Membungakan uang dapat dilakukan oleh siapa saja, baik perorangan maupun kelembagaan. Dalam tradisi masyarakat kita yang ramah, perorangan yang meminjamkan uang atau menitipkan uang tidak mengenakan bunga. Orang yang melakukan penyimpangan terhadap tradisi ini dengan membungakan uang diberi julukan "rentenir" atau "lintah darat" yang konotasinya tidak baik, tanpa melihat besarnya tingkat bunga. Anehnya, sebutan rentenir atau lintah darat tidak berlaku apabila yang meminjamkan atau menerima titipan uang itu suatu lembaga, apalagi kalau lembaga itu bernama bank.
Memang membungakan uang oleh bank dengan menggunakan prosentase telah banyak membantu perhitungan-perhitungan bunga menjadi pendapatan atau biaya yang tetap dan pasti sehingga menjadi sederhana dan mudah. Kesederhanaan dan kemudahan inilah yang barangkali menjadi daya tarik sistem keuangan "modern". Masyarakat kurang memperhatikan bahwa pendapatan atau beban biaya yang tetap dan pasti itu sebenarnya telah bertentangan dengan hakekat hidup manusia yang penuh dengan ketidak pastian.
Sistem perbankan dengan bunga di Indonesia diwarisi dari perserikatan dagang Belanda (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda yang pada tanggal 10 Oktober 1827 mendirikan De Javashe Bank N.V ditengah-tengah pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Berdirinya De Javashe Bank N.V. mengawali berlakunya transaksi-transaksi ekonomi dengan sistem bunga, dan mengawali berkurangnya transaksi-transaksi ekonomi dengan sistem bagi hasil yang sarat dengan etika dan moral. Keberhasilan dalam tanam paksa rupanya telah mendorong berdirinya De Exomptobank N.V. tahun 1857, dan Nationale Handelsbank tahun 1863 sebagai sarana ekonomi yang dibutuhkan. Menyusul kemudian berdirinya De Postparrbank tahun 1898, dan berdirinya De Algemene Volkscredietbank tahun 1934.
Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, hal penting yang diwarisi dari pemerintah Hindia Belanda adalah diteruskannya penerapan sistem bunga dalam perbankan nasional. Sistem bunga inilah yang di kemudian hari sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ekonomi bangsa. Hingga 1 Juni 1983, Pemerintah selaku otoritas moneter menetapkan tingkat bunga bagi seluruh lembaga perbankan untuk menjamin akses masyarakat kepada sumber dana. Selisih antara tingkat bunga resmi yang ditetapkan Pemerintah dengan tingkat bunga pasar inilah yang kemudian disubsidi oleh pemerintah. Sebagai akibat lanjut dari kebijaksanaan subsidi bunga ini, sektor perbankan cenderung tidak efisien karena bagaimanapun semua biaya operasional mendapat subsidi pemerintah. Baru setelah diluncurkannya deregulasi sektor perbankan pada 1 Juni 1983, yaitu ketika pemerintah menghilangkan subsidi bunga dan melepaskan penentuan tingkat bunga kepada sektor perbankan sendiri, perbankan mulai beroperasi secara wajar sesuai dengan karakternya yang asli.
Perbankan dengan sistem bunga dikenal sangat berhasil dalam melakukan akumulasi kapital (kapitalistis) melalui tabungan masyarakat dan dana luar negeri dengan iming-iming bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga tabungan akan dapat dikatakan menarik apabila : (1) lebih tinggi dari tingkat inflasi, (2) lebih tinggi dari tingkat bunga riil di luar negeri, dan (3) lebih bersaing di dalam negeri.
Adapun yang dapat menjadi nasabah penabung pada lembaga perbankan tersebut adalah semua orang baik yang kaya maupun yang miskin. Kepada para nasabah tersebut bank diwajibkan untuk membayar bunga, tetapi karena bunga merupakan konsep biaya, maka biaya bunga itu sebenarnya tidak ditanggung oleh bank melainkan digeserkan ke sisi penyaluran dana. Sebagai lembaga intermediasi, bank justru memperoleh spread sebagai salah satu sumber pendapatan, bahkan umumnya di Indonesia justru merupakan pendapatan utama. Artinya, peminjam danalah yang sebenarnya membayar bunga tabungan dan spread bagi bank itu. Yang menjadi peminjam dana adalah mereka yang mampu membayar tingkat bunga pinjaman, yaitu mereka yang dapat memperoleh keuntungan dari usahanya melebihi tingkat bunga pinjaman, sehingga tidak semua orang atau hanya beberapa orang saja.
Proses penentuan tingkat bunga seperti tersebut cenderung lebih mudah mengakomodasi kenaikan dari pada penurunan tingkat bunga. Sebab, untuk menurunkan tingkat bunga, bank harus terlebih dahulu menurunkan tingkat bunga tabungan. Tindakan ini mengandung resiko berpindahnya penyimpan dana dari bank yang menurunkan tingkat bunga ke bank yang memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi. Tidak akan ada bank yang berani menurunkan tingkat bunga, walaupun melalui kesepakatan antarbank. Kesepakatan tersebut sulit dilaksanakan karena adanya perbedaan kekuatan masing-masing bank.
Hal tersebut mengakibatkan tidak semua orang mampu membayar tingkat bunga pinjaman yang berlaku sehingga terjadilah diskriminasi penyaluran dana. Hanya mereka yang mampu membayar bunga pinjaman saja yang mempunyai akses ke bank dengan sistem bunga. Di sinilah terjadi diskriminasi akses kepada sumber dana bagi para pelaku ekonomi.
Di lain pihak, karena bunga adalah konsep biaya, maka beban bunga pinjaman yang sudah tinggi itu oleh peminjam dana lazimnya sebanyak mungkin akan digeserkan kepada penanggung yang terakhir, yaitu rakyat, yang harus membayar barang dan jasa yang di dalamnya terkandung komponen biaya bunga. Bisa juga biaya bunga yang tinggi dijadikan alasan oleh pengusaha untuk menekan upah buruh dan mengurangi kualitas barang yang diproduksi.
Akibatnya, selama pasar masih bisa menyerap harga barang dan jasa, maka akan ada pihak yang selalu diuntungkan, yaitu ; pedagang, pengusaha, bank, dan penyimpan dana, di atas pihak lain yang dirugikan, yaitu rakyat jelata sebagai penanggung beban biaya yang terakhir. Walaupun nampaknya beban bunga itu tidak merugikan bank, pedagang, produsen, atau pengusaha karena merupakan biaya yang bisa digeserkan, tetapi akibatnya dalam skala yang lebih luas penggeseran beban biaya itu merupakan salah satu pendorong inflasi (cost push inflation). Selanjutnya tingkat inflasi yang terjadi, menjadi acuan lagi untuk menentukan tingkat bunga tabungan yang lebih tinggi. Demikian seterusnya dan seterusnya.
Hingga tahap ini akan terjadi secara terus menerus pemindahan kekayaan dari rakyat jelata termasuk yang kurang mampu kepada yang lebih mampu (somebody) tadi. sehingga dalam jangka panjang terjadilah jurang pemisah yang semakin jauh antara si kaya dengan si miskin. Degradasi etika dan moral akan membuka peluang terjadinya personal interest untuk memperkaya diri melalui korupsi dan kolusi, maka terjadilah proses konglomerasi atas beban yang merugikan rakyat.
Secara makro, dalam upaya pembangunan ekonomi dimana praktek membungakan uang merupakan bagian dari sistem ekonomi, selama itu Pemerintah akan selalu dihadapkan kepada situasi yang dilematis dan kontradiktif.
Dilematis, karena untuk memacu kegiatan ekonomi biasanya diperlukan kebijaksanaan uang longgar dengan menambah pasokan kredit perbankan, melonggarkan masuknya investasi asing dan pinjaman luar negeri tetapi dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah uang yang beredar sehingga dapat menaikan tingkat inflasi. Untuk menurunkan kembali tingkat inflasi itu biasanya diperlukan kebijaksanaan uang ketat dengan mengurangi pasokan kredit perbankan akan tetapi dapat mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi. Lalu seberapa ketat dan seberapa longgar tepatnya kebijaksanaan itu diterapkan untuk memacu kegiatan ekonomi tanpa menimbulkan gejolak harga?harga adalah masalah pelik yang selama ini dihadapi Pemerintah.
Kontradiktif, karena pada upaya Pemerintah untuk mengendalikan inflasi dengan kebijaksanaan uang ketat tadi misalnya, akan ditanggapi oleh perbankan dengan menaikkan tingkat bunga yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, kelesuan ekonomi, dan dorongan inflasi kembali. Inflasi sebenarnya bisa disebabkan juga oleh adanya ketidak seimbangan disektor riil, seperti : hambatan produksi karena inefisiensi, melonjaknya permintaan melebihi pasokan, kegagalan panen karena banjir / kekeringan, hambatan impor untuk proteksi produksi dalam negeri, dll. Akibatnya bisa terjadi suatu situasi ekonomi dimana pertumbuhan tidak terjadi (stagnasi) sementara itu tingkat inflasi masih tetap tinggi.
Karena kepedulian terhadap golongan ekonomi lemah tidak build?in dalam perbankan dengan sistem bunga maka untuk mengurangi kesenjangan yang akan selalu terjadi, terpaksa Pemerintah memaksa bank agar memperdulikan kebutuhan kredit masyarakat ekonomi lemah ini, seperti : kewajiban untuk menyalurkan dari port-folio kreditnya sekian persen untuk kebutuhan masyarakat ekonomi lemah (Contoh : KUK/KUKM). Kesulitan tentu saja timbul karena tidak mudah mencari pengusaha kecil yang mampu membayar bunga yang berlaku. Biasanya untuk melaksanakan kewajiban yang diinjeksikan itu perbankan dengan sistem bunga menuntut dapat menyalurkan kredit bersubsidi bunga ( kredit likuiditas ) yang menjadi beban berat pemerintah untuk masyarakat ekonomi lemah tertentu. Dengan terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka kredit bersubsidi bunga sudah tidak dimungkinkan lagi. Inilah hambatan dan tantangan yang menghadang upaya pemerataan kesempatan berusaha melalui perbankan dengan sistem bunga.
Walaupun uraian diatas didasarkan atas fakta yang terjadi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi, tentu masih mengundang pertanyaan kritis, yaitu : “ mengapa di negara lain yang lebih maju dimana ekonominya juga didominasi perbankan dengan sistem bunga tidak menimbulkan kesulitan seperti yang terjadi di Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan inipun sebenarnya dapat dikemukan dari fakta-fakta bahwa di negara-negara tersebut motivasi masyarakatnya untuk menyimpan uangnya di bank bukan untuk memperoleh pendapatan bunga yang tinggi tetapi semata-mata hanya untuk keamanan (security). Selain itu selisih bunga bukanlah pengahasilan utama bank. Lebih dari 60% pendapatan bank-bank di negara maju diperoleh dari biaya pelayanan atau biasa dikenal dengan istilah “fee base income“ termasuk di dalamnya dari penerbitan Letter of Credit (L/C) dan Letter of Guarantee yang mendorong perdagangan dan pembangunan.
Menghadapi masalah pemerataan dan penanggulangan kemiskinan untuk menjembatani kesenjangan, dibutuhkan sistem perbankan alternatif yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dampak inflasi dan sekaligus memeratakan kesempatan berusaha. Secara konsepsional, bank syariah dengan sistem bagihasil dan dengan kerjasama sinerginya baik vertikal maupun horizontal mempunyai kemampuan untuk memobilisasi dana masyarakat, menetralisir dampak inflasi, membendung pengaruh negatif globalisasi, menekan serendah mungkin kredit macet, menjamin adanya keterbukaan, membuka peluang?peluang usaha baru untuk memeratakan kesempatan kerja, menanggulangi kemiskinan dan menjembatani kesenjangan sosial.
Tulisan Oleh : H. Karnaen A. Perwataatmadja, S.E., MPA (Mantan Direktur Eksekutif IDB / Staf Pengajar STEI Tazkia)
0 komentar:
Posting Komentar