Senin, 13 April 2015

MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN


Pengertian Sosiologi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah, Emile Durkheim lah yang melanjutkan ‘istilah’ tersebut dan menerapkannya menjadi sebuah disiplin ilmu). Sosiologi berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Latin yaitu Socius yang artinya teman dan Logos yang artinya ilmu. Secara keseluruhan, Sosiologi berarti ilmu yang mempelajari masyarakat. Masyarakat sendiri adalah kelompok atau gabungan dari individu yang saling berhubungan, berbudaya, dan memiliki kepentingan yang relatif sama. Sosiologi bertujuan untuk mempelajari masyarakat dengan meneliti/mengamati dan menarik kesimpulan dari perilaku masyarakat, khususnya perilaku atau pattern sosial manusia.
Sosiologi tergolong ilmu yang fleksibel. Hal ini bisa dilihat dari sifatnya yang tersusun dari penelitian-penelitian ilmiah yang bersifat kaku namun bisa dikritik oleh publik karena sosiologi adalah ilmu yang berisi tentang pengetahuan kemasyarakatan, oleh karena itu selalu dinamis dan dapat diubah - ubah sesuai dan seiring dengan perkembangan yang terjadi di dalam objek penelitiannya (masyarakat).
Sosiologi sendiri muncul akibat tekanan/ancaman yang dirasakan oleh masyarakat terhadap hal-hal dan nilai-nilai yang selama ini sudah dianggap benar dan nyaman dalam tatanan kehidupan mereka, khususnya dalam bidang sosial. Renungan sosiologis dimulai ketika masyarakat mulai mengalami goncangan/krisis terhadap nilai-nilai dan prinsip hidup yang mereka pegang, atau “threats to the taken-for-granted world”, – Berger dan Berger.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah ini kami akan sedikit mengulas tentang konsep sosiologi pendidikan dan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan.




1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Sosiologi Pendidikan?
2.      Apakah tujuan dari Sosiologi Pendidikan?
3.      Mengapa ilmu Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu murni dan ilmu terapan?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Sosiologi Pendidikan.
2.      Untuk mengetahui tujuan dari Sosiologi Pendidikan.
3.      Untuk mengetahui mengapa ilmu Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu murni dan ilmu terapan.





















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Konsep Dasar Sosiologi
A.    Pengertian Sosiologi Pendidikan
Istilah sosiologi berasal dari kata “socius”yang berarti kawan dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang membahas interaksi manusia di masyarakat. Dalam hal ini, banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengertian dari sosiologi sendiri. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.[1] Secara garis besar, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dalam hidup di tengah-tengah masyarakat. Unsur utama dalam sosiologi itu adalah interaksi, masyarakat, proses dan kehidupan.
Dari proses interaksi masyarakat tersebut, sangatlah mendukung dengan adanya kegiatan pendidikan. Dilihat dari pengertiannya, pendidikan itu sendiri berasal dari kata Didik yang mendapar imbuhan dan akhiran pe-an yang secara bahasa mengandung arti perbuatan. Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogie yang artinya bimbingan yang diberikan kepada anak. Secara luas, Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.[2] Selain sempit, Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka.[3]
Dari berbagai macam pengertian sosiologi dan pendidikan, dapat dibentuk pengertian baru yaitu sosiologi pendidikan. Dari istilah Sosiologi Pendidikan ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuwan. Berikut beberapa definisi dari pendapat para ahli:
1.      E. George Payne, sosiologi Pendidikan adalah The science wich describes and explains the institution, social grups and social proceses, that is the social relationship in which or through which the individual gains and organizes his experiences.
2.      Charles A. Ellwood. Sosiologi Pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang maksud hubungan-hubungan antara semua pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial.[4]
3.      FG. Robbin dan Brown. Sosiologi pendidikan adalah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasikan pengalaman.
4.      Menurut S. Nasution, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.     
Dari berbagai macam pendapat tentang pengertian sosiologi pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu yang mempelajari tentang permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologi.
B.     Tujuan Sosiologi Pendidikan
Dalam setiap proses/ kegiatan Pendidikan adalah salah satu bagian dari proses menuju tercapainya akan suatu tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan kebutuhan dunia kerja. Dalam membuat rumusan tujuan pendidikan akan disusun secara ringkas, padat serta jelas yang mengacu pada kematangan integritas atau kesempurnaan pribadi. Dalam proses integritas atau kesempurnaan pribadi memiliki komponen-komponen yang meliputi jasmani, intelektual, emosional, dan etis tiap individu yang merupakan cita-cita dari proses pendidikan.
Tujuan pendidikan nasional pendidikan tercantum dalam Undang-undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan ini bersifat idealis sebagai pedoman dalam merumuskan suatu tujuan pendidikan di seluruh Indonesia.[5] Francis Brown mengemukakan bahwa sosiologi pendidikan memperhatikan pengaruh keseluruhan lingkungan budaya sebagai tempat dan cara individu memperoleh dan mengorganisasi pengalaman. S Nasution mengemukakan Sosiologi Pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk memperoleh perkembangan kepribadian individu yang lebih baik. Dari berbagai macam pendapat yang telah tertera di atas, dapat dirumuskan suatu konsep tentang tujuan dari sosiologi pendidikan, yaitu[6]:
1.      Sosiologi pendidikan bertujuan untuk menganalisis proses sosialisasi anak, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
2.      Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk menganalisis perkembangan dan kemajuan sosial.
3.      Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk menganalisis status pendidikan dalam masyarakat.
4.      Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk menganalisis partisipasi orang berpendidikan dalam kegiatan sosial.
5.      Sosiologi Pendidikan bertujuan untuk membantu menemukan tujuan pendidikan.
6.      Menurut FG. Payne, Sosiologi Pendidikan bertujuan utama untuk memberikan kepada guru-guru (peneliti dan yang berkaitan dengan pendidikan), latihan-latihan yang kreatif dalam bidang sosiologi, sehingga dapat memberikan sumbangan secara tepat dan cepat kepada masalah pendidikan.
Di Indonesia, tujuan sosiologi pendidikan diselaraskan dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pembangunan Indonesia Modern. Sedangkan tujuan itu sendiri ialah:
1.      Berusaha memahami peranan sosiologi daripada kegiatan sekolah terhadap masyarakat, terutama ketika sekolah itu dilihat dari segi intelektual.
2.      Untuk memahami seberapa jauh guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk mengembangkan kepribadian anak.
3.      Untuk mengetahui pembinaan ideology Pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan pendidikan dan pengajaran.
4.      Untuk mengadakan integrasi kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar pendidikan mempeunyai kegunaan praktis di masyarakat dan Negara.
5.      Untuk menyelidiki factor-faktor kekuatan masyarakat yang bisa menunjang pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
6.      Memberi sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
7.      Memberi pegangan terhadap penggunaan prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosialisasi sikap dan kepribadian anak didik.[7]
C.    Pendekatan Sosiologi Pendidikan
Sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari secara khusus tentang interaksi diantara individu-individu, antar kelompok, institusi sosial, proses sosial, relasi sosial yang di dalamnya  seoarang individunya akan memperoleh dan mengorganisasikan pengalaman sosiologi pendidikan perlu adanya suatu pendekatan untuk mewujudkan dan merealisasikan aktivitas sosiologi pendekatan. Pendidikan sosiologi sebagai pendekatan sosiologi pendidikan terdiri dari:
1.      Pendekatan Individu ( The Individual Approach)
Dalam pendekatan individu titik penekanannya adalah tingkah laku individu. Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi pendekatan individu ini yakni faktor internal yang meliputi faktor-faktor biologis dan faktor eksternal yang meliputi faktor-faktor lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Dalam pendekatan individual ini titik tekannya adalah faktor-faktor biologis yang menguasai tingkah laku individu daripada faktor-faktor psikologis, namun kedua faktor ini tetaplah faktor primernya sedangkan faktor lingkungan sekitar fisik dan lingkungan sosial merupakan faktor sekunder. Hal ini dikarenakan pendekatan individu berasumsi bahwa individu adalah primer dan masyarakat adalah sekunder.
1.   Faktor Biologis Pada Tingkah Laku Manusia
Perbedaan antara faktor biologis dan psikologis pada tingkah laku manusia adalah pada faktor biologis manusia dipandang sebagai organisme yang murni dan sederhana, sedangkan pada faktor psikologis manusia dipandang sebagai organisme yang cerdas dan mempunyai kecerdasan (inteligen).
2.   Faktor Psikologis Pada Tingkah Laku Manusia
Sebenarnya perbedaan antara faktor psikologis dan biologis tidak begitu ekstrim, tajam dan statis. Seiring dengan kemajuan-kemajuan penelitian ilmiah maka dapat diketahui bahwa sebenarnya hubungan psikologi dan biologi sifatnya timbal-balik, bahkan justru keduanya saling melengkapi di dalam mempelajari tingkah laku manusia. Bukti dari ini adalah munculnya penelitian-penelitian psikologi mengenai konsep insting (instinct).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendekatan individu belumlah lengkap untuk menerangkan semua gejala tingkah laku manusia mengingat bahwa individu-individu adalah hidup dengan dan dalam masyarakat. Jadi faktor masyarakat itupun harus diakui peranannya sebagai pembentuk tingkah laku anggota masyarakatnya.
2.      Pendekatan Sosial ( The Social Approach)
Secara pribadi, manusia adalah makhluk individual, akan tetapi dalam kenyataannya, sejak lahir manusia sendiri telah menunjukkan bahwasannya mereka itu adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Manusai tidak bisa dipisahkan dari keluarganya dan kelompoknya. Sejak awal manusia dalam perkembangannnya sudah mempunyai lingkungan tersendiri. Dari segi bahasa, manusia sudah bisa membuat lingkungan sendiri, dari segi umur, manusias sudah mempunyai masyarakat sendri dan lain sebagainya.
Manusia tidak bisa hidup di luar lingkungannya. JJ.Rosseau menyatakan bahwa yang mendorong manusia untuk hidup bergaul adalah kebutuhan hidupnya yang selalu diusahakan setiap saat dan setiap hari. Kenutuhan itu tidak saja bergaul,  akan tetapi yang lebih penting lagi adalah saling bergantung antara satu dengan lainnya. CA. Elwood menyatakan bahwa ada tiga unsur biologis yang menyebabkan manusia hidup bermasyarakat dan saling bergantung, yaitu dorongan untuk makan, dorongan untuk mempertahankan diri, dan dorongan untuk melangsungkan jenisnya.
Pendekatan sosial beranggapan bahwa tingkah laku individu secara mutlak ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaannya, dimana individualitas tenggelam dalam sosialitas manusia. Individu – individu yang menyimpang dari aturan masyarakat akan dikeluarkan dari masyarakatnya, karena disini masyarakat mempunyai teknik untuk bisa mempengaruhi individu serta takluk pada norma dan etika sosial. Wodworth menyatakan bahwa manusia menyesuaikan lingkungannya selalu mengalami empat macam proses, yaitu:
1.      Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya.
2.      Individu dapat menggunakan lingkungan.
3.      Individu dapat berpartisipasi dengan lingkungan.
4.      Individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Tahap menyesuaikan diri dengan lingkungan merupakan tahap puncak dari setiap individu dalam interaksi dengan lingkungannya. H. Bonner mendefinisikan interaksi sosial dengan hubungan antara dua individu atua lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain dan sebaliknya.
Interaksi sosial dapat dilakukan dengan cara imitasi (peniruan), sugesti (suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara pedoman – pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu), identifikasi (keinginan untuk menyamakan atau menyesuaikan diri dari sesuatu yang dianggap mempunyai keistimewaan), simpati (tertariknya orang satu terhadap orang lain melalui perasaan). Interaksi sosial yang dilakukan dengan berbagai teknik tersebut merupakan suatu tindakan untuk membentuk penyesuaian diri. Ada dua model penyesuaian diri, yaitu
1.      Auto-plastic, yaitu mengubah diri kita sesuai dengan lingkungannya.
2.      Alloplastik, yaitu mengubah lingkungan sesuai dengan kehendak kita.
3.      Pendekatan Interaksi ( The Interaction Approach)
Di dalam pendekatan interaksi ini perhatiannya adalah penggabungan dari pendekatan individu dan pendekatan sosial melalui interaksi. Sebab pada kenyataannya menurut pendekatan interaksi ini, individu dan masyarakat itu saling mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik. Jadi antara individu dan masyarakat itu mempunyai daya kekuatan yang saling membentuk dan saling menyempurnakan.[8]
Dapat disimpulkan, pendekatan ini ingin menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkah laku manusia harus dilihat dari individu dan masyarakat. Jadi sosiologi pendidikan tidak semata - mata hanya mempelajari individu atau masyarakat saja tetapi harus kedua-duanya.
4.      Warisan Kebudayaan (Culture Heritage)
Banyak sekali pendapat tentang akar budaya dari segi bahasa, antara lain:
ü  Sansekerta : Buddhaya, sebagai bentuk jamak dari budhi (budi atau akal)
ü  Kebudayaan berasal dari kata majemuk “budi” dan “daya”, menjadi budaya. Budaya mendapatkan awalan “ke” dan “an” menjadi kebudayaan yang berarti hasil dari cipta, rasa, karsa.
ü  Merupakan terjemahan dari culture dari bahasa (bahasa Belanda dan Inggris), colere (bahasa Latin), tsaqofah (bahasa Arab), yang berarti mengolah, menyuburkan, mengerjakan dan mengembangkan terutama mengolah tanah atau bertani.
Kebudayaan pada hakikatnya adalah fitrah manusia yang dijabarkan dalam kegiatan kehidupan sebagai pengemban amanah, mengelola bumi dan isinya yang dijadikan pijakan hidup manusia. Kebudayaan menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia yang serba kompleks.
Linton secara umum membagi kebudayaan menjadi beberapa bagian, antara lain:
a.       Cultural Universal: mata pencaharian, kesenian, agama, hukum, moral, ilmu pengetahuan.
b.      Cultural Activities: Kegiatan kebudayaan.
c.       Traits Complex: Bagian dari cultural complex.
d.      Traits: Bagian dari traits complex.
e.       Items: Bagian dari traits
Cultural universal adalah hasil dari pikiran, gagasan, ide manusia yang bersumber dari akal. Sifat pemikiran manusia ini cenderung idelalis, sehingga ada pikiran manusia yang bersifat aplikatif yang nantinya akan membentuk budaya material dan teoritis yang nantinya akan menhasilkan budaya spiritual.
Dari pengelompokkan Linton diatas, secara umum terdapat komponen – komponen kebudayaan, antara lain: alam pikiran ideologis dan religious, bahasa, hubungan sosial, hidup berekonomi, IPTEK, kesenian, politik dan pemerintahan, dan pewarisan kebudayaan.
2.2  Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan
Pemikiran – pemikiran sosiologi dapat disebut juga sudah ada semenjak jaman Yunani. Akan tetapi usaha untuk membangunnya sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri barulah pada zaman Auguste Comte. Pemikiran – pemikiran sosial di alam pikiran yunani telah dirintis oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles itu sebenarnya merupakan dasar ilmu sosiologi yang dibangun oleh Comte. Comte mengatakan bahwa usaha untuk mempelajari ilmu pengetahuan dapat diterangkan melalui dua jalan, yaitu historis dan dogmatis. Bagi sosiologi, hal ini menjadi penting karena tidak ada pendapat yang akan mengingkari tentang besarnya peranan filsuf yunani kuno terhadap ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi.
Sosiologi baru disebut ilmu pengetahuan pada abad ke 19. Pertumbuhannya melalui jalan yang panjang, dan katalisator penting yang melahirkannya adalah pengaruh pemikiran yang berkembang diakhir abad ke 18 dengan filsafat Aufklarung yang di mulai di Inggris dan Perancis. Ilmu sosial dihasilkan oleh keadaan – keadaan yang terjadi di dalam masyarakat.
Pada permulaan abad ke 19 hal ini menunjuk langsung ke arah perkembangan sosiologi sebagai suatu ilmu yang tegak sendiri. Sosiologi akan merupakan pernyataan ilmiah dari kesadaran akan kekuasaan dari watak dan kehidupan masyarakat itu sendiri.  Dia akan berusaha memberikan jawaban menurut ilmu pengetahuan adalah benar dan tepat mengenai masalah – masalah yang dikemukakan di dalam kehidupan masyarakat. Diakhir abad ke-18 awal abad ke -19, tampillah seorang tokoh yang menjadi guru Auguste Comte yang bernama Claude Henri Comte de Saint Simon.
1.Saint Simon
Claude Henri Comte de Saint Simon dilahirkan dari suatu keluarga bangsawan pada tahun 1760. Dia seorang amatir dan avonturis dibidang ilmu pengetahuan. Dia juga seorang ahli matematik, ahli tehnik, tetapi juga seorang pemikir agama, di samping sebagai seorang ahli ilmu alam terkenal.
Saint Simon berusaha untuk menggunakan metoda ilmu alam di dalam mempelajari masyarakat. Dia pula orang pertama yang mengatakan bahwa untuk mempelajari masyarakat haruslah secara menyeluruh, sebab semua gejala sosial katanya adalah saling berhubungan satu sama lain, dan oleh karena itu pula sejarah perkembangan masyarakat sebenarnya menunjukkan suatu kesamaan.
Simon sangat menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang ilmu faal fisiologi. Dia menyatakan bahwa ilmu tubuh manusia tidaklah dapat dipahami dengan hanya mempelajari tubuh dan fikiran seseorang, tetapi juga harus melalui pemahaman mengenai sejarah manusia.
Semua ilmu pengetahuan haruslah bersifat positif yang dicapai melalui metoda – metoda pengamatan, eksperimentasi, dan generalisasi sebagaimana yang digunakan di dalam ilmu alam. Hanya dengan cara seperti inilah ilmu pengetahuan sosial menjadi lebih pasti dan mampu melihat masa yang akan datang sebagaimana halnya ilmu alam.
Ajaran tentang Perkembangan sosial
Saint Simon menggunakan dua prinsip untuk menerangkan perkembangan sosial, yaitu:
a.       Adanya perkembangan terus menerus dan meluas dari masyarakat, mulai dari kelompok masyarakat yang paling kecil hingga yang paling besar.
b.      Hukum tentang kemajuan pengetahuan manusia, mulai dari kebudayaan yang paling rendah hingga kepada peradaban yang paling tinggi.
Menurut kedua prinsip di ataslah keberhasilan manusia untuk merubah masyarakatnya mulai dari keadaannya yang paling primitip sampai kepada peradaban yang paling maju. Sebenarnya ada satu prinsip lagi yang dikemukakan oleh Saint Simon untuk menerangkan perkembangan sosial ini, yaitu anggapannya mengenai bentuk – bentuk kekuasaan dari masyarakat itu sendiri.
Saint Simon juga mengatakan bahwa ada kesejajaran antara perkembangan individu dengan masyarakat.  Ide ini menjadi begitu popular pada abad ke-18. Tetapi disini Saint Simon berusaha untuk menerangkan kesejajaran ini sesuai dengan cara berpikirnya manusia. Cara berpikir manusia didahului oleh dua cara, yaitu sintetis dan analitis. Cara berpikir manusia yang analitis menjadikan manusia menjadi pribadi yang kritis, sedangkan cara berpikir manusia yang sintetis menjadikan manusia menjadi kepribadian yang konstruktif atau organis.
Semua perkembangan sosial sedemikian ini, selalu disertai dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang menggambarkan bagaimana sebenarnya terdapat kesejajaran antara perkembangan masyarakat denagn perkembangan cara berfikir manusia. Bentuk pengetahuan manusia berkembang menurut tingkatan yang spekulatif menuju kepada tingkatan yang kongkrit. Berdasarkan tingkatan ilmu pengetahuan manusia, maka kita harus memandang masyarakat secara keseluruhan yang berkembang dari tingkatan yang berdasarkan pemikiran yang spekulatif, menuju kepada masyarakat yang diorganisir berdasarkan pemikiran yang bersifat positif atau ilmiah. Saint Simon menempatkan ajaran ini sebagai hukum tentang perkembangan sosial.
2.Auguste Comte
Auguste comte lahir pada tahun 1789 dikota monpellier di Perancis selatan. awalnya orang tua Comte ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai kerajaan dan sekaligus sebagai penganut katolik yang sholeh. Akan tetapi, entah karena warisan atau lingkungannya, sejak semula Comte telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang berpikiran bebas, dan yang memiliki kemampuan untuk berpikir tentang dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan ketika pada usianya yang ke 13, dia menjadi seorang penganu Republik yang  militan, skeptis terhadap ajarn – ajran agama katolik. Pada usia 16 tahun, Comte pindah ke Paris untuk masuk ke sekolah politeknik studi keinsinyuran. Selama menjalani pendidikan, Comte tidak hanya menunjukkan sebagai seorang yang berpikiran bebas, akan tetapi juga seseorang yang memiliki semangat untuk tidak di bawah orang lain. Dia sangat kritis terhadap mahagurunya, dan dia sering mengajukan petisi apabila mereka melakukan kesalahan. Akibat sikapnya yang seperti itu dia dikeluarkan dari sekolah. Setelah dikeluarkan dari sekolah, Comte kembali ke kota asalnya, monpellier, sekalipun dia tidak betah disana dan kemudian kembali lagi ke Paris. Dua tahun setelah kembali ke Paris dia bertemu dengan Saint Simon. Comte menjadi murid dan sekaligus sekretaris Saint Simon ini kemudian dapat mensistimatir dan mensintesakan ide ide yang diterimanya dari Saint Simon.
Beberapa sumber latar belakang pemikiran Comte.
a.       Revolusi Perancis dengan segala aliran fikiran yang berkembang pada masa itu. Dalam sumber ini, Comte berpendapat bahwa manusia tidak dapat keluardari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman - pedoman berfikir yang bersifat scientific.
b.      Filsafat sosial yang berkembang di Perancis pada abad 18, khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut faham Encyclopedist Perancis.
c.       Aliran reaksioner dari para ahli fikir theocratic. Aliran reaksioner adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan dimana kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu periode yang dapat secara paling baik memecahkan berbagai masalah masalah sosial.
d.      Lahirnya aliran yang dikembangkan oleh pemikiran sosialistik. Comte akan membangun ilmu pengetahuan sosial serta akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan Sosial yang bersifat scientific.
Comte adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai ilmu. Comte menguraikan metode metode berfikir ilmiah. Comte menyatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih daripada suatu perluasan metode yang sangat sederhana dari akal sehat, terhadap semua fakta - fakta yang tunduk kepada akal fikiran manusia.
Teori teori sosial Comte :
ü  Sosial Dinamis
Sosial dinamis adalah teori tentang perkembangan masyarakat manusia. Comte mengakui adanya hewan hewan bermasyarakat, sebagaimana dikemukakan dalam studi biologis dalam penerapannya sebagai perbandingan studi mengenai masyarakat. Tetapi, Comte menolak kebenaran yang mengasalkan manusia dari makhluk yang lebih rendah atau binatang. Yang membedakan manusia dari binatang adalah perkembangan intelegensia manusia yang lebih tinggi. Dan dengan asumsi ini, Comte mengajukan hukum tentang tiga tingkatan perkembangan intelegensi manusia yaitu theologis, metafisik, dan scientific. Dan menurut Comte sejarah umat manusia pada dasarnya ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, dan oleh karena itu, hukum tertinggi dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan intelegensia manusia.  Hukum – hukum tentang perkembangan manusia antara lain:
a.      The law of the three stages
Adalah hukum tentang perkembangan intelegensi manusia, dan yang tidak berlaku hanya terhadap perkembangan masyarakat, tetapi berlaku juga terhadapa perkembanagan seorang individu. Hukum ini adalah merupakan generalisasi dari tiap bagian dari pemikiran manusia yang berkembang maju melalui tiga tahap pemikiran, yaitu theology, methaphisik, dan scientific. Hukum tiga tingkatan perkembangan manusia inilah yang merupakan dasar dari semua teori – teori sosial yang dikembangkan oleh Auguste Comte.
b.      The law of the hierarchie of the sciences
Adalah hukum yang menyususn susunan ilmu pengetahuan. Comte menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat di dalamnya.
Comte meyakini bahwa derajat kompleksitas dari setiap ilmu pengeahuan itu tergantung dari tingkatan pemikiran manusia, yang berkembang dari yang paling abstrak menuju yang paling kongkrit. Contohnya, Matematika, yang memiliki obyek paling sederhana dan abstrak berupa angka – angka, kemudian disusul oleh astronomi (celestia physics), fisika (molar physics), kimia  (atomic physics), biologi (organic physics), dan sosiologi (social physics).
Susunan jenjang ilmu pengetahuan sedemikian ini tidak saja tergantung kepada tingkat abstrraksi ilmu tersebut pada umumnya, tetapi pertumbuhan ilmu itu sendiri tumbuh ke arah tingkatnya yang bersifat positif. Comte juga meyakini bahwa gejala – gejala ilmu dari semua ilmu pengetahuan sebenarnya bersifat homogeneous, ilmu pengetahuan berbeda hanya di dalam kompleksitasnya.
c.       The law of the correlation of pratical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berpikir yang teologis dengan militerisme. Cara berpikir teologis mendorong timbulnya usaha – usaha untuk menjawab semua persoalan – persoalan melalui kegiatan force, karena itu, kekusasaan  dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungannya satu sama lain.
Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip – prinsip hukum menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan hubungan antar manusia. Kebebasan individual mulai berkembang dan perbudakan – perbudakan pekerja mulai mengalalmi penyusutan di dalam berbagai  bentuknya. Sedangkan pertumbuhan industri di dalam tahap sedemikian ini tidak saja bertujuan untuk menunjang militerisme, tetapi juga berfungsi untuk memelihara kehidupan mewah daripada kaum penguasa. Perang di dalam masyarakat yang memilki cara berfikir metafisis adalah perang yang bersifat defensive, yaitu sekalipun force masih bersisa di dalam masyarakat ini, tetapi penaklukkan serta kemenangan melalui kekuatan yang sedemikian itu bukanlah menjadi tujuan daripada masyarakat. Perang akan semakin hilang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan industri.
Industri dikembangkan tidak untuk tujuan perang maupun menunjang kemapanan kelas penguasa, melainkan untuk kepentingan industri itu sendiri. Scientificstage dengan demikian akan membuka pintu bagi perkembangannya an era of peace and good will abad perdamaian dan kemauan baik.
d.      The law of the correlation of the feelings
Comte manganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan melalui feelings. Demikianlah sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan daripada sosial sentiment.
Di dalam tahap teologis, sentiment sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam suatu masyarakat lokal atau terbatas pada city state. Tetapi di dalam abad pertengahan, sosial sentimens berkembang semakin meluas seiring dengan pertumbuhan agama Kristen. Comte menganggap bahwa abad pertengahan adalah abad dalam tahapan metafisis. Tetapi di dalam tahapan positif, sosial simpati berkembang menjadi semakin universal. Altruisme dan good will semakin meluas. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiran manusia akan mampu memperkembangakan semangat altruistic dan menguniversiilkan perasaan sosial.
ü  Sosial Statis
Sosial statis adalah teori tentang tertib dasar masyarakat. Fungsi sosial static adalah untuk mencari hukum hukum tentang aksi dan reaksi daripada berbagai bagian didalam suatu sistem sosial. Jadi kalau sosial dinamis berusaha untuk mencari hukum hukum tentang gejala gejala sosial didalam perbedaan waktu dari suatu pertumbuhan maka sosial statis mencari hukum hukum tentang gejala gejala sosial yang bersamaaan waktu terjadinya. Empat doktrin dari sosial statis antara lain:
1.      The doctrine of the individual
Comte mengatakan bahwa teori tentang sikap sikap dasar manusia individual adalah penting sekali di dalam sosiologi. Dia tidak menganggap bahwa studi tentang sikap sikap dasar individu sebagai bagian yang harus  dilakukan oleh psikologi. Individu yang kita kenal selalu merupakan cerminan daripada kelompok masyarakat. Apabila anda menghilangkan segala galanya apa yang diberikan oleh kelompok terhadap seorang individu, pengetahuan, intelektual, moral dan lain - lain, maka Anda hanya akan menemukan tubuh dan energi saja dari individu tersebut. Individu merupakan produk dari kehidupan kehidupan kelompoknya, dan sebagaimana dia sebagai hasil atau produk masyarakat, kita tidak dapat memandang individu sebagai unit satuan masyarakat. Hal ini disebabkan karena perbedaan kecenderungan - kecenderungan pembawaan yang dimiliki masing - masing individu yang berakar di dalam sifat biologisnya.
Dibalik dari kemampuan kemampuan pembawaan, Comte mengakui adanya sesuatu yang disebut instink. Comte mendefinisikan instink sebagai suatu dorongan spontan tertentu menuju ke satu arah tertentu. Comte membagi instink manusia kedalam dua bagian yaitu instink egois dan instink altruistic. Pada umumnya, manusia memiliki instink egois lebih besar dibandingkan altruisticnya. Namun demikian, organisasi masyarakat mengembangkan altruistic di dalam diri individu, dan menekan serta mengendalikan kecenderungan - kecenderungan instink egoisnya.
2.      The doctrine of the family
Menurut Comte, keluarga adalah unit masyarakat yang sebenarnya, yang merupakan unit darimana masyarakat itu terbentuk. Keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terbentuk melalui instink dan daya tarik alamiah.  Oleh karena itu, keluarga dapat dibandingkan dengan masyarakat, sebagai sel – sel dalam organisme biologis.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil merupakan media perantaraan melalui mana kita belajar bergaul dengan orang lain. Dan keluarga adalah merupakan perantara yang paling penting untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dengan demikian keluarga adalah dasar untuk tumbuhnya semangat sosial, yang merupakan jembatan antara sifat – sifat egoistic individual dan sifat – sifat altruistic untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup bermasyarakat. Itulah sebabnya maka keluarga haruslah bersifat stabil untuk bisa mengembangkan semangat altruistic dan menghilangkan penderitaan individual.
Gangguan serius yang dialami akan dapat mengakibatkan dis-organisasi sosial yakni proses terjadinya keretakan organisasi masyarakat. Tetapi menurut Comte, keluarga seperti halnya institusi – institusi lainnya di dalam masyarakat, dapat diperbaiki apabila mengalami keretakan, dan modifikasi tersebut dapat dilakukan melalui pengetahuan yang bersifat scientific.
3.      The doctrine of the society
Keluarga menurut Comte bukanlah masyarakat, karena masyarakat merupakan kesatuan yang jauh lebih luas, dan yang terdiri dari sejumlah keluarga – keluarga yang berdiri sendiri. Kalau kesatuan dasar yang memebentuk keluarga adalah instink dan afeksi, maka masyarakat sebaliknya, adalah merupakan kesatuan yang terbentuk di atas landasan pembagian pekerjaan sosial. Pembagian pekerjaan di dalam keluarga tidak begitu kentara karena jumlah anggotanya yang kecil. Pembagian pekerjaan itu akan semakin terlihat denagn jelas di dalam kesatuan yang lebih besar.
Kemampuan berfikir manusia khususnya untuk kemampuan menciptakan hal – hal yang baru adalah menyebabkan pembagian kerja, akan tetapi spesialisasi dari berbagai fungsi tersebut mendorong manusia untuk saling memiliki ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, pertanda yang menonjol daripada kehidupan manusia adalah adanya saling ketergantungan dalam fungsi. Comte mengatakan bahwa ketergantungan sedemikian ini adalah sebagai hasil dari spesialisasi fungsi yang demikian erat sebagaimana halnya di dalam suatu organisme biologis.
4.      The doctrine of the  state
Comte mengatakan bahwa negara dengan masyarakat merupakan hal yang berbeda. Comte mengatakan bahwa negara adalah suatu bentuk khusus dari asosiasi atau organisasi sosial. Negara diciptakan atau di organisir untuk menjaga kesatuan di dalam kelompok suatu bangsa.
Fungsi negara pertama – tama adalah untuk menjaga kesatuan sosial melalui suatu kelompok politik.  Dan itulah maknanya bahwa pemerintahan merupakan kebutuhan sosial mereka. Negara dan pemerintahan adalah merupakan perkembangan alamiah dari masyarakat manusia. Tetapi fungsi terutama mereka adalah yang berhubungan dengan aspek – aspek material secara eksternal dari kehidupan sosial, dan pertama – tama di dalam hubungan untuk mengatur hak milik, industri dan semua hubungan – hubungan hidup yang bersifat eksternal sejauh hal tersebut menyangkut kesatuan kelompok atau masyarakat.
Demikianlah empat doktrin yang diajukan oleh Comte sebagai bagian dari sosial statis yang merupakan bagian yang elementer di dalam sosiologi. Sebagai pembangun pertama dari sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, dasar terpenting dari ajaran Comte tentang sosiologi adalah bersumber dari filsafat positifnyaa, terutama dari uraian tentang perkembangan pengetahuan manusia, sehubungan dengan perkembangan cara berfikirnya.
3.Herbert Spencer
Herbert spencer dilahirkan di Derby inggris pada 27 April 1820 dan meninggal pada tahun 1930. Pada mulanya dia adalah seorang insinyur sipil yang bekerja di perusahaan kereta api selama empat tahun. Selanjutnya dia tertarik pada bidang – bidang politik dan masalah – masalah sosial. Sejak itulah dia memutuskan untuk memperdalam pengetahuannya di bidang ilmu pengetahuan sosial khususnya soiologi.
Spencer adalah termasuk tokoh pendiri sosiologi setelah Comte. Dia juga memperkenalkan konsep - konsep evolusi sosial sebagai dasar ilmu sosiologi. Di dalam karya utamanya synthetic philosophy termuat seluruh teori evolusi universal yang dikembangkannya meliputi evolusi biologi, sosiologi, dan etika.
Spencer adalah tokoh yang juga menentang Comte, terutama tentang pendapat Comte mengenai jenjang – jenjang ilmu pengetahuan. Akan tetapi antara Comte dan Spencer memiliki kesamaan pendapat secara kebetulan bahwa semua fenomena sosial itu merupakan interelasi dari keseluruhan yang terjadi. Keduanya juga mengakui adanya kesatuan dan independensi ilmu, bedanya hanya kalau Comte mengeluarkan psikologi dan jenjang ilmu pengetahuan Spencer justru menempatkan psikologi sesudah biologi dan sebelum sosiologi. Kedua tokoh besar ini juga sama – sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan harus bersandar pada akal sedangkan hal – hal yang bersifat metafisis harus dikeluarkan dari ilmu pengetahuan. Keduanya juga sama – sama mengakui bahwa hukum alam dan uniformitas lah yang mengatur jagad raya.
Sosiologi Spencer
Sebagai salah seorang pendiri sosiologi, usaha Spencer untuk memajukan ilmu ini sebagai ilmu pengetahuan, menekankan pada perlunya pendekatan ilmiah bagi seluruh gejala yang ada serta meningkatkan pendekatan ini bagi pengkajian kehidupan ilmu sosial. Sebelum kita mengkaji kehidupan sosial, adalah perlu untuk memahami lebih dahulu hukum - hukum asal tentang kehidupan sosial tersebut serta perkembangan setiap fenomena dan hukum - hukum umum mengenai evolusi. Hukum tersebut merupakan proposisi dasar yang melibatkan seluruh benda di dunia ini, baik itu benda in-organic maupun organis.
Tiga kebenaran universal dari Spencer, yang berbunyi :
1.      Adanya materi yang tidak terusakkan
2.      Adanya kesinambungan gerak
3.      Adanya tenaga kekuatan yang terus menerus
Disamping itu ada proposisi yang berasal dari kebenaran universal, yaitu:
1.      Kesatuan hukum, kesinambungan hubungan antara kekuatan kekuatan yang tidak pernah muncuk dengan sia sia dan tanpa akhir.
2.      Bahwa kekuatan tersebut tidak pernah musnah namun akan di transformasikan ke dalam bentuk persamaan yang lain.
3.      Segala sesuatu yang bergerak sepanjang garis setidak – tidaknya akan dirintangi oleh suatu kekuatan yang lain.
4.      Adanya suatu irama daripada gerakan disebut dengan gerakan alternatif.
Menurut Spencer, harus ada suatu hukum yang dapat menguasai kombinasi antara faktor – faktor yang berbeda – beda di dalam proses evolusioner ini. Dan hukum itu ialah pernyataan bahwa hilangnya suatu gerakan biasanya diikuti oleh tujuan gerakan itu sendiri dan akan munculnya suatu disintegrasi dari keadaan tersebut, adanya evolusi selalu diikuti oleh disolusi.
Spencer mengajukan empat pokok penting tentang sistem evolusi umum, yaitu:
1.      Ketidaksatabilan yang homogen. Setiap homogenitas akan semakin berubah dan membesar dan akan kehilangan homogenitasnya karena kejadian setiap insiden tidak sama besar.
2.      Berkembanganya faktor yang berbeda – beda dalam rasio geometris. Berkembangnya bentuk – bentuk yang sebenarnya hanya merupakan batas dari suatu keseimbangan saja, yaitu suatu keadaan yang seimbang yang berhadapan dengan kekuatan – kekuatan yang lain.
3.      Kecenderungan terhadap adanya bagian – bagian yang berbeda – beda dan terpilah – pilah melalui bentuk - bentuk pengelompokkan atau segregasi.
4.      Adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam suatu keseimbangan akhir.
Spencer memandang sosiologis sebagai suatu studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Evolusi ini adalah merupakan evolusi super - organis yang termasuk semua proses dan produk tindakan yang dilakukan oleh individu – individu.
Di dalam karyanya, prinsip – prinsip sosiologi, spencer membagi pandangan sosiologisnya menjadi 3 bagia, yaitu:
1.      Faktor - faktor extrinsic asli: fisis dan iklim.
2.      Faktor - faktor intrinsik asli seperti: fisis, intelektual, rasa atau emosi manusia.
3.      Faktor – faktor asal muasal seperti modifikasi masyarakat, bahasa, pengetahuan, kebiasaan, hukum dan lembaga - lembaga.
Kekuatan Sosial dan Proses
      Spencer mempunyai keyakinan bahwa pada suatu saat masyarakat akan mencapai keadaan yang seimbang dalam hal kekuatan. Setiap orang berjuang untuk mencapai kehidupan dan mencari kebahagiaan. Kebahagiaan adalah tujuan bagi setiap kehidupan manusia, dan orang akan mencapai kebahagiannya melalui adaptasi dengan lingkungannya.
      Konflik dan perjuangan untuk hidup adalah merupakan proses yang paling utama. Masyarakat selalu berhubungan dengan kedua hal tersebut baik di masa lewat maupun di masa sekarang. Jadi, konflik pada masa lewat maupun masa sekarang yang dianggap penting akan mennjadi kurang penting pada masa yang akan datang.
      Proses diferensiasi dan spesialisasi dalam masyarakat selalu dibarengi oleh perjuangan untuk hidup. Konsepsi Spencer mengenai evolusi universal telah berubah dari evolusi homogeny dan tidak menentu menjadi evolusi yang heterogen dan menentu. Jadi, di dalam konsep perkembangan maupun pembangunan, masyarakat itu akan menjadi bertambah kompleks dan terspesialisir.
Struktur Sosial
      Spencer yakin terhadap adanya masyarakat sebagai suatu organisme, dengan menggunakan analogi biologi untuk menggambarkan organisasi masyarakat. Setiap masyarakat memiliki sistem peraturan (pemerintahan dan militer), suatu sistem distribusi (perdagangan dan komunikasi), dan suatu sistem penopang (ekonomi) yang sama saja dengan regulasi, sirkulasi dan nutrisi dalam suatu organisme biologi. Hal inilah yang akhrnya menjadi dasar aliran organisme bagi kaum sosiolog yang selanjutnya dijadikan konsepsi masyarakat. Oleh karenanya tidak ragu - ragu lagi bahwasannya ada persamaan antara organisme dan masyarakat.
      Spencer terutama tertarik sekali dalam menggambarkan dan memperbandingkan bermacam – macam lembaga sosial. Keluarga, pemerintahan, dan lembaga ekonomi merupakan aspek – aspek yang ia alami.
Perubahan Sosial
      Segala sesuatu itu berubah akan menjadi lebih kompleks lagi. Perubahan dalam suatu area kehidupan akan membawa perubahan yang cepat dan berbeda – beda pada lainnya. Satu sama lainnya saling berkaitan. Penyebab yang satu akan menjadi penyebab lainnya. Ini adalah hukum Spencer mengenai Multiplikasi Efek yang telah dicanang dalam Corollary II di dalam teori evolusi umumnya. Dia lebih lanjut mengklasifikasikan faktor – faktor di dalam perubahan sosial yaitu faktor primer dan faktor sekunder.
1.      Faktor primer adalah sifat individu masyarakat dan kondisi masyarakat yang ada. Yang dimaksud dengan individu disini adalah sifat fisik, emosi, dan intelektualnya orang – orang di dalam masyarakat yang menyebabkan perubahan.
2.      Faktor sekunder adalah yang berasal dari perubahan manusia. Kesemuannya terdiri dari lima faktor, yaitu:
1)      Modifikasi yang progresif mengenai lingkungan yang dijalankan oleh masyarakat.
2)      Ukuran masyarakat.
3)      Pengaruh timbal balik antara masyarakat dan individu.
4)      Akumulasi produk super-organik.
5)      Perjuangan antara masyarakat dengan masyarakat tetangganya.
      Semua faktor tersebut kemudian digabungkan dengan berbagai cara yang selanjutnya dibawa menuju proses evolusi sosial. Dengan cara memperbandingkan berbagai masyarakat, Spencer akhirnya menjumpai bahwa masyarakat itu telah berkembang menjadi lebih luas, berhubung – hubungan, banyak bentuknya dan tertentu.
      Spencer menggunakan istilah progress dan evolusi sebagai suatu istilah yang sinonim. Dia beranggapan bahwa evolusi itu sudah jamak, otomatis dan mempunyai kaitan dengan hal – hal yang bersifat progresif. Bahwa evolusi manusia telah mengambil tempat sudah tidak diragukan lagi daripada evolusi biologisnya. Namun yang masih tetap diragukan ialah penyebab evolusi itu sendiri.
      Sebagai seorang pendiri sosiologi, Spebcer juga ingin membuat suatu metodologi bagi ilmu pengetahuan masyarakat. Sampai  pada generalisasinya, maka dalam karyanya ia menggunakkan empat metode ilmiah, yaitu deduksi, induksi, komparatif dan variasi.
4.E.D. Roberty
ED, Roberty adalah seorang pionir sosiologi kelahiran Rusia. Roberty juga disebut sebagai neo-positivist sebagai seorang yang mengikuti jalan pikiran Comte dengan filsafat positifnya. Asumsi dasar dari ED. Roberty adalah pendapatnya tentang bahwa dunia dimana kita berada ini, tersusun ke dalam tiga bentuk energi yang paling fundamental, yaitu apa yang disebut dengan:
1.      Psychochemical atau inorganic, yaitu merupakan hasil atau manifestasi dari intermolecular interaction.
2.      Energy vital atau organic, yaitu merupakan manifestasi dari intercell-interaction.
3.      Super organic, yaitu merupakan intercerebal – interaction.
Berbeda dengan gejala – gejala psikis yang lain, gejala superorganis merupakan yang paling esensial. Gejala superorganis yanbg paling dasar ini adalah pikiran dan pengetahuan. Pikiraan dan pengetahuan merupakan gejala psikis manusia yang paling tinggi. Hal ini akan tercermin didalam teorinya yang paling dasar, yang disebutnya dengan biosocial hypothesis, yang pada dasarnya merupakan usaha untuk menerangkan mengapa pikiran dan pengetahuan merupakan gejala – gejala superorganis yang paling tinggi.
Ada dua faktor sebagai sumber timbul dan berkembangnya gejala superorganis didalam pemikiran biosocial hypothesis yang dikembangkannya yaitu:
1.      Sumber yang bersifat biologis, yaitu sumber yang menyatakan bahwa pada kenyataannya manusia memiliki suatu sistem syaraf yang telah lebih sempurna dibandingkan dengan semua makhluk yang ada, yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya gejala superorganis.
2.      Sumber yang bersifat social, yaitu disini Roberty menunjuk kepada faktor interaksi sosial itu sendiri. Tanpa interaksi sosial, faktor biologis tidak akan berbicara banyak.
Ada empat macam penjelasan yang menerangkan pentingnya faktor interaksi sosial sebagai faktor yang mengembangkan fikiran dan pengetahuan manusia.
1.      Berbeda dengan psikis biasa, fikiran dan pengetahuan adalah tidak dapat timbul tanpa adanya bahasa. Sementara itu bahasa tidak mungkin ada tanpa adanya interaksi. Oleh karena itu pikiran dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa adanya interaksi sosial.
2.      Berbeda dengan gejala psikis biasa, pikiran dan pengetahuan manusia mengungkapkan kenyataan – kenyataan yang ada, yang semuanya itu tidak mungkin timbul sebagai hasil dari pengalaman – pengalaman kolektif dari banyak generasi, yang memungkinkan pengalaman – pengalaman individu saling memberikan koreksi  saling memberikan bukti – bukti saling melengkapi dan mengembangkan pengalaman – pengalaman individual. Pengalaman – pengalaman individual tidak akan berbicara banyak atau tidak akan bebicara apa – apa, sampai pengalaman – pengalaman orang lain memperlengkapi dan mengembangkannya. Ini mengandung arti bahwa pikiran dan pengetahuan manusia atau gejala – gejala superorganis tidak dapat timbul tanpa adanya interaksi sosial.
3.      Tanpa interaksi sosial yang permanen, diantara banyak generasi, maka akumulasi fikiran dan pertumbuhan gejala – gejala super - organis, perkembangan perdaban manusia bahkan perkembangan mental tidak akan mungkin terjadi. Hal ini disebabkan karena tanpa interaksi sosial pengalaman – pengalaman individual tidak dapat ditransmisikan (dipindahkan) kepada orang lain atau generasi berikutnya.
4.      Salah satu diantara kondisi – kondisi penting daripada proses kejiwaan manusia yang sadar adalah stimuli, yaitu stimuli atau rangsangan yang bervariasi dan berubah – ubah (changing and different stimuli). Bilamana manusia hanya menghadapi rangsangan yang bersifat monoton, maka yang akan berkembang adalah kebekuan mental, dan di dalam kondisi sedemikian itu, proses – proses kejiwaan yang sadar pun akan menjelma menjadi proses yang tidak disadari dan bersifat otomatis.
Manusia tidaklah berbeda jauh dengan binatang yang tidak mampu mengembangkan pikiran dan pengetahuan. Bilamana pikiran dan pengetahuan berkembang, maka sebanya adalah bersumber berhubungan dengan kehidupan sosial dengan lingkungan sosial senantiasa menyajikan stimulasi baru yang tidak memungkinkan penyesuaian manusia membeku ke dalam bentuk instink. Sebaliknya kehidupan sosial cenderung untuk melemahkan instink tersebut karena sifat lingkungan sosial yang dinamis dan selalu merangsang manusia senantiasa berusaha mengembangkan pola – pola penyesuaian baru terhadap lingkungan kehidupan sosial yang berubah – ubah itu.
Kesimpulan ini cukup untuk melihat bahwa disamping faktor – faktor biologis, interaksi sosial merupakan suatu kondisi yang mutlak penting bagi timbul dan berkembangnya pikiran dan pengetahuan manusia atau berkembangnya proses – proses kejiwaan. Ini berarti pula bahwa gejala – gejala psikologis hanyalah merupakan hasil dan bukan sebab daripada interaksi sosial.
Comte adalah benar dalam hal menempatkan sosiologi diantara biologi dan psikologi. Sosiologi adalah merupakan ilmu pengetahuan yang fundamental tentang gejala – gejala super - organis yang mendasarkan diri kepada data – data biologis. Gejala – gajala sosial tidak dapat diterangkan melalui sebab – sebab psikologis, akan tetapi sebaliknya gejala – gejala psikologis harus diterangkan melalui gejala – gejala biologis dan gejala – gejala sosial.
Roberty menambahkan bahwa psikologis bukanlah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berusaha untuk melakukan suatu generalisasi atau ilmu yang bersifat abstrak sebagaimana halnya biologi dan sosiologi, melainkan suatu ilmu yang berusaha untuk melakukan suatu deskripsi dan yang ber-obyekkan hal – hal yang bersifat kongkret.
5.D. Droghicesco
D. Droghicesco merupakan pendukung pendapat Comte terutama di dalam kerangka berfikir untuk menyatakan bahwa gejala – gejala psikologis perlu ditafsirkan melalui gejala – gejala sosiologis. Didalam bukunya yang berjudul The Role of Individual (Du Role de le Individu) pada tahun 1880 Droghicesco mengemukakan pandangannya yang disarikan sebagai berikut:
1.      Bahwa salah satu diantara kondisi – kondisi yang mempengaruhi perkembangan inteligensia (kemampuan berfikir) manusia adalah adanya changing and different stimuli (rangsangan yang selalu berubah – ubah dan berbeda).  Rangsangan yang senantiasa berubah – ubah dan berbeda selalu mendorong manusia untuk melakukan penyesuaian – penyesuaian baru serta disadari sehingga rangsangan yang berubah dan bervariasi selalu mendorong perkembangan intelegensia dan melemahkan tanggapan – tanggapan yang otomatis untuk mengkonkretisir warisan – warisan biologis serta membuat orang menjadi bersifat plastic dan berkemampuan untuk mengembangkan pikiran. Itulah alasan pertama mengapa asal mula dan perkembangan intelegensia manusia berhubungan dengan social inter - stimulation. Manusia hidup di dalam masyarakat yang semakin bertambah kompleks dan karenanya manusia berkembang menjadi makhluk yang bersifat lebih superior dibandingkan dengan binatang – binatang lain.
2.      Kemampuan untuk melakukan diskriminasi atau analisa merupakan fungsi utama daripada intelegensia. Fungsi ini akan lebih berkembang di bawah pengaruh yang lebih kompleks. Dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan manusia, maka kemampuan manusia untuk melakukan analisa pun semakin bertambah dan berkembang pula. Sementara itu, lingkungan kehidupan manusia yang paling kompleks adalah lingkungan sosial itu sendiri. Kompleksitas kehidupan sosial yang telah semakin bertambah – tambah dan terjadinya proses diferensial sosial yang semakin intensif dan dengan demikian perkembangan daripada kemampuan berfikir manusia untuk melakukan diskriminasi atau analisa akan berkorelasi dengan adanya inter - stimulasi yang bersifat sosial dan berkorelasi dengan perkembangan daripada proses diferensial sosial. Yang pertama merupakan refleksi yang kedua.[9]
2.3 Sosiologi Pendidikan Sebagai Sosiologi Murni dan Sosiologi Terapan
1.      Sosiologi Murni Versus Sosiologi Terapan
Perdebatan para sosiolog tentang posisi sosiologi, yaitu apakah sosiologi merupakan ilmu murni atau ilmu terapan, telah lama terjadi. Ketika awal perkembangan sosiologi, Auguste Comte, sebagai bapak sosiologi, telah membawa sosiologi kea rah revormasi sosial, yaitu suatu usaha membangun kembali masyarakat sebagaimana yang diharapkan. Pemikiran comte ini tidak dilanjutkan oleh peletak dasar teori sosiologi lainnya seperti Emile Durkheim dan Max Weber. Kedua tokoh yang disebut belakangan ini mengembangkan bermacam pemikiran sosiologi yang mengarah pada pengembangan ilmu murni. Pemikiran seperti ini begitu berkembang dalam sosiologi, sehingga Robert Bierssedt dalam The Social Order . An Introduction to sociology, menulis bahwa sosiologi bersama ilmu hokum, geologi, sejarah, ilmu politik, ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam ilmu murni. Adapun politik, manajemen dan akuntansi dimasukkan ke dalam kelompok ilmu terapan.
Perdebatan para sosiolog tersebut secara gambling ditulis oleh Henslin (2007:11) sebagai berikut:
“Kontradiksi nyata antara dua tujuan ini, menganalisis masyarakat versus upaya mereformasinya, menciptakan suatu ketegangan dalam sosiologi yang sampai sekarang masih hadir di antara kita. Beberapa sosiolog percaya bahwa peran mereka yang pantas ialah untuk menganalisis segi masyarakat dan menerbitkan temuan mereka dalam jurnal sosiologi. Sosiolog lain bertanggung jawab untuk memanfaatkan keahlian mereka untuk berupaya menjadikan masyarakat sebagai suatu tempat yang lebih baik untuk hidup dan membawa keadilan bagi orang miskin.”
Perbedaan antara penganut sosiologi murni dan terapan ditandai oleh khalayak yang dijadikan sasaran dan produk yang dihasilkan. Menurut Henslin (2007:11) bahwa sosiologi murni di tujukan pada sesame sosiolog sebagai khalayak sasarannya, sedangkan terapan di arahkan pada klien yang terdiri dari berbagai macam jenisnya mulai dari perorangan sampai kelompok (perusahaan, komunitas, dan pemerintah).
Perbandingan antara sosiologi murni dan sosiologi terapan
Aspek
Sosiologi Murni
Sosiologi Terapan
Khalayak
Sesama Sosiolog
Klien
Produk
Pengetahuan
Perubahan

2.      Sosiologi Pendidikan : Sosiologi Murni Atau Sosiologi Terapan?
Berdasarkan pengalaman mengajar di berbagai perguruan tinggi, pada saat mengajar mahasiswa pasca sarjana yang berasal dari latar pendidikan mereka memiliki kecenderungan mengajukan pertanyaan atau analisis tentang sesuatu yang berhubungan dengan kegunaan sosiologi bagi pendidikan dan kependidikan.  Ketika mendiskusikan sosialisasi, misalnya, mereka menanyakan tidak hanya tentang bagaimana memahami sosialisasi terjadi di dalam masyarakat, tetapi juga bagaimana sosialisasi seharusnya dilakukan agar generasi yang diharapkan dapat terbentuk melalui rekayasa sosial.
Hal tersebut dapat dipahami karena seorang guru biasanya memiliki kecenderungan untuk membantu murid memecahkan masalah yang sedang dihadapi disatu sisi, serta ilmu pendidikan dan kependidikan yang dipelajari menuntutnya untuk memahami tidak hanya sesuatu yang bersifat apa adanya (das sein), tetapi juga sesuatu yang seharusnya ada (das sollen), disisi lain.  Dari sisi das sollen, seorang mahasiswa tergerak ide dan pemikirannya untuk menemukan jalan atau solusi sehingga apa yang menjadi das sollen ini tercapai.
Dari kenyataan tersebut di atas, bagaimana posisi sosiologi pendidikan dalam kaitannya dengan percabangan sosiologi antara ilmu murni dan terapan? Menurut buku Pengantar Sosiologi Pendidikan yang dikarang oleh Prof. Dr. Damsar mengatakan posisi kita ialah membuka peluang bagi semua pilihan yang ada, yaitu sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni dan atau terapan.  Dengan kata lain, sosiologi pendidikan dilihat sebagai ilmu murni karena dalam materinya memberikan kontribusi bagi kompetensi, keahlian, dan kemampuan dalam memahami fenomena pendidikan dan kependidikan berdasarkan teori sosiologi pendidikan.  Kemampuan teoretis ini membuat mahasiswa mampu melakukan penelitian tentang fenomena pendidikan dan kependidikan serta mengkritik fenomena dan kebijakannya.  Kemampuan seperti ini menunjukkan pada bidang kegiatan sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni.
Kemampuan teoretis yang dimiliki juga memberikan kemampuan bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan atau kempetensi dalam evaluasi keefektifan kebijakan dan program, menawarkan penyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara untuk memperbaiki kebijakan dan program yang berkaitan dengan pendidikan dan kependidikan.  Oleh sebab itu, sosiologi pendidikan juga dapat diarahkan sebagai ilmu terapan. Demikian pula, tidak tertutup kemungkinan, mahasiswa mampu menjadikan sosiologi pendidikan sebagai ilmu murni dan terapan sekaligus.[10]
















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
1.      Sosiologi Pendidikan adalah Ilmu yang mempelajari tentang permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologi.
2.      Tujuan Sosiologi Pendidikan adalah:
1)      Berusaha memahami peranan sosiologi daripada kegiatan sekolah terhadap masyarakat, terutama ketika sekolah itu dilihat dari segi intelektual.
2)      Untuk memahami seberapa jauh guru dapat membina kegiatan sosial anak didiknya untuk mengembangkan kepribadian anak.
3)      Untuk mengetahui pembinaan ideology Pancasila dan kebudayaan nasional Indonesia di lingkungan pendidikan dan pengajaran.
4)      Untuk mengadakan integrasi kurikulum pendidikan dengan masyarakat sekitarnya agar pendidikan mempeunyai kegunaan praktis di masyarakat dan Negara.
5)      Untuk menyelidiki factor-faktor kekuatan masyarakat yang bisa menunjang pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.
6)      Memberi sumbangan yang positif terhadap perkembangan ilmu pendidikan.
7)      Memberi pegangan terhadap penggunaan prinsip-prinsip sosiologi untuk mengadakan sosialisasi sikap dan kepribadian anak didik.
3.      Sosiologi Pendidikan dilihat sebagai:
Ø  Ilmu Murni karena dalam materinya memberikan kontribusi bagi kompetensi, keahlian, dan kemampuan dalam memahami fenomena pendidikan dan kependidikan berdasarkan teori sosiologi pendidikan.  Kemampuan teoretis ini membuat mahasiswa mampu melakukan penelitian tentang fenomena pendidikan dan kependidikan serta mengkritik fenomena dan kebijakannya. 
Ø  Ilmu Terapan karena kemampuan teoretis yang dimiliki juga memberikan kemampuan bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan atau kempetensi dalam evaluasi keefektifan kebijakan dan program, menawarkan penyelesaikan masalah, serta mengusulkan cara untuk memperbaiki kebijakan dan program yang berkaitan dengan pendidikan dan kependidikan. 





























DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta.
Ahmadi, Abu. 1982. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Gunawan, Ary. 2000. Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Padil, Moh. 2010. Sosiologi Pendidikan. Malang : UIN Press.
Siahaan, Hotman. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan dan Teori Sosiolog. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, hal 17-18
[2] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, hal 3
[3] Ibid, hal 6
[4] Abu AhmadiSosiologi pendidikan, cet IV Surabaya:PT Bina Ilmu,1982) hal 16
[5] Moh padil dan Triyo Suprayitno, sosiologi pendidikan, UIN press. Hal 8
[6] Ary H. Gunawan, sosiologi pendidikan, suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,2000) hal 50-53
[7] Op.cit, hal 14
[8] Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan, Jakarta, 2007. Hal 44
[9] Hotman M Siahaan, 1986, Pengantar Ke Arah Sejarah dan dan Teori Sosiologi, Jakarta: Erlangga, Hal: 96.
[10] Prof. Dr. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17-21

0 komentar:

Posting Komentar