan rumah), dan hanif (teman tapi bukan tetangga)di depan rumah.  Kemudian datang Sambadha bersama Aga, dan Febi. tidak seperti biasa ia datang dengan langsung menendang bola dan masuk ke dalam selokan. Aku pikir hanya bercanda, tapi ternyata kok terus-terusan, sampe akhirnya emosiku terpancing juga. jadi ya langsung aja aku tendang bola dan mendarat kencang kearah dadanya. Dan akhirnya peperangan akhir zamanpun tak terhindarkan, kami saling pukul secara brutal, sampai akhirnya dilerai oleh tetangga yang ada disekitar.
Perkelahian tadi sore membuat hatiku galau bukan main, bukan apa-apa tapi takut dimarahi bapak. Maklum saja, bapak paling marah kalau anaknya buat masalah dengan orang lain. Dan ternyata ibuk cukup kooperatif dengan menutup-nutupi kejadian tadi sore. Ketika hati sudah merasa tenang tiba-tiba datang tamu mengetuk pintu rumah. Ternyata Sambadha yang datang bersama kakaknya Mas Hendra. Hal itu membuat bulu kudukku merinding, dan ternyata benar kedatangannya ingin membicarakan perkelahian tadi sore. Singkat cerita, kami berdua disuruh untuk berdamai, tapi bagi kami berdua ini sama saja dengan genjatan senjata alias diem-dieman.
Bagiku, tinggal berdekatan dan juga satu sekolahan dengan musuh itu amat sangat tidak mengenakkan. Selama genjatan senjata, aku selalu mencoba menghindari segala bentuk kontak dengan Sambadha, baik itu kontak mata, kontak bicara, dan kontak batin (emang bisa?). Hal itu sama saja membatasi teritorialku dalam beroperasi, bayangkan saja ketika disekolah aku tidak akan bisa berbicara dengan Didit dan Agung ketika mereka sedang bersama Sambadha, dan sebaliknya Sambadha tidak akan berbicara dengan Didit dan Agung, ketika mereka berdua sedang berbicara denganku. Karena dalam genjatan senjata, yang mulai mengajak bicara terlebih dahulu berarti dia menyerah, dan menyerah berarti kalah. Tapi jika mengajak berbicara orang yang sedang bicara dengan kita tanpa mengajak kita berbicara, berarti itu melanggar aturan genjatan senjata. (jangan harap menemukan peraturan ini di PBB) 
Di siang harinya, tak pernah kuduga Sambadha datang kerumahku yang itu artinya dia menyerah. Tapi dia datang dengan tawaran yang tak bisa kutolak, dia mengajakku main PS1 di rentalnya mas Soni. Meski begitu, aku menerimanya dengan 1 syarat, syaratnya adalah game yang dimainkan adalah Bomberman dan bukan Winning Eleven. Jujur saja dulu aku paling gak bisa main WE, bisa bisa bukannya terhibur malah pegel karena kalah melulu. Akhirnya Sambadha menerima syarat yang kuajukan, dan akhirnya kamipun berdamai dan berjanji tidak akan pernah berperang lagi.
Mungkin hanya sedikit kisahku dengan Sambadha yang dapat ku ceritakan kepada kalian, tapi jangan pernah berfikir petualanganku bersama Sambadha sudah berakhir, karena cerita ini hanya kisahku dengan Sambadha sampai kelas 3 SD, dan kami selalu bersama sampai kemudian kami berpisah ketika kelas 1 SMP. meski telah lama berpisah aku selalu menganggap teman-temanku sebagai sahabat, bahkan keluarga. teringat doa dari Alhabib Umar bin Salim bin Hafidz dalam kitabnya Dhiya’ul Lami’ yang artinya “ Ya Allah kumpulkanlah kami dan orang-orang yang kami cintai di Surga FirdausMu, wahai yang hanya kepadaMu kami berharap”...Aamiin. 
Nb: maaf jika tulisan ini cukup membosankan, karena saya hanya ingin sekedar berbagi kisah dan sekedar bercerita. Barangkali ada hikmah yang bisa kalian petik darinya. Menulislah karena menulis adalah hak segala bangsa, Dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan.

0 komentar:

Posting Komentar