Pengertian Sosiologi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh
Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, Emile Durkheim lah yang
melanjutkan ‘istilah’ tersebut dan menerapkannya menjadi sebuah disiplin ilmu).
Sosiologi berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Latin yaitu Socius yang
artinya teman dan Logos yang artinya ilmu. Secara keseluruhan, Sosiologi
berarti ilmu yang mempelajari masyarakat. Masyarakat sendiri adalah kelompok
atau gabungan dari individu yang saling berhubungan, berbudaya, dan memiliki
kepentingan yang relatif sama. Sosiologi bertujuan untuk mempelajari masyarakat
dengan meneliti/mengamati dan menarik kesimpulan dari perilaku masyarakat,
khususnya perilaku atau pattern sosial manusia.
Sosiologi tergolong ilmu yang fleksibel. Hal ini
bisa dilihat dari sifatnya yang tersusun dari penelitian-penelitian ilmiah yang
bersifat kaku namun bisa dikritik oleh publik karena sosiologi adalah ilmu yang
berisi tentang pengetahuan kemasyarakatan, oleh karena itu selalu dinamis dan dapat
diubah - ubah sesuai dan seiring dengan perkembangan yang terjadi di dalam
objek penelitiannya (masyarakat).
Sosiologi sendiri muncul akibat tekanan/ancaman yang
dirasakan oleh masyarakat terhadap hal-hal dan nilai-nilai yang selama ini
sudah dianggap benar dan nyaman dalam tatanan kehidupan mereka, khususnya dalam
bidang sosial. Renungan sosiologis dimulai ketika masyarakat mulai mengalami
goncangan/krisis terhadap nilai-nilai dan prinsip hidup yang mereka pegang,
atau “threats to the taken-for-granted world”, – Berger dan Berger.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah
ini kami akan sedikit mengulas tentang konsep sosiologi pendidikan dan
sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pengertian Sosiologi Pendidikan?
2. Apakah
tujuan dari Sosiologi Pendidikan?
3. Mengapa
ilmu Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu murni dan ilmu terapan?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Sosiologi Pendidikan.
2. Untuk
mengetahui tujuan dari Sosiologi Pendidikan.
3. Untuk
mengetahui mengapa ilmu Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu murni dan ilmu
terapan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
Dasar Sosiologi
A.
Pengertian
Sosiologi Pendidikan
Istilah
sosiologi berasal dari kata “socius”yang berarti kawan dan “logos” yang berarti
ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang membahas interaksi manusia di
masyarakat. Dalam hal ini, banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengertian
dari sosiologi sendiri. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi,
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.[1]
Secara garis besar, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia
dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Unsur utama dalam sosiologi itu adalah
interaksi, masyarakat, proses dan kehidupan.
Dari
proses interaksi masyarakat tersebut, sangatlah mendukung dengan adanya
kegiatan pendidikan. Dilihat dari pengertiannya, pendidikan itu sendiri berasal
dari kata Didik yang mendapar imbuhan dan akhiran pe-an yang secara bahasa
mengandung arti perbuatan. Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani,
Paedagogie yang artinya bimbingan yang diberikan kepada anak. Secara luas,
Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan individu.[2]
Selain sempit, Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang
diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar
mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap
hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka.[3]
Dari
berbagai macam pengertian sosiologi dan pendidikan, dapat dibentuk pengertian
baru yaitu sosiologi pendidikan. Dari istilah Sosiologi Pendidikan ini, ada
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuwan. Berikut beberapa
definisi dari pendapat para ahli:
1. E.
George Payne, sosiologi Pendidikan adalah The science wich describes and
explains the institution, social grups and social proceses, that is the social
relationship in which or through which the individual gains and organizes his
experiences.
2. Charles
A. Ellwood. Sosiologi Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang maksud hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses
pendidikan dan proses sosial.[4]
3. FG.
Robbin dan Brown. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan
menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk
mendapatkan serta mengorganisasikan pengalaman.
4. Menurut
S. Nasution, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui
cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian
individu agar lebih baik.
Dari
berbagai macam pendapat tentang pengertian sosiologi pendidikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu yang mempelajari tentang
permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya
berdasarkan pendekatan sosiologi.
B. Tujuan Sosiologi Pendidikan
Dalam
setiap proses/ kegiatan Pendidikan adalah salah satu bagian dari proses menuju
tercapainya akan suatu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan
masyarakat dan kebutuhan dunia kerja. Dalam membuat rumusan tujuan pendidikan
akan disusun secara ringkas, padat serta jelas yang mengacu pada kematangan
integritas atau kesempurnaan pribadi. Dalam proses integritas atau kesempurnaan
pribadi memiliki komponen-komponen yang meliputi jasmani, intelektual,
emosional, dan etis tiap individu yang merupakan cita-cita dari proses
pendidikan.
Tujuan
pendidikan nasional pendidikan tercantum dalam Undang-undang Pendidikan No. 20
Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan ini bersifat
idealis sebagai pedoman dalam merumuskan suatu tujuan pendidikan di seluruh
Indonesia.[5]
Francis Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh
keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memperoleh dan
mengorganisasi pengalaman. S Nasution mengemukakan Sosiologi Pendidikan adalah
ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan
untuk memperoleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari
berbagai macam pendapat yang telah tertera di atas, dapat dirumuskan suatu
konsep tentang tujuan dari sosiologi pendidikan, yaitu[6]:
1. Sosiologi
pendidikan bertujuan untuk menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam
keluarga maupun masyarakat.
2. Sosiologi
Pendidikan bertujuan untuk menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial.
3. Sosiologi
Pendidikan bertujuan untuk menganalisis status pendidikan dalam masyarakat.
4. Sosiologi
Pendidikan bertujuan untuk menganalisis partisipasi orang berpendidikan dalam
kegiatan sosial.
5. Sosiologi
Pendidikan bertujuan untuk membantu menemukan tujuan pendidikan.
6. Menurut
FG. Payne, Sosiologi Pendidikan bertujuan utama untuk memberikan kepada
guru-guru (peneliti dan yang berkaitan dengan pendidikan), latihan-latihan yang
kreatif dalam bidang sosiologi, sehingga dapat memberikan sumbangan secara
tepat dan cepat kepada masalah pendidikan.
Di
Indonesia, tujuan sosiologi pendidikan diselaraskan dengan tujuan pendidikan
nasional dan tujuan pembangunan Indonesia Modern. Sedangkan tujuan itu sendiri
ialah:
1.
Berusaha
memahami peranan sosiologi daripada kegiatan sekolah terhadap masyarakat,
terutama ketika sekolah itu dilihat dari segi intelektual.
2.
Untuk memahami
seberapa jauh guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk
mengembangkan kepribadian anak.
3.
Untuk mengetahui
pembinaan ideology Pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan
pendidikan dan pengajaran.
4.
Untuk mengadakan
integrasi kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar pendidikan
mempeunyai kegunaan praktis di masyarakat dan Negara.
5.
Untuk
menyelidiki factor-faktor kekuatan masyarakat yang bisa menunjang pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian anak.
6.
Memberi
sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
7.
Memberi pegangan
terhadap penggunaan prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosialisasi
sikap dan kepribadian anak didik.[7]
C. Pendekatan Sosiologi Pendidikan
Sebagai
disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari secara khusus tentang interaksi
diantara individu-individu, antar kelompok, institusi sosial, proses sosial,
relasi sosial yang di dalamnya seoarang
individunya akan memperoleh dan mengorganisasikan pengalaman sosiologi
pendidikan perlu adanya suatu pendekatan untuk mewujudkan dan merealisasikan
aktivitas sosiologi pendekatan. Pendidikan sosiologi sebagai pendekatan
sosiologi pendidikan terdiri dari:
1.
Pendekatan
Individu ( The Individual Approach)
Dalam pendekatan individu titik
penekanannya adalah tingkah laku individu. Setidaknya ada dua faktor yang
mempengaruhi pendekatan individu ini yakni faktor internal yang meliputi
faktor-faktor biologis dan faktor eksternal yang meliputi faktor-faktor
lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Dalam pendekatan individual ini
titik tekannya adalah faktor-faktor biologis yang menguasai tingkah laku
individu daripada faktor-faktor psikologis, namun kedua faktor ini tetaplah
faktor primernya sedangkan faktor lingkungan sekitar fisik dan lingkungan
sosial merupakan faktor sekunder. Hal ini dikarenakan pendekatan individu
berasumsi bahwa individu adalah primer dan masyarakat adalah sekunder.
1. Faktor
Biologis Pada Tingkah Laku Manusia
Perbedaan antara faktor biologis dan psikologis pada
tingkah laku manusia adalah pada faktor biologis manusia dipandang sebagai
organisme yang murni dan sederhana, sedangkan pada faktor psikologis manusia
dipandang sebagai organisme yang cerdas dan mempunyai kecerdasan (inteligen).
2. Faktor
Psikologis Pada Tingkah Laku Manusia
Sebenarnya perbedaan antara faktor
psikologis dan biologis tidak begitu ekstrim, tajam dan statis. Seiring dengan
kemajuan-kemajuan penelitian ilmiah maka dapat diketahui bahwa sebenarnya
hubungan psikologi dan biologi sifatnya timbal-balik, bahkan justru keduanya
saling melengkapi di dalam mempelajari tingkah laku manusia. Bukti dari ini
adalah munculnya penelitian-penelitian psikologi mengenai konsep insting
(instinct).
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa Pendekatan individu belumlah lengkap untuk menerangkan semua
gejala tingkah laku manusia mengingat bahwa individu-individu adalah hidup
dengan dan dalam masyarakat. Jadi faktor masyarakat itupun harus diakui
peranannya sebagai pembentuk tingkah laku anggota masyarakatnya.
2. Pendekatan Sosial ( The Social Approach)
Secara pribadi, manusia adalah makhluk individual,
akan tetapi dalam kenyataannya, sejak lahir manusia sendiri telah menunjukkan
bahwasannya mereka itu adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa orang lain. Manusai tidak bisa dipisahkan dari keluarganya dan
kelompoknya. Sejak awal manusia dalam perkembangannnya sudah mempunyai
lingkungan tersendiri. Dari segi bahasa, manusia sudah bisa membuat lingkungan
sendiri, dari segi umur, manusias sudah mempunyai masyarakat sendri dan lain
sebagainya.
Manusia tidak bisa hidup di luar lingkungannya.
JJ.Rosseau menyatakan bahwa yang mendorong manusia untuk hidup bergaul adalah
kebutuhan hidupnya yang selalu diusahakan setiap saat dan setiap hari.
Kenutuhan itu tidak saja bergaul, akan
tetapi yang lebih penting lagi adalah saling bergantung antara satu dengan
lainnya. CA. Elwood menyatakan bahwa ada tiga unsur biologis yang menyebabkan
manusia hidup bermasyarakat dan saling bergantung, yaitu dorongan untuk makan,
dorongan untuk mempertahankan diri, dan dorongan untuk melangsungkan jenisnya.
Pendekatan sosial beranggapan bahwa tingkah laku
individu secara mutlak ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaannya, dimana individualitas
tenggelam dalam sosialitas manusia. Individu – individu yang menyimpang dari
aturan masyarakat akan dikeluarkan dari masyarakatnya, karena disini masyarakat
mempunyai teknik untuk bisa mempengaruhi individu serta takluk pada norma dan
etika sosial. Wodworth menyatakan bahwa manusia menyesuaikan lingkungannya
selalu mengalami empat macam proses, yaitu:
1. Individu
dapat bertentangan dengan lingkungannya.
2. Individu
dapat menggunakan lingkungan.
3. Individu
dapat berpartisipasi dengan lingkungan.
4. Individu
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan merupakan
tahap puncak dari setiap individu dalam interaksi dengan lingkungannya. H.
Bonner mendefinisikan interaksi sosial dengan hubungan antara dua individu atua
lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain dan sebaliknya.
Interaksi sosial dapat dilakukan dengan cara imitasi
(peniruan), sugesti (suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara
pedoman – pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu),
identifikasi (keinginan untuk menyamakan atau menyesuaikan diri dari sesuatu
yang dianggap mempunyai keistimewaan), simpati (tertariknya orang satu terhadap
orang lain melalui perasaan). Interaksi sosial yang dilakukan dengan berbagai
teknik tersebut merupakan suatu tindakan untuk membentuk penyesuaian diri. Ada
dua model penyesuaian diri, yaitu
1. Auto-plastic,
yaitu mengubah diri kita sesuai dengan lingkungannya.
2. Alloplastik,
yaitu mengubah lingkungan sesuai dengan kehendak kita.
3. Pendekatan Interaksi ( The Interaction Approach)
Di dalam pendekatan interaksi ini perhatiannya
adalah penggabungan dari pendekatan individu dan pendekatan sosial melalui
interaksi. Sebab pada kenyataannya menurut pendekatan interaksi ini, individu
dan masyarakat itu saling mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi
antara individu dan masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling
membentuk dan saling menyempurnakan.[8]
Dapat disimpulkan, pendekatan ini ingin menjelaskan
bahwa untuk mengetahui tingkah laku manusia harus dilihat dari individu dan
masyarakat. Jadi sosiologi pendidikan tidak semata - mata hanya mempelajari
individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.
4. Warisan Kebudayaan (Culture Heritage)
Banyak sekali
pendapat tentang akar budaya dari segi bahasa, antara lain:
ü Sansekerta
: Buddhaya, sebagai bentuk jamak dari budhi (budi atau akal)
ü Kebudayaan
berasal dari kata majemuk “budi” dan “daya”, menjadi budaya. Budaya mendapatkan
awalan “ke” dan “an” menjadi kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, rasa,
karsa.
ü Merupakan
terjemahan dari culture dari bahasa (bahasa Belanda dan Inggris), colere
(bahasa Latin), tsaqofah (bahasa Arab), yang berarti mengolah,
menyuburkan, mengerjakan dan mengembangkan terutama mengolah tanah atau
bertani.
Kebudayaan
pada hakikatnya adalah fitrah manusia yang dijabarkan dalam kegiatan kehidupan
sebagai pengemban amanah, mengelola bumi dan isinya yang dijadikan pijakan
hidup manusia. Kebudayaan menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia yang serba
kompleks.
Linton secara
umum membagi kebudayaan menjadi beberapa bagian, antara lain:
a.
Cultural
Universal: mata pencaharian, kesenian, agama, hukum, moral, ilmu pengetahuan.
b.
Cultural
Activities: Kegiatan kebudayaan.
c.
Traits Complex:
Bagian dari cultural complex.
d.
Traits: Bagian
dari traits complex.
e.
Items: Bagian
dari traits
Cultural
universal adalah hasil dari pikiran, gagasan, ide manusia yang bersumber dari
akal. Sifat pemikiran manusia ini cenderung idelalis, sehingga ada pikiran
manusia yang bersifat aplikatif yang nantinya akan membentuk budaya material
dan teoritis yang nantinya akan menhasilkan budaya spiritual.
Dari
pengelompokkan Linton diatas, secara umum terdapat komponen – komponen
kebudayaan, antara lain: alam pikiran ideologis dan religious, bahasa, hubungan
sosial, hidup berekonomi, IPTEK, kesenian, politik dan pemerintahan, dan
pewarisan kebudayaan.
2.2
Sosiologi
sebagai Ilmu Pengetahuan
Pemikiran
– pemikiran sosiologi dapat disebut juga sudah ada semenjak jaman Yunani. Akan
tetapi usaha untuk membangunnya sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri
barulah pada zaman Auguste Comte. Pemikiran – pemikiran sosial di alam pikiran
yunani telah dirintis oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles itu sebenarnya
merupakan dasar ilmu sosiologi yang dibangun oleh Comte. Comte mengatakan bahwa
usaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan dapat diterangkan melalui dua jalan, yaitu
historis dan dogmatis. Bagi sosiologi, hal ini menjadi penting karena tidak ada
pendapat yang akan mengingkari tentang besarnya peranan filsuf yunani kuno
terhadap ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi.
Sosiologi
baru disebut ilmu pengetahuan pada abad ke 19. Pertumbuhannya melalui jalan
yang panjang, dan katalisator penting yang melahirkannya adalah pengaruh
pemikiran yang berkembang diakhir abad ke 18 dengan filsafat Aufklarung yang di
mulai di Inggris dan Perancis. Ilmu sosial dihasilkan oleh keadaan – keadaan
yang terjadi di dalam masyarakat.
Pada
permulaan abad ke 19 hal ini menunjuk langsung ke arah perkembangan sosiologi
sebagai suatu ilmu yang tegak sendiri. Sosiologi akan merupakan pernyataan
ilmiah dari kesadaran akan kekuasaan dari watak dan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Dia akan berusaha memberikan
jawaban menurut ilmu pengetahuan adalah benar dan tepat mengenai masalah –
masalah yang dikemukakan di dalam kehidupan masyarakat. Diakhir abad ke-18 awal
abad ke -19, tampillah seorang tokoh yang menjadi guru Auguste Comte yang
bernama Claude Henri Comte de Saint Simon.
1.Saint Simon
Claude
Henri Comte de Saint Simon dilahirkan dari suatu keluarga bangsawan pada tahun
1760. Dia seorang amatir dan avonturis dibidang ilmu pengetahuan. Dia juga
seorang ahli matematik, ahli tehnik, tetapi juga seorang pemikir agama, di
samping sebagai seorang ahli ilmu alam terkenal.
Saint
Simon berusaha untuk menggunakan metoda ilmu alam di dalam mempelajari
masyarakat. Dia pula orang pertama yang mengatakan bahwa untuk mempelajari
masyarakat haruslah secara menyeluruh, sebab semua gejala sosial katanya adalah
saling berhubungan satu sama lain, dan oleh karena itu pula sejarah
perkembangan masyarakat sebenarnya menunjukkan suatu kesamaan.
Simon
sangat menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang ilmu faal
fisiologi. Dia menyatakan bahwa ilmu tubuh manusia tidaklah dapat dipahami
dengan hanya mempelajari tubuh dan fikiran seseorang, tetapi juga harus melalui
pemahaman mengenai sejarah manusia.
Semua
ilmu pengetahuan haruslah bersifat positif yang dicapai melalui metoda – metoda
pengamatan, eksperimentasi, dan generalisasi sebagaimana yang digunakan di
dalam ilmu alam. Hanya dengan cara seperti inilah ilmu pengetahuan sosial
menjadi lebih pasti dan mampu melihat masa yang akan datang sebagaimana halnya
ilmu alam.
Ajaran tentang Perkembangan sosial
Saint Simon menggunakan
dua prinsip untuk menerangkan perkembangan sosial, yaitu:
a. Adanya
perkembangan terus menerus dan meluas dari masyarakat, mulai dari kelompok
masyarakat yang paling kecil hingga yang paling besar.
b. Hukum
tentang kemajuan pengetahuan manusia, mulai dari kebudayaan yang paling rendah
hingga kepada peradaban yang paling tinggi.
Menurut
kedua prinsip di ataslah keberhasilan manusia untuk merubah masyarakatnya mulai
dari keadaannya yang paling primitip sampai kepada peradaban yang paling maju.
Sebenarnya ada satu prinsip lagi yang dikemukakan oleh Saint Simon untuk
menerangkan perkembangan sosial ini, yaitu anggapannya mengenai bentuk – bentuk
kekuasaan dari masyarakat itu sendiri.
Saint
Simon juga mengatakan bahwa ada kesejajaran antara perkembangan individu dengan
masyarakat. Ide ini menjadi begitu
popular pada abad ke-18. Tetapi disini Saint Simon berusaha untuk menerangkan
kesejajaran ini sesuai dengan cara berpikirnya manusia. Cara berpikir manusia
didahului oleh dua cara, yaitu sintetis dan analitis. Cara berpikir manusia
yang analitis menjadikan manusia menjadi pribadi yang kritis, sedangkan cara
berpikir manusia yang sintetis menjadikan manusia menjadi kepribadian yang
konstruktif atau organis.
Semua
perkembangan sosial sedemikian ini, selalu disertai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan yang menggambarkan bagaimana sebenarnya terdapat kesejajaran antara
perkembangan masyarakat denagn perkembangan cara berfikir manusia. Bentuk
pengetahuan manusia berkembang menurut tingkatan yang spekulatif menuju kepada
tingkatan yang kongkrit. Berdasarkan tingkatan ilmu pengetahuan manusia, maka
kita harus memandang masyarakat secara keseluruhan yang berkembang dari
tingkatan yang berdasarkan pemikiran yang spekulatif, menuju kepada masyarakat
yang diorganisir berdasarkan pemikiran yang bersifat positif atau ilmiah. Saint
Simon menempatkan ajaran ini sebagai hukum tentang perkembangan sosial.
2.Auguste Comte
Auguste
comte lahir pada tahun 1789 dikota monpellier di Perancis selatan. awalnya orang
tua Comte ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai kerajaan dan sekaligus
sebagai penganut katolik yang sholeh. Akan tetapi, entah karena warisan atau
lingkungannya, sejak semula Comte telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang
yang berpikiran bebas, dan yang memiliki kemampuan untuk berpikir tentang
dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan ketika pada usianya yang ke 13, dia menjadi
seorang penganu Republik yang militan,
skeptis terhadap ajarn – ajran agama katolik. Pada usia 16 tahun, Comte pindah
ke Paris untuk masuk ke sekolah politeknik studi keinsinyuran. Selama menjalani
pendidikan, Comte tidak hanya menunjukkan sebagai seorang yang berpikiran
bebas, akan tetapi juga seseorang yang memiliki semangat untuk tidak di bawah
orang lain. Dia sangat kritis terhadap mahagurunya, dan dia sering mengajukan
petisi apabila mereka melakukan kesalahan. Akibat sikapnya yang seperti itu dia
dikeluarkan dari sekolah. Setelah dikeluarkan dari sekolah, Comte kembali ke
kota asalnya, monpellier, sekalipun dia tidak betah disana dan kemudian kembali
lagi ke Paris. Dua tahun setelah kembali ke Paris dia bertemu dengan Saint
Simon. Comte menjadi murid dan sekaligus sekretaris Saint Simon ini kemudian
dapat mensistimatir dan mensintesakan ide ide yang diterimanya dari Saint
Simon.
Beberapa sumber latar
belakang pemikiran Comte.
a. Revolusi
Perancis dengan segala aliran fikiran yang berkembang pada masa itu. Dalam
sumber ini, Comte berpendapat bahwa manusia tidak dapat keluardari krisis
sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman - pedoman berfikir yang bersifat
scientific.
b. Filsafat
sosial yang berkembang di Perancis pada abad 18, khususnya filsafat yang
dikembangkan oleh para penganut faham Encyclopedist Perancis.
c. Aliran
reaksioner dari para ahli fikir theocratic. Aliran reaksioner adalah aliran
yang menganggap bahwa abad pertengahan dimana kekuasaan gereja sangat besar,
adalah periode organis, yaitu suatu periode yang dapat secara paling baik
memecahkan berbagai masalah masalah sosial.
d. Lahirnya
aliran yang dikembangkan oleh pemikiran sosialistik. Comte akan membangun ilmu
pengetahuan sosial serta akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan Sosial yang
bersifat scientific.
Comte
adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai ilmu. Comte
menguraikan metode metode berfikir ilmiah. Comte menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan pada dasarnya tidak lebih daripada suatu perluasan metode yang
sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua fakta - fakta yang tunduk
kepada akal fikiran manusia.
Teori teori sosial Comte :
ü Sosial
Dinamis
Sosial dinamis adalah teori tentang perkembangan
masyarakat manusia. Comte mengakui adanya hewan hewan bermasyarakat,
sebagaimana dikemukakan dalam studi biologis dalam penerapannya sebagai
perbandingan studi mengenai masyarakat. Tetapi, Comte menolak kebenaran yang
mengasalkan manusia dari makhluk yang lebih rendah atau binatang. Yang
membedakan manusia dari binatang adalah perkembangan intelegensia manusia yang
lebih tinggi. Dan dengan asumsi ini, Comte mengajukan hukum tentang tiga
tingkatan perkembangan intelegensi manusia yaitu theologis, metafisik, dan
scientific. Dan menurut Comte sejarah umat manusia pada dasarnya ditentukan
oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, dan oleh karena itu, hukum tertinggi
dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan intelegensia manusia. Hukum – hukum tentang perkembangan manusia
antara lain:
a. The law of the three stages
Adalah hukum tentang perkembangan intelegensi
manusia, dan yang tidak berlaku hanya terhadap perkembangan masyarakat, tetapi
berlaku juga terhadapa perkembanagan seorang individu. Hukum ini adalah
merupakan generalisasi dari tiap bagian dari pemikiran manusia yang berkembang
maju melalui tiga tahap pemikiran, yaitu theology, methaphisik, dan scientific.
Hukum tiga tingkatan perkembangan manusia inilah yang merupakan dasar dari
semua teori – teori sosial yang dikembangkan oleh Auguste Comte.
b. The law of the hierarchie of the sciences
Adalah hukum yang menyususn susunan ilmu
pengetahuan. Comte menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran
manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat di dalamnya.
Comte meyakini bahwa derajat kompleksitas dari
setiap ilmu pengeahuan itu tergantung dari tingkatan pemikiran manusia, yang
berkembang dari yang paling abstrak menuju yang paling kongkrit. Contohnya,
Matematika, yang memiliki obyek paling sederhana dan abstrak berupa angka –
angka, kemudian disusul oleh astronomi (celestia physics), fisika (molar
physics), kimia (atomic physics),
biologi (organic physics), dan sosiologi (social physics).
Susunan jenjang ilmu pengetahuan sedemikian ini
tidak saja tergantung kepada tingkat abstrraksi ilmu tersebut pada umumnya,
tetapi pertumbuhan ilmu itu sendiri tumbuh ke arah tingkatnya yang bersifat
positif. Comte juga meyakini bahwa gejala – gejala ilmu dari semua ilmu
pengetahuan sebenarnya bersifat homogeneous, ilmu pengetahuan berbeda hanya di
dalam kompleksitasnya.
c. The law of the correlation of pratical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang
bersifat natural antara cara berpikir yang teologis dengan militerisme. Cara
berpikir teologis mendorong timbulnya usaha – usaha untuk menjawab semua
persoalan – persoalan melalui kegiatan force, karena itu, kekusasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada
masyarakat primitif dalam hubungannya satu sama lain.
Pada tahap yang bersifat metafisis,
prinsip – prinsip hukum menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan
hubungan antar manusia. Kebebasan individual mulai berkembang dan perbudakan –
perbudakan pekerja mulai mengalalmi penyusutan di dalam berbagai bentuknya. Sedangkan pertumbuhan industri di
dalam tahap sedemikian ini tidak saja bertujuan untuk menunjang militerisme,
tetapi juga berfungsi untuk memelihara kehidupan mewah daripada kaum penguasa.
Perang di dalam masyarakat yang memilki cara berfikir metafisis adalah perang
yang bersifat defensive, yaitu sekalipun force masih bersisa di dalam
masyarakat ini, tetapi penaklukkan serta kemenangan melalui kekuatan yang
sedemikian itu bukanlah menjadi tujuan daripada masyarakat. Perang akan semakin
hilang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan industri.
Industri dikembangkan tidak untuk
tujuan perang maupun menunjang kemapanan kelas penguasa, melainkan untuk
kepentingan industri itu sendiri. Scientificstage dengan demikian akan membuka
pintu bagi perkembangannya an era of peace and good will abad perdamaian
dan kemauan baik.
d. The law of the correlation of the feelings
Comte manganggap bahwa masyarakat hanya dapat
dipersatukan melalui feelings. Demikianlah sejarah telah memperlihatkan adanya
korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan daripada
sosial sentiment.
Di dalam tahap teologis, sentiment sosial dan rasa
simpati hanya terbatas dalam suatu masyarakat lokal atau terbatas pada city
state. Tetapi di dalam abad pertengahan, sosial sentimens berkembang semakin
meluas seiring dengan pertumbuhan agama Kristen. Comte menganggap bahwa abad
pertengahan adalah abad dalam tahapan metafisis. Tetapi di dalam tahapan
positif, sosial simpati berkembang menjadi semakin universal. Altruisme dan
good will semakin meluas. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific
pikiran manusia akan mampu memperkembangakan semangat altruistic dan
menguniversiilkan perasaan sosial.
ü Sosial
Statis
Sosial statis adalah teori tentang tertib dasar
masyarakat. Fungsi sosial static adalah untuk mencari hukum hukum tentang aksi
dan reaksi daripada berbagai bagian didalam suatu sistem sosial. Jadi kalau
sosial dinamis berusaha untuk mencari hukum hukum tentang gejala gejala sosial
didalam perbedaan waktu dari suatu pertumbuhan maka sosial statis mencari hukum
hukum tentang gejala gejala sosial yang bersamaaan waktu terjadinya. Empat
doktrin dari sosial statis antara lain:
1. The doctrine of the individual
Comte mengatakan bahwa teori tentang sikap sikap
dasar manusia individual adalah penting sekali di dalam sosiologi. Dia tidak
menganggap bahwa studi tentang sikap sikap dasar individu sebagai bagian yang
harus dilakukan oleh psikologi. Individu
yang kita kenal selalu merupakan cerminan daripada kelompok masyarakat. Apabila
anda menghilangkan segala galanya apa yang diberikan oleh kelompok terhadap
seorang individu, pengetahuan, intelektual, moral dan lain - lain, maka Anda hanya
akan menemukan tubuh dan energi saja dari individu tersebut. Individu merupakan
produk dari kehidupan kehidupan kelompoknya, dan sebagaimana dia sebagai hasil
atau produk masyarakat, kita tidak dapat memandang individu sebagai unit satuan
masyarakat. Hal ini disebabkan karena perbedaan kecenderungan - kecenderungan
pembawaan yang dimiliki masing - masing individu yang berakar di dalam sifat
biologisnya.
Dibalik dari kemampuan kemampuan pembawaan, Comte
mengakui adanya sesuatu yang disebut instink. Comte mendefinisikan instink
sebagai suatu dorongan spontan tertentu menuju ke satu arah tertentu. Comte
membagi instink manusia kedalam dua bagian yaitu instink egois dan instink
altruistic. Pada umumnya, manusia memiliki instink egois lebih besar
dibandingkan altruisticnya. Namun demikian, organisasi masyarakat mengembangkan
altruistic di dalam diri individu, dan menekan serta mengendalikan
kecenderungan - kecenderungan instink egoisnya.
2. The doctrine of the family
Menurut Comte, keluarga adalah unit
masyarakat yang sebenarnya, yang merupakan unit darimana masyarakat itu
terbentuk. Keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terbentuk melalui
instink dan daya tarik alamiah. Oleh
karena itu, keluarga dapat dibandingkan dengan masyarakat, sebagai sel – sel
dalam organisme biologis.
Keluarga sebagai unit sosial
terkecil merupakan media perantaraan melalui mana kita belajar bergaul dengan
orang lain. Dan keluarga adalah merupakan perantara yang paling penting untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dengan demikian keluarga adalah dasar untuk
tumbuhnya semangat sosial, yang merupakan jembatan antara sifat – sifat
egoistic individual dan sifat – sifat altruistic untuk memenuhi kebutuhan –
kebutuhan hidup bermasyarakat. Itulah sebabnya maka keluarga haruslah bersifat
stabil untuk bisa mengembangkan semangat altruistic dan menghilangkan
penderitaan individual.
Gangguan serius yang dialami akan
dapat mengakibatkan dis-organisasi sosial yakni proses terjadinya keretakan
organisasi masyarakat. Tetapi menurut Comte, keluarga seperti halnya institusi
– institusi lainnya di dalam masyarakat, dapat diperbaiki apabila mengalami
keretakan, dan modifikasi tersebut dapat dilakukan melalui pengetahuan yang
bersifat scientific.
3. The doctrine of the society
Keluarga menurut Comte bukanlah masyarakat, karena
masyarakat merupakan kesatuan yang jauh lebih luas, dan yang terdiri dari
sejumlah keluarga – keluarga yang berdiri sendiri. Kalau kesatuan dasar yang
memebentuk keluarga adalah instink dan afeksi, maka masyarakat sebaliknya,
adalah merupakan kesatuan yang terbentuk di atas landasan pembagian pekerjaan
sosial. Pembagian pekerjaan di dalam keluarga tidak begitu kentara karena
jumlah anggotanya yang kecil. Pembagian pekerjaan itu akan semakin terlihat
denagn jelas di dalam kesatuan yang lebih besar.
Kemampuan berfikir manusia khususnya untuk kemampuan
menciptakan hal – hal yang baru adalah menyebabkan pembagian kerja, akan tetapi
spesialisasi dari berbagai fungsi tersebut mendorong manusia untuk saling
memiliki ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, pertanda yang menonjol
daripada kehidupan manusia adalah adanya saling ketergantungan dalam fungsi.
Comte mengatakan bahwa ketergantungan sedemikian ini adalah sebagai hasil dari
spesialisasi fungsi yang demikian erat sebagaimana halnya di dalam suatu
organisme biologis.
4. The
doctrine of the state
Comte mengatakan bahwa negara
dengan masyarakat merupakan hal yang berbeda. Comte mengatakan bahwa negara
adalah suatu bentuk khusus dari asosiasi atau organisasi sosial. Negara
diciptakan atau di organisir untuk menjaga kesatuan di dalam kelompok suatu
bangsa.
Fungsi negara pertama – tama adalah
untuk menjaga kesatuan sosial melalui suatu kelompok politik. Dan itulah maknanya bahwa pemerintahan
merupakan kebutuhan sosial mereka. Negara dan pemerintahan adalah merupakan
perkembangan alamiah dari masyarakat manusia. Tetapi fungsi terutama mereka
adalah yang berhubungan dengan aspek – aspek material secara eksternal dari
kehidupan sosial, dan pertama – tama di dalam hubungan untuk mengatur hak
milik, industri dan semua hubungan – hubungan hidup yang bersifat eksternal
sejauh hal tersebut menyangkut kesatuan kelompok atau masyarakat.
Demikianlah empat doktrin yang
diajukan oleh Comte sebagai bagian dari sosial statis yang merupakan bagian
yang elementer di dalam sosiologi. Sebagai pembangun pertama dari sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, dasar terpenting dari
ajaran Comte tentang sosiologi adalah bersumber dari filsafat positifnyaa,
terutama dari uraian tentang perkembangan pengetahuan manusia, sehubungan
dengan perkembangan cara berfikirnya.
3.Herbert Spencer
Herbert
spencer dilahirkan di Derby inggris pada 27 April 1820 dan meninggal pada tahun
1930. Pada mulanya dia adalah seorang insinyur sipil yang bekerja di perusahaan
kereta api selama empat tahun. Selanjutnya dia tertarik pada bidang – bidang
politik dan masalah – masalah sosial. Sejak itulah dia memutuskan untuk
memperdalam pengetahuannya di bidang ilmu pengetahuan sosial khususnya
soiologi.
Spencer
adalah termasuk tokoh pendiri sosiologi setelah Comte. Dia juga memperkenalkan
konsep - konsep evolusi sosial sebagai dasar ilmu sosiologi. Di dalam karya
utamanya synthetic philosophy termuat seluruh teori evolusi universal
yang dikembangkannya meliputi evolusi biologi, sosiologi, dan etika.
Spencer
adalah tokoh yang juga menentang Comte, terutama tentang pendapat Comte mengenai
jenjang – jenjang ilmu pengetahuan. Akan tetapi antara Comte dan Spencer
memiliki kesamaan pendapat secara kebetulan bahwa semua fenomena sosial itu
merupakan interelasi dari keseluruhan yang terjadi. Keduanya juga mengakui
adanya kesatuan dan independensi ilmu, bedanya hanya kalau Comte mengeluarkan psikologi
dan jenjang ilmu pengetahuan Spencer justru menempatkan psikologi sesudah
biologi dan sebelum sosiologi. Kedua tokoh besar ini juga sama – sama
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus bersandar pada akal sedangkan hal –
hal yang bersifat metafisis harus dikeluarkan dari ilmu pengetahuan. Keduanya
juga sama – sama mengakui bahwa hukum alam dan uniformitas lah yang mengatur
jagad raya.
Sosiologi Spencer
Sebagai
salah seorang pendiri sosiologi, usaha Spencer untuk memajukan ilmu ini sebagai
ilmu pengetahuan, menekankan pada perlunya pendekatan ilmiah bagi seluruh
gejala yang ada serta meningkatkan pendekatan ini bagi pengkajian kehidupan
ilmu sosial. Sebelum kita mengkaji kehidupan sosial, adalah perlu untuk
memahami lebih dahulu hukum - hukum asal tentang kehidupan sosial tersebut
serta perkembangan setiap fenomena dan hukum - hukum umum mengenai evolusi.
Hukum tersebut merupakan proposisi dasar yang melibatkan seluruh benda di dunia
ini, baik itu benda in-organic maupun organis.
Tiga kebenaran universal dari Spencer, yang berbunyi
:
1. Adanya
materi yang tidak terusakkan
2. Adanya
kesinambungan gerak
3. Adanya
tenaga kekuatan yang terus menerus
Disamping itu ada proposisi yang berasal dari
kebenaran universal, yaitu:
1. Kesatuan
hukum, kesinambungan hubungan antara kekuatan kekuatan yang tidak pernah muncuk
dengan sia sia dan tanpa akhir.
2. Bahwa
kekuatan tersebut tidak pernah musnah namun akan di transformasikan ke dalam
bentuk persamaan yang lain.
3. Segala
sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak – tidaknya akan dirintangi oleh
suatu kekuatan yang lain.
4. Adanya
suatu irama daripada gerakan disebut dengan gerakan alternatif.
Menurut
Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor –
faktor yang berbeda – beda di dalam proses evolusioner ini. Dan hukum itu ialah
pernyataan bahwa hilangnya suatu gerakan biasanya diikuti oleh tujuan gerakan
itu sendiri dan akan munculnya suatu disintegrasi dari keadaan tersebut, adanya
evolusi selalu diikuti oleh disolusi.
Spencer mengajukan empat pokok penting tentang
sistem evolusi umum, yaitu:
1. Ketidaksatabilan
yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan
kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
2. Berkembanganya
faktor yang berbeda – beda dalam rasio geometris. Berkembangnya bentuk – bentuk
yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu
keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan – kekuatan yang lain.
3. Kecenderungan
terhadap adanya bagian – bagian yang berbeda – beda dan terpilah – pilah
melalui bentuk - bentuk pengelompokkan atau segregasi.
4. Adanya
batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer
memandang sosiologis sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling
kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi super - organis yang termasuk
semua proses dan produk tindakan yang dilakukan oleh individu – individu.
Di dalam karyanya,
prinsip – prinsip sosiologi, spencer membagi pandangan sosiologisnya menjadi 3
bagia, yaitu:
1. Faktor
- faktor extrinsic asli: fisis dan iklim.
2. Faktor
- faktor intrinsik asli seperti: fisis, intelektual, rasa atau emosi manusia.
3. Faktor
– faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan,
kebiasaan, hukum dan lembaga - lembaga.
Kekuatan Sosial dan
Proses
Spencer mempunyai keyakinan bahwa pada
suatu saat masyarakat akan mencapai keadaan yang seimbang dalam hal kekuatan.
Setiap orang berjuang untuk mencapai kehidupan dan mencari kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah tujuan bagi setiap kehidupan manusia, dan orang akan
mencapai kebahagiannya melalui adaptasi dengan lingkungannya.
Konflik dan perjuangan untuk hidup adalah
merupakan proses yang paling utama. Masyarakat selalu berhubungan dengan kedua
hal tersebut baik di masa lewat maupun di masa sekarang. Jadi, konflik pada
masa lewat maupun masa sekarang yang dianggap penting akan mennjadi kurang
penting pada masa yang akan datang.
Proses diferensiasi dan spesialisasi dalam
masyarakat selalu dibarengi oleh perjuangan untuk hidup. Konsepsi Spencer
mengenai evolusi universal telah berubah dari evolusi homogeny dan tidak
menentu menjadi evolusi yang heterogen dan menentu. Jadi, di dalam konsep
perkembangan maupun pembangunan, masyarakat itu akan menjadi bertambah kompleks
dan terspesialisir.
Struktur
Sosial
Spencer yakin terhadap adanya masyarakat
sebagai suatu organisme, dengan menggunakan analogi biologi untuk menggambarkan
organisasi masyarakat. Setiap masyarakat memiliki sistem peraturan
(pemerintahan dan militer), suatu sistem distribusi (perdagangan dan
komunikasi), dan suatu sistem penopang (ekonomi) yang sama saja dengan
regulasi, sirkulasi dan nutrisi dalam suatu organisme biologi. Hal inilah yang
akhrnya menjadi dasar aliran organisme bagi kaum sosiolog yang selanjutnya
dijadikan konsepsi masyarakat. Oleh karenanya tidak ragu - ragu lagi
bahwasannya ada persamaan antara organisme dan masyarakat.
Spencer terutama tertarik sekali dalam
menggambarkan dan memperbandingkan bermacam – macam lembaga sosial. Keluarga,
pemerintahan, dan lembaga ekonomi merupakan aspek – aspek yang ia alami.
Perubahan
Sosial
Segala sesuatu itu berubah akan menjadi
lebih kompleks lagi. Perubahan dalam suatu area kehidupan akan membawa
perubahan yang cepat dan berbeda – beda pada lainnya. Satu sama lainnya saling
berkaitan. Penyebab yang satu akan menjadi penyebab lainnya. Ini adalah hukum
Spencer mengenai Multiplikasi Efek yang telah dicanang dalam Corollary II di
dalam teori evolusi umumnya. Dia lebih lanjut mengklasifikasikan faktor –
faktor di dalam perubahan sosial yaitu faktor primer dan faktor sekunder.
1. Faktor
primer adalah sifat individu masyarakat dan kondisi masyarakat yang ada. Yang
dimaksud dengan individu disini adalah sifat fisik, emosi, dan intelektualnya
orang – orang di dalam masyarakat yang menyebabkan perubahan.
2. Faktor
sekunder adalah yang berasal dari perubahan manusia. Kesemuannya terdiri dari
lima faktor, yaitu:
1) Modifikasi
yang progresif mengenai lingkungan yang dijalankan oleh masyarakat.
2) Ukuran
masyarakat.
3) Pengaruh
timbal balik antara masyarakat dan individu.
4) Akumulasi
produk super-organik.
5) Perjuangan
antara masyarakat dengan masyarakat tetangganya.
Semua faktor tersebut kemudian digabungkan
dengan berbagai cara yang selanjutnya dibawa menuju proses evolusi sosial.
Dengan cara memperbandingkan berbagai masyarakat, Spencer akhirnya menjumpai
bahwa masyarakat itu telah berkembang menjadi lebih luas, berhubung – hubungan,
banyak bentuknya dan tertentu.
Spencer menggunakan istilah progress dan
evolusi sebagai suatu istilah yang sinonim. Dia beranggapan bahwa evolusi itu
sudah jamak, otomatis dan mempunyai kaitan dengan hal – hal yang bersifat
progresif. Bahwa evolusi manusia telah mengambil tempat sudah tidak diragukan
lagi daripada evolusi biologisnya. Namun yang masih tetap diragukan ialah
penyebab evolusi itu sendiri.
Sebagai seorang pendiri sosiologi, Spebcer
juga ingin membuat suatu metodologi bagi ilmu pengetahuan masyarakat.
Sampai pada generalisasinya, maka dalam
karyanya ia menggunakkan empat metode ilmiah, yaitu deduksi, induksi,
komparatif dan variasi.
4.E.D. Roberty
ED,
Roberty adalah seorang pionir sosiologi kelahiran Rusia. Roberty juga disebut
sebagai neo-positivist sebagai seorang yang mengikuti jalan pikiran Comte
dengan filsafat positifnya. Asumsi dasar dari ED. Roberty adalah pendapatnya
tentang bahwa dunia dimana kita berada ini, tersusun ke dalam tiga bentuk energi
yang paling fundamental, yaitu apa yang disebut dengan:
1. Psychochemical
atau inorganic, yaitu merupakan hasil atau manifestasi dari intermolecular
interaction.
2. Energy
vital atau organic, yaitu merupakan manifestasi dari intercell-interaction.
3. Super
organic, yaitu merupakan intercerebal – interaction.
Berbeda
dengan gejala – gejala psikis yang lain, gejala superorganis merupakan yang
paling esensial. Gejala superorganis yanbg paling dasar ini adalah pikiran dan
pengetahuan. Pikiraan dan pengetahuan merupakan gejala psikis manusia yang
paling tinggi. Hal ini akan tercermin didalam teorinya yang paling dasar, yang
disebutnya dengan biosocial hypothesis, yang pada dasarnya merupakan usaha
untuk menerangkan mengapa pikiran dan pengetahuan merupakan gejala – gejala
superorganis yang paling tinggi.
Ada
dua faktor sebagai sumber timbul dan berkembangnya gejala superorganis didalam
pemikiran biosocial hypothesis yang dikembangkannya yaitu:
1. Sumber
yang bersifat biologis, yaitu sumber yang menyatakan bahwa pada kenyataannya
manusia memiliki suatu sistem syaraf yang telah lebih sempurna dibandingkan
dengan semua makhluk yang ada, yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
gejala superorganis.
2. Sumber
yang bersifat social, yaitu disini Roberty menunjuk kepada faktor interaksi
sosial itu sendiri. Tanpa interaksi sosial, faktor biologis tidak akan
berbicara banyak.
Ada empat macam
penjelasan yang menerangkan pentingnya faktor interaksi sosial sebagai faktor
yang mengembangkan fikiran dan pengetahuan manusia.
1. Berbeda
dengan psikis biasa, fikiran dan pengetahuan adalah tidak dapat timbul tanpa
adanya bahasa. Sementara itu bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya interaksi.
Oleh karena itu pikiran dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa adanya
interaksi sosial.
2. Berbeda
dengan gejala psikis biasa, pikiran dan pengetahuan manusia mengungkapkan
kenyataan – kenyataan yang ada, yang semuanya itu tidak mungkin timbul sebagai
hasil dari pengalaman – pengalaman kolektif dari banyak generasi, yang
memungkinkan pengalaman – pengalaman individu saling memberikan koreksi saling memberikan bukti – bukti saling
melengkapi dan mengembangkan pengalaman – pengalaman individual. Pengalaman –
pengalaman individual tidak akan berbicara banyak atau tidak akan bebicara apa
– apa, sampai pengalaman – pengalaman orang lain memperlengkapi dan
mengembangkannya. Ini mengandung arti bahwa pikiran dan pengetahuan manusia
atau gejala – gejala superorganis tidak dapat timbul tanpa adanya interaksi
sosial.
3. Tanpa
interaksi sosial yang permanen, diantara banyak generasi, maka akumulasi
fikiran dan pertumbuhan gejala – gejala super - organis, perkembangan perdaban
manusia bahkan perkembangan mental tidak akan mungkin terjadi. Hal ini
disebabkan karena tanpa interaksi sosial pengalaman – pengalaman individual
tidak dapat ditransmisikan (dipindahkan) kepada orang lain atau generasi
berikutnya.
4. Salah
satu diantara kondisi – kondisi penting daripada proses kejiwaan manusia yang
sadar adalah stimuli, yaitu stimuli atau rangsangan yang bervariasi dan berubah
– ubah (changing and different stimuli). Bilamana manusia hanya
menghadapi rangsangan yang bersifat monoton, maka yang akan berkembang adalah
kebekuan mental, dan di dalam kondisi sedemikian itu, proses – proses kejiwaan
yang sadar pun akan menjelma menjadi proses yang tidak disadari dan bersifat
otomatis.
Manusia
tidaklah berbeda jauh dengan binatang yang tidak mampu mengembangkan pikiran
dan pengetahuan. Bilamana pikiran dan pengetahuan berkembang, maka sebanya
adalah bersumber berhubungan dengan kehidupan sosial dengan lingkungan sosial
senantiasa menyajikan stimulasi baru yang tidak memungkinkan penyesuaian manusia
membeku ke dalam bentuk instink. Sebaliknya kehidupan sosial cenderung untuk
melemahkan instink tersebut karena sifat lingkungan sosial yang dinamis dan
selalu merangsang manusia senantiasa berusaha mengembangkan pola – pola
penyesuaian baru terhadap lingkungan kehidupan sosial yang berubah – ubah itu.
Kesimpulan
ini cukup untuk melihat bahwa disamping faktor – faktor biologis, interaksi
sosial merupakan suatu kondisi yang mutlak penting bagi timbul dan
berkembangnya pikiran dan pengetahuan manusia atau berkembangnya proses –
proses kejiwaan. Ini berarti pula bahwa gejala – gejala psikologis hanyalah
merupakan hasil dan bukan sebab daripada interaksi sosial.
Comte
adalah benar dalam hal menempatkan sosiologi diantara biologi dan psikologi.
Sosiologi adalah merupakan ilmu pengetahuan yang fundamental tentang gejala –
gejala super - organis yang mendasarkan diri kepada data – data biologis.
Gejala – gajala sosial tidak dapat diterangkan melalui sebab – sebab
psikologis, akan tetapi sebaliknya gejala – gejala psikologis harus diterangkan
melalui gejala – gejala biologis dan gejala – gejala sosial.
Roberty
menambahkan bahwa psikologis bukanlah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
berusaha untuk melakukan suatu generalisasi atau ilmu yang bersifat abstrak
sebagaimana halnya biologi dan sosiologi, melainkan suatu ilmu yang berusaha
untuk melakukan suatu deskripsi dan yang ber-obyekkan hal – hal yang bersifat
kongkret.
5.D. Droghicesco
D.
Droghicesco merupakan pendukung pendapat Comte terutama di dalam kerangka berfikir
untuk menyatakan bahwa gejala – gejala psikologis perlu ditafsirkan melalui
gejala – gejala sosiologis. Didalam bukunya yang berjudul The Role of
Individual (Du Role de le Individu) pada tahun 1880 Droghicesco mengemukakan
pandangannya yang disarikan sebagai berikut:
1. Bahwa
salah satu diantara kondisi – kondisi yang mempengaruhi perkembangan
inteligensia (kemampuan berfikir) manusia adalah adanya changing and
different stimuli (rangsangan yang selalu berubah – ubah dan berbeda). Rangsangan yang senantiasa berubah – ubah dan
berbeda selalu mendorong manusia untuk melakukan penyesuaian – penyesuaian baru
serta disadari sehingga rangsangan yang berubah dan bervariasi selalu mendorong
perkembangan intelegensia dan melemahkan tanggapan – tanggapan yang otomatis
untuk mengkonkretisir warisan – warisan biologis serta membuat orang menjadi
bersifat plastic dan berkemampuan untuk mengembangkan pikiran. Itulah alasan
pertama mengapa asal mula dan perkembangan intelegensia manusia berhubungan
dengan social inter - stimulation. Manusia hidup di dalam masyarakat yang
semakin bertambah kompleks dan karenanya manusia berkembang menjadi makhluk
yang bersifat lebih superior dibandingkan dengan binatang – binatang lain.
2. Kemampuan
untuk melakukan diskriminasi atau analisa merupakan fungsi utama daripada
intelegensia. Fungsi ini akan lebih berkembang di bawah pengaruh yang lebih
kompleks. Dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan manusia, maka kemampuan
manusia untuk melakukan analisa pun semakin bertambah dan berkembang pula.
Sementara itu, lingkungan kehidupan manusia yang paling kompleks adalah
lingkungan sosial itu sendiri. Kompleksitas kehidupan sosial yang telah semakin
bertambah – tambah dan terjadinya proses diferensial sosial yang semakin
intensif dan dengan demikian perkembangan daripada kemampuan berfikir manusia
untuk melakukan diskriminasi atau analisa akan berkorelasi dengan adanya inter
- stimulasi yang bersifat sosial dan berkorelasi dengan perkembangan daripada
proses diferensial sosial. Yang pertama merupakan refleksi yang kedua.[9]
2.3 Sosiologi Pendidikan Sebagai Sosiologi Murni
dan Sosiologi Terapan
1. Sosiologi Murni Versus Sosiologi Terapan
Perdebatan
para sosiolog tentang posisi sosiologi, yaitu apakah sosiologi merupakan ilmu
murni atau ilmu terapan, telah lama terjadi. Ketika awal perkembangan
sosiologi, Auguste Comte, sebagai bapak sosiologi, telah membawa sosiologi kea
rah revormasi sosial, yaitu suatu usaha membangun kembali masyarakat
sebagaimana yang diharapkan. Pemikiran comte ini tidak dilanjutkan oleh peletak
dasar teori sosiologi lainnya seperti Emile Durkheim dan Max Weber. Kedua tokoh
yang disebut belakangan ini mengembangkan bermacam pemikiran sosiologi yang
mengarah pada pengembangan ilmu murni. Pemikiran seperti ini begitu berkembang
dalam sosiologi, sehingga Robert Bierssedt dalam The Social Order . An
Introduction to sociology, menulis bahwa sosiologi bersama ilmu hokum,
geologi, sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam ilmu murni.
Adapun politik, manajemen dan akuntansi dimasukkan ke dalam kelompok ilmu
terapan.
Perdebatan para
sosiolog tersebut secara gambling ditulis oleh Henslin (2007:11) sebagai
berikut:
“Kontradiksi nyata
antara dua tujuan ini, menganalisis masyarakat versus upaya mereformasinya,
menciptakan suatu ketegangan dalam sosiologi yang sampai sekarang masih hadir
di antara kita. Beberapa sosiolog percaya bahwa peran mereka yang pantas ialah
untuk menganalisis segi masyarakat dan menerbitkan temuan mereka dalam jurnal
sosiologi. Sosiolog lain bertanggung jawab untuk memanfaatkan keahlian mereka
untuk berupaya menjadikan masyarakat sebagai suatu tempat yang lebih baik untuk
hidup dan membawa keadilan bagi orang miskin.”
Perbedaan
antara penganut sosiologi murni dan terapan ditandai oleh khalayak yang
dijadikan sasaran dan produk yang dihasilkan. Menurut Henslin (2007:11) bahwa
sosiologi murni di tujukan pada sesame sosiolog sebagai khalayak sasarannya,
sedangkan terapan di arahkan pada klien yang terdiri dari berbagai macam
jenisnya mulai dari perorangan sampai kelompok (perusahaan, komunitas, dan
pemerintah).
Perbandingan antara
sosiologi murni dan sosiologi terapan
Aspek
|
Sosiologi Murni
|
Sosiologi Terapan
|
Khalayak
|
Sesama Sosiolog
|
Klien
|
Produk
|
Pengetahuan
|
Perubahan
|
2. Sosiologi Pendidikan : Sosiologi Murni Atau Sosiologi
Terapan?
Berdasarkan
pengalaman mengajar di berbagai perguruan tinggi, pada saat mengajar mahasiswa
pasca sarjana yang berasal dari latar pendidikan mereka memiliki kecenderungan
mengajukan pertanyaan atau analisis tentang sesuatu yang berhubungan dengan
kegunaan sosiologi bagi pendidikan dan kependidikan. Ketika mendiskusikan sosialisasi, misalnya,
mereka menanyakan tidak hanya tentang bagaimana memahami sosialisasi terjadi di
dalam masyarakat, tetapi juga bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan agar
generasi yang diharapkan dapat terbentuk melalui rekayasa sosial.
Hal
tersebut dapat dipahami karena seorang guru biasanya memiliki kecenderungan
untuk membantu murid memecahkan masalah yang sedang dihadapi disatu sisi, serta
ilmu pendidikan dan kependidikan yang dipelajari menuntutnya untuk memahami
tidak hanya sesuatu yang bersifat apa adanya (das sein), tetapi juga sesuatu
yang seharusnya ada (das sollen), disisi lain.
Dari sisi das sollen, seorang mahasiswa tergerak ide dan pemikirannya
untuk menemukan jalan atau solusi sehingga apa yang menjadi das sollen ini
tercapai.
Dari
kenyataan tersebut di atas, bagaimana posisi sosiologi pendidikan dalam
kaitannya dengan percabangan sosiologi antara ilmu murni dan terapan? Menurut
buku Pengantar Sosiologi Pendidikan yang dikarang oleh Prof. Dr. Damsar
mengatakan posisi kita ialah membuka peluang bagi semua pilihan yang ada, yaitu
sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni dan atau terapan. Dengan kata lain, sosiologi pendidikan
dilihat sebagai ilmu murni karena dalam materinya memberikan kontribusi bagi
kompetensi, keahlian, dan kemampuan dalam memahami fenomena pendidikan dan
kependidikan berdasarkan teori sosiologi pendidikan. Kemampuan teoretis ini membuat mahasiswa mampu
melakukan penelitian tentang fenomena pendidikan dan kependidikan serta
mengkritik fenomena dan kebijakannya.
Kemampuan seperti ini menunjukkan pada bidang kegiatan sosiologi
pendidikan sebagai ilmu murni.
Kemampuan
teoretis yang dimiliki juga memberikan kemampuan bagi mahasiswa untuk mengasah
kemampuan atau kempetensi dalam evaluasi keefektifan kebijakan dan program,
menawarkan penyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara untuk memperbaiki
kebijakan dan program yang berkaitan dengan pendidikan dan kependidikan. Oleh sebab itu, sosiologi pendidikan juga
dapat diarahkan sebagai ilmu terapan. Demikian pula, tidak tertutup
kemungkinan, mahasiswa mampu menjadikan sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni
dan terapan sekaligus.[10]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sosiologi
Pendidikan adalah Ilmu yang mempelajari tentang permasalahan-permasalahan
pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan
sosiologi.
2. Tujuan
Sosiologi Pendidikan adalah:
1)
Berusaha
memahami peranan sosiologi daripada kegiatan sekolah terhadap masyarakat,
terutama ketika sekolah itu dilihat dari segi intelektual.
2)
Untuk memahami
seberapa jauh guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk
mengembangkan kepribadian anak.
3)
Untuk mengetahui
pembinaan ideology Pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan
pendidikan dan pengajaran.
4)
Untuk mengadakan
integrasi kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar pendidikan
mempeunyai kegunaan praktis di masyarakat dan Negara.
5)
Untuk
menyelidiki factor-faktor kekuatan masyarakat yang bisa menunjang pertumbuhan
dan perkembangan kepribadian anak.
6)
Memberi
sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
7)
Memberi pegangan
terhadap penggunaan prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosialisasi
sikap dan kepribadian anak didik.
3. Sosiologi
Pendidikan dilihat sebagai:
Ø Ilmu
Murni karena dalam materinya memberikan kontribusi bagi kompetensi, keahlian,
dan kemampuan dalam memahami fenomena pendidikan dan kependidikan berdasarkan
teori sosiologi pendidikan. Kemampuan
teoretis ini membuat mahasiswa mampu melakukan penelitian tentang fenomena
pendidikan dan kependidikan serta mengkritik fenomena dan kebijakannya.
Ø Ilmu
Terapan karena kemampuan teoretis yang dimiliki juga memberikan kemampuan bagi
mahasiswa untuk mengasah kemampuan atau kempetensi dalam evaluasi keefektifan
kebijakan dan program, menawarkan penyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara
untuk memperbaiki kebijakan dan program yang berkaitan dengan pendidikan dan
kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta.
Ahmadi, Abu. 1982. Sosiologi
Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Gunawan,
Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai
Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Padil, Moh. 2010. Sosiologi
Pendidikan. Malang : UIN Press.
Siahaan,
Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan dan Teori Sosiolog. Jakarta:
Erlangga.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi
Suatu Pengantar.
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi
suatu pengantar, hal 17-18
[2] Redja Mudyahardjo, Pengantar
Pendidikan, hal 3
[3] Ibid, hal 6
[4] Abu AhmadiSosiologi pendidikan,
cet IV Surabaya:PT Bina Ilmu,1982) hal 16
[5] Moh padil dan Triyo Suprayitno,
sosiologi pendidikan, UIN press. Hal 8
[6] Ary H. Gunawan, sosiologi
pendidikan, suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan,
Jakarta: Rineka Cipta,2000) hal 50-53
[7] Op.cit, hal 14
[8] Ahmadi, Abu. Sosiologi
Pendidikan, Jakarta, 2007. Hal 44
[9] Hotman M Siahaan, 1986, Pengantar
Ke Arah Sejarah dan dan Teori Sosiologi, Jakarta: Erlangga, Hal: 96.
[10] Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17-21
0 komentar:
Posting Komentar