Senin, 04 Mei 2015

Makalah Sejarah Pendidikan Islam




PERKEMBANGAN PTAI

A.     Latar belakang
Pendidikan Islam yang lahir seiring dengan datangnya Islam itu sendiri, meskipun pada mulanya dalam bentuk yang sangat sederhana, dalam sejarahnya senantiasa tidak sunyi dari berbagai persoalan dan rintangan yang dihadapinya, dari berhadapan dengan segala tekanan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda dan sampai diberlakukannya kurikulum 1994 dan sebagainya. Kendatipun demikian, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa Pendidikan Islam dengan lembaga pendidikannya cukup mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Umat Islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia selalu mencari berbagai cara untuk membangun sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai pesantren yang sederhana sampai tingkat perguruan tinggi).
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang sekarang menyebar hampir di seluruh nusantara bukan merupakan bentuk kelembagaan yang final dalam perkembangan kelembagaan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia. Seperti tercatat dalam sejarah, nama Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia terus berubah sebagai upaya meresponi perkembangan masyarakat dan sekaligus juga sebagai obyek tarik menarik antara berbagai kekuatan atau kelompok dalam masyarakat.
Selain itu pendidikan juga merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam negara maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan umat Islam.





1.      Bagaimanakah sejarah dan latar belakang berdirinya PTAI di Indonesia?
2.      Bagaimanakah perkembangan PTAI di Indonesia ?
3.      Bagaimanakah eksistensi PTAI di Indonesia ?
4.      Bagaimnakah transformasi perubahan IAIN menjadi UIN?

1.    Agar mengetahui sejarah dan latar belakang didirikannya PTAIN di Indonesia
2.    Agar mengatahui bagaimana perkembangan PTAIN di Indonesia
3.    Agar memahami eksistensi PTAI di Indonesia
4.    Agar memahami transformasi IAIN menjadi UIN

D.     


Sekolah-sekolah islam telah berdiri sejak masa penjajahan Belanda, seperti madrasah dan pondok pesantren. Kemudian perhatian umat islam terhadap pendidikan agama islam semakin tumbuh ketika mengetahui bahwasannya Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan gospel. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi berdirinya PTAIN di Indonesia. Masyarakat muslim semakin sadar bahwa pendidikan agama islam tidak boleh berhenti dan terbatas di tingkat pesantren dan madrasah saja, akan tetapi pendidikan agama islam haru lanjut sampai ke tingkat perguruan tinggi islam. Dan ide untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam ini berkembang sekitar tahun 1930.
Pendidikan agama islam di indonesia mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah umum negeri pada tahun 1946. Dan sebagai tindak lanjut dari pengajaran pendidikan agama islam di sekolah-sekolah umum ini ialah dengan menyediakan dan mengadakan tenaga guru agama yang akan ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan guru agama islam, maka departemen agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam ( SGAI ) pada tahun 1950. Yang mana para lulusan dari SGAI ini dipersiapkan untuk bisa menjadi tenaga pendidik agama islam di sekolah dasar. Dan untuk tenaga guru agama islam di sekolah menengah, didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam, yang mana lulusan SGHAI ini selain menjadi guru agama islam di sekolah menengah, mereka juga dipersiapkan untuk bisa menjadi tenaga pengajar di SGAI dan juga untuk tenaga panitera pengadilan agama.
Sedangkan untuk memenuhi tenaga pengajar di SGHAI dan tenaga dosen islam di perguruan tinggi umum, untuk itu Departemen Agama mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri ( PTAIN ) yang mana PTAIN ini kemudian bernama IAIN ( Institut Agama Islam Negeri). Hal-hal tersebut merupakan hal-hal yang melatar belakangi didirikannya PTAIN di indonesia.


Perguruan Tinggi Islam yang pertama kali berdiri berada di daerah Padang Sumatera Barat. Perguruan Tinggi Islam ini berdiri pada tanggal 09 Desember 1940, yang mana berdirinya perguruan tinggi islam ini dipelopori oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam yang dipimpin oleh Mahmud Yunus.
Lalu pada kongres MIAI II ( Majelis Islam A’la Indonesia ) yang diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939 dan dihadiri oleh 25 organisasi islam. Pada kongres tersebut dihasilkan dukungan untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam. Lalu pada bulan Juni 1938, M. Natsir menulis artikel mengenai pentingnya Sekolah Tinggi Islam yang bisa menghasilkan kelompok intelektual yang memiliki basas pegetahuan islam dan kebudayaan yang kuat sebagai alternative pendidikan ala barat.
Maka Masyumi ( Majelis Syura Muslim Indonesia ) yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi Islam mempelopori mendirikan Perguruan Tinggi Islam, sebagai tindak lanjut dari artikel M. Natsir. Kemudian pada bulan April 1945 diadakan rapat dengan sejumlah toko besar yang antara lain :
1.   PBNU dihadiri oleh KH Abdul Wahab, KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan Zainal Arifin.
2.   PB Muhammadiyah di hadiri Ki Bagus Hadikusuma, KH. Farid Ma’rif KH. Mas Mansur, dan lain-lain
3.    PB POI dihadiri KH A.Halim dan H.Mansur
4.    PB PUII dihadiri A Sanusi dan Sumoatmojo
5.    PB Al Islam di hadiri KH. Imam Ghazali
6.    Shumubu dihadri A. Kahar Muzakar, KH. A. Moh Adnan, KH. Imam Zarkasi
7.    Cendekiawan intelektual dihadiri oleh Dr. Sukiman Wirdjosadojo, Muh Ruum, dan lain-lain.[1]

Pada sidang tersebut diputuskan untuk membentuk panitia perencana Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Lalu dengan bantuan dari pemerintah pendudukan Jepang STI didirikan dan di buka secara resmi pada tanggal 8 Juli 1945.
STI ikut pemerintah pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka kembali. Kemudian pada November 1947 dibentuk panitia perbaikan STI. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan jangkauan STI. Hasil sidang memutuskan untuk mendirikan Universita Islam Indonesia pada tanggal 10 Maret 1948 dengan empat fakultas yaitu: Fak. Agama, Fak. Hukum, Fak. Ekonomi dan Fak. Pendidikan.
     Selanjutnya didirikan PTAIN di Yogyakarta pada bulan september 1951 yang berdasarkan pada peraturan pemerintah No. 34 Tahun 1950, yang ditanda tangani ole Presiden RI. Yang mana dalam pasal 2 pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa PTAIN dimaksudkan untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama islam.
Pada bulan Juni 1957 di jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan penetapan Menteri Agama No.1 Tahun 1957. Tujuann didirikannya ADIA ini adalah untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama.[2]
Dari keterangan diatas bisa diketahui bahwasannya PTAIN yang pertama bernama IAIN dan berdiri pada tahun 1951 dan diresmikan secara langsung oleh Presiden RI, lalu pada tahun 1957 didirikan pula ADIA, yang mana kedua lembaga pendidikan ini didirikan dengan tujuan untuk meluluskan siswa yang mahir dalam bidang agama islam, sehingga para lulusannya bisa menjadi tenaga pendidik agama islam di lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan juga bisa menjadi tenaga petugas pada bidang pendidikan di Departemen Agama. Pada bulan Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah.

Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam, pada tahun 1950 Departemen Agama telah mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI)[3]. Lulusan sekolah ini dipersiapkan sebagai guru agama di sekolah dasar baik sekolah umum maupun sekolah dasar Islam. Sedangkan untuk memenuhi guru-guru agama Islam di sekolah menengah Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Tamatan sekolah ini juga untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah dan sebagai hakim di pengadilan agama.
Umat Islam telah memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan tinggi yang berbasiskan Islam dengan tujuan untuk memperdalam dan memahami ajaran Islam. Sebelum Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan tinggi telah diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Minangkabau yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1940[4]. Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan Jepang di Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya mengizinkan pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan menengah. Sedangkan di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan tinggi Islam.
Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun 1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo dan Surabaya. Akibat penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat direalisasikan. Baru pada tahun 1945 STI dapat didirikan atas inisiatif beberapa pemimpin Islam yang tergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Sedangkan STI tersebut diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika terjadi perang kemerdekaan STI dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945. Namun tiga tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948 STI di Yogyakarta ini berubah bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Paedagogik (Pendidikan).
Melalui peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14 Agustus 1950, Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan serta memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Agama. Seiring dengan hal tersebut Fakultas Umum UII yaitu Fakultas Hukum, fakultas Ekonomi dan Fakultas Pendidikan berubah bentuk menjadi Universitas Gajah Mada (UGM) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950. dengan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan[5].
Perkembangan selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli pendidikan agama dan urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta sebagaimana dituangkan dalam penetapan Menteri Agama No. 1 Tahun 1957. ADIA terdiri dari dua jurusan yaitu Jurusan Pendidikan Agama dan Jurusan Sastra. Lama studi di ADIA ini adalah lima tahun yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu tingkat Semi Akademi selama 3 tahun, sedangkan tingkat kedua adalah Akademi yang ditempuh selama 2 tahun. Sejak berdirinya Departemen Agama pada tahun 1946, muncul kebutuhan-kebutuhan terhadap tenaga-tenaga ahli agama Islam dan hakim-hakim agama di pengadilan agama. Kekurangan tenaga hakim tersebut dapat dipenuhi dengan membuka jurusan Hakim Agama di ADIA. Untuk sementara para mahasiswanya hanya mereka yang telah menjadi pegawai dan jawatan agama yang telah mengabdikan diri selama tidak kurang dari dua tahun dan berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun, sehingga ADIA tidak dapat menambah kuantitas mereka dan hanya meningkatkan kualitas para pegawai yang bekerja di lingkungan Departemen agama saja. Dengan demikian ADIA disamping menciptakan tenaga-tenaga guru agama juga menciptakan tenaga-tenaga terampil dalam bidang hukum yaitu hakim-hakim agama dan menciptakan tenaga profesional lain yang dibutuhkan dilingkungan Departemen Agama.
Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan ADIA, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “AL-JAMI’AH ISLAMIYAH AL-HUKUMIYAH” atau “INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Rektor Prof. Mr. RHA. Soenarjo, yang kemudian diberi nama IAIN Sunan Kalijaga. Akhirnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960. Latar belakang penggabungan tersebut menurut A. Hasjmy adalah keinginan untuk mendirikan kampus Darussalam di Aceh sebagai upaya untuk pemulihan keamanan yang diakibatkan karena pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan Daud Beureueeh, mantan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada zaman revolusi. Gubernur Aceh mengemukakan usul kepada Presiden Sukarno agar di bangun Perguruan tinggi Islam Negeri dan Perguruan Tinggi Umum di dalam kampus Darussalam dengan alasan pemulihan keamanan. Usul tersebut mendapat persetujuan oleh Presiden Republik Indonesia. Kemudian sebagai realisasi usulan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama berunding dengan Gubernur Aceh yang menghasilkan persetujuan bahwa didalam kampus Darussalam akan didirikan Fakultas Agama Islam Negeri[6].
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meminta agar fakultas tersebut dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga Departemen Agama menginginkan bahwa Fakultas tersebut berada dalam nauangan Departemen Agama. Pada akhir September 1959 Gubernur Aceh pergi ke Jakarta, waktu itu Departemen P dan K mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Kehewanan di Darussalam. Pada saat yang sama Menteri Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Panitia Persiapan Pendirian Fakultas Agama Islam Negeri. Setelah surat keputusan Menteri Agama yang tertanggal September 1959 No. 48 tersiar tembusannya ke berbagai departemen dan instansi, Menteri P dan K melakukan protes ke Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh K. Wahib Wahab dengan alasan bahwa menurut konsensus yang telah disepakati, bahwa hanya Departemen P dan K saja yang boleh mengelola Universitas dengan fakultas-fakultasnya. Sedangkan Departemen Agama hanya mengelola Akademi Dinas. Selanjutnya diadakannya beberapa perundingan yang khusus membahas perdebatan tersebut antara Prof. DR. Priyono sebagai Menteri P dan K dengan K. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Akhirnya perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa Departemen Agama boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam asalkan tidak dinamai Universitas, maka didirikanlah IAIN dengan melebur PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta, menjadi IAIN yang berkedudukan di Yogyakarta dan Jakarta sebagai cabangnya.
Berhubungan dengan itu, Fakultas Agama Islam Negeri yang ditetapkan dengan SK Menteri Agama No. 48 September 1959, dirubah menjadi Fakultas Syariah di Banda Aceh (cabang dari IAIN Yogyakarta) berdasarkan SK Menteri Agama tertanggal 2 Agustus 1960 No. 40 tahun 1960. Setelah berjalan selama dua tahun, IAIN mengalami perkembangan yang cepat. Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963 tertanggal 25 Pebruari.
Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera. Menyusul Keputusan Menteri Agama diatas keluarlah peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tanggal 5 Desember 1963 yang antara lain dinyatakan bahwa diluar Yogyakarta dan Jakarta dapat diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan memberi hak kepada fakultas-fakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan ujian-ujian. Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN.
Sehingga sampai tahun 1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh Indonesia, yaitu : 1. IAIN Sunan Kalijogo di Yogyakarta 2. IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta 3. IAIN Jami’ah Ar-Raniri di Aceh 4. IAIN Raden Fatah di Palembang 5. IAIN Antasari di Banjarmasin 6. IAIN Alaudin di Ujung Pandang 7. IAIN Sunan Ampel di Surabaya 8. IAIN Imam Bonjol di Padang 9. IAIN Sultan Thoha Saifuddin di Jambi 10. IAIN Sunan Gunung Jati di Bandung 11. IAIN Raden Intan di Tanjung Karang 12. IAIN Wali Songo di Semarang 13. IAIN Syarif Qosim di Pekan Baru 14. IAIN Sumatera Utara di Medan.
Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk. Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia. STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri tersebut antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang 5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9. STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat 16. STAIN Kerinci 17. STAIN Bukittinggi 18. STAIN Pekalongan 19. STAIN Pontianak 20. STAIN Pare-Pare 21. STAIN Curup 22. STAIN Manado 23. STAIN Watampone 24. STAIN Kudus 25. STAIN Palangkaraya 26. STAIN Cirebon 27. STAIN Kendari 28. STAIN Samarinda 29. STAIN Pontianak 30. STAIN Jurai Siwo 31. STAIN Ambon 32. STAIN 33. STAIN[7].
Selanjutnya, STAIN Malang berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Meskipun pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah yang berkembang pesat sebagai hambatan.
Berdirinya perguruan tinggi Islam swasta dimaksudkan untuk membendung faham komunisme, atheisme yang berkembang sekitar tahun 60-an, demi kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak lolos seleksi di perguruan tinggi Islam negeri. Fakultas-fakultas agama yang ada pada mulanya hanya berstatus “terdaftar” dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, kemudian meningkat menjadi berstatus “Diakui” sehingga sekitar pada tahun 1972 terdapat sekitar 110 fakultas agama yang berinduk pada 81 perguruan tinggi Islam negeri. Disamping itu terdapat pula perguruan Tinggi Islam, seperti UII (Universitas Islam Indonesia), UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas Islam Sumatera Utara)[8].
Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing. Sedangkan fakultas selain fakultas agama berada dibawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Kenyataan bahwa dalam perguruan tinggi Islam membutuhkan tenaga pendidik yang profesional dan mumpuni dibidangnya, maka dibutuhkan tenaga pendidik tersebut demi tercapainya pendidikan yang berdaya dan relevan. Tenaga pendidik tersebut dibutuhkan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta baik kualitas maupun kuantitasnya. Pembinaan tenaga edukatif yang profesional dan memenuhi syarat kualitatif dilakukan dengan mendorong dan membiayai mereka untuk mengikuti program pendidikan pasca sarjana baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Berkaitan dengan upaya membentuk tenaga pendidik di perguruan tinggi Islam yang berkualitas. Maka Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, H.A. Timur Djaelani, mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KEP/E/422/1981 tertanggal 13 Agustus 1981 dan menunjuk IAIN Jakarta untuk melaksanakan dan membuka program pasca sarjana. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1982, Menteri Agama menerbitkan Surat Keputusan Nomor 78 tahun 1982, tentang pembukaan Fakultas Pasca Sarjana pada IAIN Syarif Hidayatullah (yang sekarang berubah menjadi UIN) dengan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan.
Tujuan umum didirikannya pasca sarjana IAIN adalah untuk menghasilkan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak dan praktisi pendidikan Islam, penelitian, dan pengembangan ilmu serta pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan tujuan Khusus didirikan program pasca sarjana adalah untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, dan untuk memiliki sikap yang ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli yang bertanggung jawab di bidang ilmu agama Islam.
Tujuan Institusional Pendidikan Tinggi Agama Islam adalah Pertama membentuk sarjana Muslim yang berakhlak mulia, berilmu cakap serta mempuyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kedua Mencetak sarjana-sarjana Muslim atau pejabat-pejabat agama Islam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama maupun instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam bidang agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum. Sampai sekarang ini masih terdapat keluhan-keluhan baik dari IAIN maupun dari kalangan masyarakat umumnya berkaitan dengan proses pendidikan dan out put IAIN dan perguruan tinggi Islam lainnya[9].
Dari satu segi, keluhan atau tepatnya kritik itu merupakan hal yang wajar, dan bahkan diperlukan untuk mendorong proses inovasi dan penyempurnaan eksistensi IAIN secara terus menerus, sehingga kehadirannya lebih bermakna. Kritik tersebut dapat dikemukakan antara lain : Kelemahan dalam kemampuan berbahasa, kelemahan sistem dan metode, kelemahaan sikap mental ilmiah, dan kekurangan piranti keras. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan dan solusi dengan Memperbaruhi dan mengembangkan Wawasan keilmuan dasar Islami, Memperbaruhi struktur institusional dan Memperbaruhi sistem kepemimpinan serta usaha-usaha lain yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan membangun IAIN dan Perguruan Tinggi Islam lainnya, agar selalu dapat menjawab tantangan zaman, sehingga tidak ditinggalkan oleh masyarakat, tetapi kehadirannya justru dirindukannya.
Dalam perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, mereka berada di semua ini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.


       Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan bagian penting dari pembangunan nasional, mengemban misi yang diemban oleh tugas pembangunan. Maka karena itu tanggung jawab PTAI bagaimana mengorganisir dan mengembangkan sumber daya manusia melalui proses pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, tugas utamanya adalah membangun dan mengembangkan sumber daya manusia, dengan posisi sentral adalah mahasiswa.
           Mahasiswa PTAI memiliki dua keunggulan utama yakni keunggulan dalam hal pemahaman dan kematangan terhadap nilai-nilai keagamaan secara universal dan pemahaman dan kematangan terhadap nilai-nilai kebangsaan. Wujud keunggulan dari dua kematangan itu terakumulasi dalam kurikulum yang dikembangkan pada PTAI yakni kurikulum yang bercorak keagamaan dan kurikulum yang bercorak kebangsaan (keindonesiaan). Sehingga sosok mahasiswa PTAI akan memiliki basic dan konsep keilmuan yang terpadu, yakni antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (integrated).
Dengan pemahaman keduanya itu maka mahasiswa PTAI akan memiliki faham dan haluan kebangsaan yang luas dan plural, serta pemahaman keagamaan yang universal kontekstual. Inilah sosok mahasiswa PTAI yang akan dibangun. Konsep itu pula yang telah ditunjukan oleh sejarah perkembangan PTAI di Indonesia dari masa ke masa.
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) memiliki sejarah yang panjang, bermula dari ide KH.Wahid Hasyim yang kala itu menjadi Ketua Pengadilan Agama kemudian menjadi menteri agama. PTAI awalnya adalah pecahan dari Fakultas Agama Islam pada Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta.
             Lewat peraturan pemerintah nomor 34 tahun 1950 Fak. Agama Islam UII jogyakarta berubah menjadi PTAIN yang terdiri dari tiga fakultas yakni Jurusan dakwah kelak menjadi Fak. Ushuluddin, Jurusan Qodlo berubah menjadi Fak. Syariah, Jurusan pendidikan berubah menjadi Fak. Tarbiyah. Dalam perkembangan selanjutnya UII tetap mempertahankan Fak. Agama sebagai salah satu trade mark UII sebagai Perguruan tinggi Islam swasta pertama di Indonesia.
          Oleh karena kelahiran PTAI di Indonesia adalah bentuk dari aspirasi masyarakat muslim khususnya pada suatu daerah maka, hampir setiap daerah di Indonesia berupaya untuk mendirikan PTAI dengan berbagai corak dan karakteristiknya masing-masing. Kelahiran PTAI pada tiap daerah tentu saja dimotivasi oleh beberapa hal diantaranya :
1.      Kebutuhan pendidikan tinggi dan bentuk pemerataan kesempatan pendidikan bagi masyarakat.
2.      Untuk lebih memperdalam wawasan dan ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu-ilmu lainnya.
3.      Lewat PTAI dapat diperoleh pematangan pengetahuan dan ilmu keagamaan secara luas dan komprehensif sehingga missi Islam sebagai rahmatan lil alamiin dapat terwujud.
4.    PTAI juga dalam perkembangan selanjutnya mampu membentuk mahasiswa dan alumni yang memahami ajaran Islam secara komprehensif dan moderat.

Dalam sejarah perkembangannya yang begitu panjang PTAI kemudian mendapat ruang gerak yang luas sehingga mahasiswa dan alumninya memiliki nilai plus, karena otoritas keagamaan yang ada di tangannya bisa dibumikan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh publik secara luas, sehingga mahasiswa dan alumni PTAI bisa menjadi pengamat politik, politisi, wartawan cetak dan elektronik, aktivis LSM, bankir, advokat dan lain sebagiannya.
Ada beberapa kekuatan lebih lainnya yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi Islam dibanding dengan perguruan Tinggi lainnya, antara lain :
1.      Perguruan tinggi Islam oleh sementara masyarakat dipandang mampu memberikan bekal kehidupan yang lengkap baik menyangkut aspek keduniaan dan akhirat.
2.      Memiliki dukungan emosional yang luas dari masyarakat
3.      Menyandang kekuatan motivasi yang bersifat transenden yang hal itu kurang tumbuh berkembang di lingkungan lembaga pendidikan tinggi lainnya.
Lembaga perguruan tinggi Islam dengan menilik pada kekuatan dan peluangnya masih sangat berpeluang di masa yang akan datang, yakni masih dapat memenangkan kompetisi dan sekaligus menjadi perguruan tinggi alternative dengan catatan :
1.      Asal dikelola, dipimpin secara benar dan mampu membangun dan memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik yang bertaraf lokal, regional maupun internasional.
2.      Melakukan upaya-upaya revitalisasi, improvisasi secara terus menerus termasuk visi dan misinya kelak,
3.      Mempertimbangkan kebutuhan konsumen,
4.      Melakukan inovasi dan memperbaharui managerial dan leadership yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan lingkungannya, serta perlunya terobosan-terobosan di dalam membangun dan memperkokoh jaringan kemitraan dengan institusi-institusi lain.


Kerjasama antar-perguruan tinggi merupakan salah satu upaya strategis di dalam memecahkan berbagai kelemahan yang disandang suatu lembaga pendidikan tinggi. Di samping itu, kerjasama dilakukan dalam rangka untuk membuka katub isolasionisme institusional yang dihadapi perguruan tinggi, baik pada level lokal, nasional, regional, maupun internasional.
Melalui kerjasama perguruan tinggi Islam dengan lembaga-lembaga lain diharapkan akan mampu menjadi pemicu bagi terlaksanakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan, peningkatan kualitas pendidikan, profesionalisme dan sebagainya. Berbagai masalah yang dihadapi perguruan tinggi baik dalam bidang akademik, kelembagaan, ketenagaan, pembiayaan maupun peluang kerja bagi alumni dapat ditanggulangi dengan baik melalui kerjasama baik antar-perguruan tinggi dan/atau lembaga lain, di dalam maupun luar negeri. Jika model konsep keummatan di atas dapat diwujudkan, berarti mahasiwa PTAI telah menjadi embrio dan sedang dalam proses pelaksanaan pengembangan dan pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Indikator sumber daya manusia yang berkualitas adalah sebagai berikut :
1.      Memiliki iman dan takwa
2.      Memiliki budi pekerti
3.      Memiliki pengetahuan dan keterampilan
4.      Memiliki kesehatan jasmani dan rohani
5.      Memiliki kepribadian dan kemandirian
6.      . Memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Otokritik dan sumber kelemahan IAIN
            Mengiringi perjalanan IAIN, sejak tahun pertama berdirinya (1960) hingga usianya yang kurang lebih 60 tahun sekarang. IAIN tidak pernah luput dari otokritik dari civitas Akademica-nya sendiri, akan tetapi semua itu tidak semata- mata untuk menjatuhkan martabat IAIN, tetapi untuk kebaikan dan kemajuan IAIN.  Banyak pandangan terhadap IAIN terhadap akses yang sangat terbatas dalam dunia pencarian kerja ha tersebut dikemukakan oleh Prof.A.Chotib Qudwain, mantan rektor IAIN Sultan Toha Jambi, beliau ikut merasa kecewa alumni IAIN yang sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang mereka. Pada kenyataannya alumni IAIN hanya sebagian kecil saja yang bisa diserap oleh lapangan pekerjaan, khususnya lowongan pekerjaan yang tersedia di lingkungan Kementerian Agama, seperti menjadi guru, penyuluh program KB melalui jalur agama, hakim agama, dan tenaga kependidikan lain di lembaga- lembaga pendidikan yang dikelola oleh kementerian agama. Menteri Agama juga memberikan kritikan yang tajam terhadap IAIN, yang dianggap lemah dalam bahasa asing, lemah metodologi, dan lemah dalam mental ilmu[10].
            Sesungguhnya sumber kekuatan dan sekaligus sumberkelemahan IAIN berdampak luas terletak pada perkembangan kuantitas yang sulit dikendalikan. Segi positif dari penyebaran IAIN :
1.      Memberikan akses bagi generasi muda islam untuk berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi.
2.      Memberi corak bagi masyarakat sebagai masyarakat madani dan bercorak islam.
3.      Mendorong kegiatan dakwah dalam masyarakat sekitar.
4.      Membuka kesempatan bagi guru- guru dan pegawai negeri untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi serta standar pendidikan yang dituntut bagi suatu pekerjaan misalnya seorang guru di Madrasah Tsanawiyah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, harus sudah sarjana[11].

Kelemahan dari perkembangan IAIN secara kuantitas yang demikian pesat sehingga tak terkontrol adalah
1.      Sulit memenuhi biaya pembangunansarana dan prasarana dan fasilitas pendidikan yang memadai
2.      Sulit memenuhi  tenaga kependidikan baik kuantitas maupun kualitas.
3.      Sulit meningkatkan kemampuan dan kualitas tenaga dosen melalui program diploma atau non diploma karena keterbatasan biaya atau beasiswa terlebih bgi IAIN /STAIN
4.      Dan paling kursial, dan berdampak luas terhadap kehidupan bernegara, adalah bahwa dengan jumlah kelembagaan yang tak terkontrol dengan kualitas yang substandar, IAIN terus mencetak tenaga terdidik yang secara akumulatif, makin mempertinggi angka pengangguran[12].


Diantara alasan enam pemimpin UIN sekarang untuk memperjuangkan IAIN menjadi UIN adalah :
1.      Dengan berubahnya status institut menjadi Universitas, mereka dapat mengembangkan program studi dan fakultas meraka dapat mengembangkan program studi dan fakultas non agama atau fakultas umum yang memungkinkan para lulusan IAIN/UIN memperoleh akses yang lebih luas dalam mencari lowongan pekerjaan.
2.      Untuk mengintegrasikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, yang selama in bersifat dikotomik dengan implikasinyayang tidak diinginkan[13].
Pengelompokan secara dikotomik antara ilmu yang diakui secara universal ada tiga macam, yaitu ilmu- ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu sosial dan ilmu ilmu humaniora.. disisi lain umat islam mengembangkan ilmu agama islam dengn cabang-cabangnya ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu tarbiyah, ilmu da’wah dan ilmu adab.
Dengan adanya kedua jenis ilmu tersebut maka terjadilah dikotomi ilmu dan agama. Pengelompokan secara dikotomik seperti itu berdampak luas dan pada akhirnya disadari oleh umat islam bahwa mereka tertingga dari umat lainnya.
Upaya Integrasikan Ilmu agama dan Sosial “Sains”
Perubahan IAIN ke UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN di anggap kampus yang memproduksi guru-guru agama baru, penganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Stigma ini tersepsi ketika alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang dihasilkan adalah tidak memiliki standar yang diminta oleh pasar. Kita tidak bisa pungkiri bahwa, keinginan di setiap kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dari tahun 1957-1960. Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah (yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres No. 31 tahun 2002.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Karena itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata. Tetapi lebih dari itu. Pengeseran paradigma pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam pergaulan di dunia.
Ada ketakutan bagi sebagian individu, kelompok, perubahan UIN sebuah ajang sekularisme terhadap fakultas agama, mungkin mereka punya alasan. Tapi bagi saya, tidaklah kuat, karena perubahan ini sebuah delema atas agama dalam menghadapi persoalan sosial. Kalau kita boleh mengutip penjelasan yang diutarnkan oleh al-Afghani, perubahan sebuah keharusan untuk keterbukaan, untuk menerima apa yang di suguhkan oleh modernitas Barat. Tujuan utama bukan meniru, tetapi menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat serta mencapai hukum perbedaan (diversity law), tetapi tetap pada lingkaran “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”. Masyarakat modern, paradigma ilmu pengetahuan yang objektif di bangun oleh motedelogi berdasarkan paradigma empiris dan nyata. Sedangkan agama sebagai hal-hal subjektif yang mengungkapkan perasaan dan emosional dan penilaian moral. Keduanya memiliki peran masing-masing, tetapi yang paling penting adalah keduanya tidak boleh dicampurkan. Kenyataan yang objektif dilihat dari ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosional , dan nilai moral menjadi bidang budaya dan agama. Kedunya agar memiliki arti penting dalam kehidupan adalah dengan mendialokannya, agar terdapat keserasian dalam mengelola kosmos dan kosmis ini.
Dalam perjalanannya, memang masih ada pro dan kontra dalam perubahan ini. Pertanyaan yang mucul adalah perlukah Islamisasi ilmu? Ini pertanyaan yang diajukan oleh tokoh pemikiran Islam Indonesia yaitu Mulyadi Kartanegara , menurutnya, ketika bicara ada sebuah urgent untuk menjawab itu, “kenapa tidak”, melahirkan sebuah pertanyaan apakah ia memang perlu?. ada beberapa alasan untuk “jika perlu”. Tetapi tetap kita perhatikan, menganalisa pembatasan ruang lingkup. Ilmuan-Ilmuan Barat modern hanya pada objek-objek indrawi, pada awalnya pembagian kapling antara akal dan agama. Ini yang akan melahirkan serta mencerminkan materialisme, sekularasisme, dan positivisme, yakni pandangan-pandang filosofis yang biasanya berakhir dengan penolakan terhadap realitas metafisik dan alam ghoib.
Akan tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa realitas berbicara lain, bahwa umat juga tidak ingin lepas dari berkeinginan untuk mendalamkan sain dan teknologi sebuah kebutuhan dan tuntutan zaman. Ini konsep yang di tawarkan oleh Yudian Wahyudi “Islamic Positivist transedentalisme”. Positivis adalah bicara Islam kekinian, sedangkan transeden adalah Islam punya orentasi untuk hari esok, di mana hari diluar jangkauan manusia (akhirat). Ini salah satu alasan bahwa, Islam tidak ada keingingan untuk memisahkan antara kapling akal dan agama, karena dua-dua sangat dibutuh satu dengan yang lainnya, ini yang melahirkan otentiksitas keilmuan, juga membedakan antara keilmuan Barat dengan keilmuan keislaman. Pemikiran Islam tidak ingin seperti Darwin yang mengantikan peran Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara alam, dengan hukum seleksi alamiah dalam “teori evolusi-nya”.
Dengan demikian, UIN sebagai lambang perubahan dalam sejarah yang sangat di pengaruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis untuk menpertanyakan hakikat “agama” dalam menjawab tantangan zaman. Untuk itu kedunya tidak bisa di pisahkan agar menjadi agama yang objektif dan terpandang. Menurut Amin Abdullah, Islam normatif dan Islam Historis tidak bisa di pisahkan, tetapi bisa di bedakan, keduanya merupakan hasil dari konteks, pola berpikir dan asumsi sejarah yang di bentuk oleh manusia pada jaman tertentu, kita sebagai manusia harus memformulasikan secara baru agar membangun sebuah paradigma baru untuk lebih maju.[14]

A.    Kesimpulan
Latar belakang didirikannya PTAIN ialah Perhatian umat islam terhadap pendidikan agama islam semakin tumbuh ketika mengetahui bahwasannya Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan gospel, dan juga dalam rangka memenuhi kebutuhan guru agama islam di Indonesia.
 Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan dan di buka secara resmi pada tanggal 8 Juli 1945. Lalu pada tanggal 10 Maret 1948 STI dirubah menjadi Universitas Islam Indonesia dengan empat fakultas yaitu: Fak. Agama, Fak. Hukum, Fak. Ekonomi dan Fak. Pendidikan. Kemudian PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan september 1951 yang berdasarkan pada peraturan pemerintah No. 34 Tahun 1950, yang ditanda tangani oleh Presiden RI.
Sejak pertama didirikan hingga saat ini Sekolah Tinggi Islam telah mengalami banyak perubahan dan juga perkembangan, yang mana perkembangan ini menjadikan Sekolah Tinggi Islam atau Perguruan Tinggi Islam menjadi lebih baik dan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, jumlah perguruan tinggi Islam diseluruh Indonesia sangat banyak. Ada yang berbentuk Sekolah Tinggi Islam Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), UIN (Universitas Islam Negeri) dan juga sekolah tinggi swasta.
Dalam sejarah perkembangannya yang begitu panjang PTAI kemudian mendapat ruang gerak yang luas sehingga mahasiswa dan alumninya memiliki nilai plus, karena otoritas keagamaan yang ada di tangannya bisa dibumikan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh publik secara luas, sehingga mahasiswa dan alumni PTAI bisa menjadi pengamat politik, politisi, wartawan cetak dan elektronik, aktivis LSM, bankir, advokat dan lain sebagiannya.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN.


Yunus, Mahmud, 1995, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Hasbullah, 1999, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
            Hasbullah. 1995. Sejarah Pendidikan Islam; Jakarta: Rajawali Press.
Khaeruddin. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV. Berkah Utami.
Zuhairini. 2004. Pengaruh Sistem Pendidikan Islam terhadap Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Bumi Aksara.


[1] http://forummah.blogspot.com/2011/11/sejarah-berdirinya-iain.html
[2] Zuhairini, dkk. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 197
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995) hal 367
[4] Ibid, hal, 389.
[5] Ahmad Haris,, Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi, dalam Andito (ed), Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam, hal 119
[6] Wikipedia, Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia,  http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_t… 20:20, 05/12/2012
[9] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, hal 88
[10] Marwan Saridjo, Pendidikan Islam Dari Masa ke Masa, hal. 195
[11]Ibid. Hal.196
[12]Ibid. Hal.198
[13]Marwan Saridjo, Pendidikan Islam Dari Masa ke Masa.hal.199
[14]http://dedisyaputra.wordpress.com/2011/02/10/perubahan-iain-ke-uin-membangun-sebuah-paradigma-baru

0 komentar:

Posting Komentar