Senin, 13 April 2015

MAKALAH ILMU USHUL FIQIH



Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu ushul Fiqih

BAB I

Setiap ilmu mengalami pertumbuhan dan perkembangan tidak terkecuali dengan ilmu Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.
Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.
Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah.
Dari cerita singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.        Bagaimana pertumbuhan ilmu ushul fiqh?
2.        Bagaimana perkembangan ilmu ushul fiqh?

Adapun tujuan penyusunan makalah ini, yaitu:
1.        Untuk mengetahui pertumbuhan ilmu ushul fiqh;
2.        Untuk mengetahui perkembangan ilmu ushul fiqh.



A.      Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh
Secara pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih, meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan Fiqh, meskipun ilmu Fiqh dibukukan lebih dahulu daripada Ushul Fiqh. Sehubungan dengan tumbuhnya Fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu tersebut. Metode itu tidak lain adalah Ushul Fiqh. Karena secara metodologis, Fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbath, dan metode istinbath itulah sebagai inri dari Ushul Fiqh.[1]
Ushul Fiqh sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal sekarang ini, pada masa Rasulullah SAW belum dikenal. Hal ini disebabkan Rasulullah SAW, dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil dari nash Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga.[2] Meskipun ada satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW.[3]
Pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab Rasulullah pada saat itu adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran agama dan para sahabat ketika itu juga dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Pada masa sahabat, Ilmu Ushul Fiqh belum juga dikenal.  Hanya saja dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum Para sahabat Nabi SAW memberikan fatwa-fatwa dan menetapkan hukum dengan berdasarkan pada dalil-dalil nash yang dapat mereka pahami berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami Bahasa Arab, tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nashnya secara langsung dengan berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami perkembangan pembinaan hukum Islam, lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan wurudnya hadist-hadist Nabi SAW serta mereka memahami betul terhadap tujuan syar’i dan dasar-dasar persyari’atan hukum.[4] Tegasnya, para sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, Bahasa Arab dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia dan tujuannya.
Pengetahuan ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi saw, disamping kecerdasan yang mereka miliki sendiri. Karena itu, mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idis al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mesistematis dan membukukan Ushul Fiqh. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun al-Rasyid (145 H-193), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun dan dilanjutkan pada masa putranya yang bernama al-Ma’mun khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun. Dalam pesatnya ilmu pengetahuan Ushul Fiqh muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Bahkan terdapat dua aliran dalam penulisan Ushul Fiqh yaitu aliran Jumhur (mayoritas) dan aliran Hanafiyah. Aliran jumhur merupakan aliran yang dianut oleh kalangan mayoritas kalanangan Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah. Contoh kitab Ushul Fiqh menurut aliran jumhum antara lain : pertama al-Risalah disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafii. Buku ini merupakan buku pertama Ushul Fiqh. Kedua al-Burhan fi Ushul Fiqh disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar al-Haramain. Pada aliran al-Hanafiayah terdapat kitab Ushul Fiqh seperti Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi, al-Anwar oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibn Ahmad Ibu Muhammad al-Nasafi.[5]
Dalam proses pembukuan Ushul Fiqh, menurut Rachmat Syafi’i secara garis besar terdapat dua teori penulisan.[6]
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyah untuk setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisis serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah jual beli secara umum atau kaidah-kaidah perburuahan. Kemudian, menetapkan batasannya dan menjelaskan cara mengaplikasikannya dalam kaidah-kaidah itu. Teori inilsh ysng ditempuh oleh golongsn Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk meng-istintbath hukum dari sumber syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh As-Syafii dalam kitabnya ar-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu Ushul yang indpenden. Menurut ijma ulama dan catatan serjarah, kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya.
Dalam mengomentari kedudukan Asy-Syafi’i sebagai penulis pertama kitab Ushul Fiqh, berdasarkan teori kedua di atas, Jalaluddin As-Syuyuti berkata, ”Disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqh. Dia adalah orang yang pertama-tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam Al-Muwatha hanya menunujukkan sebagian kaidahnya. Demikian pula ulama-ulama lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan.[7]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya ilmu Ushul Fiqh tumbuh pada abad kedua dimana perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan daerah Islam semakin luas. Tetapi benih-benih pertumbuhan Ilmu Ushul sudah sejak masa Rasullah yang mana  masalah utama yang menjadi bagian Ushul Fiqh seperti ijtihad dan qiyas sudah ada pada di masa itu.

B.       Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh
Secara teoritis, ilmu Ushul Fiqh lebih dahulu lahir dari Ilmu Fiqh, karena Ushul Fiqh sebagai alat untuk melahirkan Fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukkan Ushul Fiqh bersamaan lahirnya dengan Fiqh. Sedangkan dari segi penyusunannya, Ilmu Fiqh lebih dahulu lahir dari pada Ilmu Ushul Fiqh. Ushul Fiqh mulai berkembang pada masa Rasulullah, periode sahabat, periode tabi’in hingga periode imam madzab.
1.    Masa Rasulullah
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi).[8]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadits. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad.
2.    Periode Sahabat
Fiqh mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah wafatnya Rasulullah saw. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah saw, semua persoalan hukum yang timbuldiserahkan kepada beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati oleh para sahabat beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah saw. Hal ini karena Rasulullah saw adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.[9]
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, padsa hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah saw dan masa sahabat, antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya, dapat dilihat dari informasi tentang dialog antara Rasulullah saw dengan Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah saw mengutus Mu’az ke Yaman.
إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ الله
.(رواه ابوداود)
“Ketika Rasulullah saw bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “Saya akan putuskan berdasarkan kitab Allah” Beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah?” Ia menjawab: “Saya akan putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah saw” Beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah? Ia menjawab: “Saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.” Beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az: “ Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai Rasul itu.”
Demikian juga tentang penggunaan dalil saad az-zari’ah; misalnya, ketika mengemukakan pendapat dalam musyawarah yang diadakan Khalifah Umar bin al-Khaththab tentang hukuman bagi peminum khamr, Ali bin Abi Thalib berkata:
نَرَى أَنْ تَجْلِدَهُ ثَمَا نِيْنَ فَإِنهُ إذا شَرِبَ سَكِرَ وَ إذَا سَكِرَ هَذَى وَ إذَا هَذَى افْتَرَى
 “Menurut pendapat kami, Anda menjatuhkan hukuman kepadanya 80 kali cambuk. Sesungguhnya, jika ia minum (khamr), maka ia akan mabuk, dan jika ia mabuk, maka ia akan berbicara tidak karuan, dan jika ia mabuk, maka (kemungkinan) ia akan mengada-ada (menuduh orang berzina tanpa bukti).
Sementara itu, penggunaan mashahah mursalah dapat dilihat pada kasus pengumpulan al-Quran dalam bentuk mushaf, di mana tidak terdapat dalil yang eksplisit di dalam al-Quran maupun sunnah Rasulullah saw yang memerintahkan dan atau melarang tindakan pengumpulan dan pembukuannya, tetapi secara umum, tindakan tersebut sejalan dengan semangat memelihara tujuan syariah.
Para sahabat Rasulullah saw, selain karena kedekatan mereka kepada beliau, sehingga mereka menimba banyak pengalaman dari beliau dan memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah saw wafat, mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-perisriwa baru yang terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam al-Quran dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan memahami ayat-ayat al-Quran dan maksud sunnah untuk melakukan pengembangan hukumIslam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum ialah, menelusuri ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam al-Quran, maka mereka mencarinya dalam sunnah. Apabila dalam sunnah pun tidak ditemukan, barulah mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan adalah dengan cara musyawarah di antara mereka (ijtihad jama’i). Hasil kesepakatan ijtihad melalui musyawarah ini kemudian dikenal dengan istilah ijma’ ash-shahabi (kesepakatan sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga ijtihad memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara sendiri-sendiri (ijtihad fardi). Hasil ijtihad ini kemudian dikenal dengan istilah ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) atau fatwa ash-shahabi (fatwa sahabat) atau qaul ash-shahabi (pendapat sahabat).
3.    Periode Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam., di mana pemeluk Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum di kenal sama sekali pada masa Rasulullah saw dan sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh  hukum Islam yang bertindak sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Sa’id bin al-Musayyab (15-94 H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula al-Qamah bin al-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96 H), di samping para ahli hukum lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk al-Quran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip2 syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok ulama tabi’in ini,terutama timbul karena perbedaan pendapat; apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha atau Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.
4.    Periode Imam Madzab
Setelah berlalunya periode tabi’in, maka perkembangan ushul fiqh disusul oleh periode imam madzab. Mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikan, maka sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh periode imam madzab ini lebih jauh dapat dirinci menjadi tiga bagian, yaitu: masa sebelum dan ketika tampilnya Imam asy-Syafi’i, serta masa sesudah Imam asy-Syafi’i.
a.    Masa Sebelum Imam asy-Syafi’i
Masa sebelum Imam asy-Syafi’i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (w. 150 H), pendiri madzab Hanafi. Ia tinggal dan berkembang di Irak. Dibanding masa tabi’in, metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam berijtihad, ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada al-Quran, sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (ijma’ ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa sahabat yang berbeda dalam satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan istinbath hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama tabi’in sebagai rujukan. Karena rentang waktu yang sudah jauh antara Rasulullah dan ulama dari generasi tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukannya para tabi’in dalam hal berijtihad. Dalam hal ini, sangat terkenal ucapannya: هم رجال و نحن رجال (Mereka laki-laki (yang mampu berijtihad), kita juga laki-laki (yang mampu berijtihad)).
Mujtahid lainnya. Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri madzab Maliki. Ia tinggal dan berkembang di Madinah. Karena faktor sosiokultural yang mempengaruhinya, ia sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang pada masyarakat Madinah (‘amal ahl al-madinah). Hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan hadits-hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw yang dinilainya tidak valid, karena bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Ia juga mengkritik periwayatan hadits-hadits yang bertentangan dengan nash al-Quran atau prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Misalnya, ia menolak hadits-hadits yang menjelaskan tentang membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing, adanya khiyar al-majlis, dan hadits yang menjelaskan pemberian sedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia. Akan tetapi, dalam berijtihad, Imam Malik sangat banyak menggunakan hadits dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena Madinah yang menjadi domisili Imam Malik adalah juga yang menjadi domisili Rasulullah saw, sehingga tidak mengherankan jika di dalam masyarakat Madinah banyak beredar hadits. Imam Malik sendiri memiliki kitab hadits yang terkenal dengan nama al-Muwaththa’.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah mursalah. Belakangan metode mashlahah Imam Malik ini berkembang sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama Najmuddin ath-Thufi (657-716 H) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya, karena dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal.
b.   Masa Imam asy-Syafi’i
Masa kedua dari periode imam madzab adalah ketika tampilnya Imam Muhammad Idris asy-Syafi’i (150-204 H). Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana metode ushul fiqh belum tersusun dala suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya Imam asy-Syafi’i yang bernama ar-Risalah.
Sebagaimana layaknya proses lahir dan berkembangnya suatu disiplin ilmu, asy-Syafi’i mewarisi pengetahuannaya yang mendalam sebagai hasil proses panjang perkembangan ilmu dari para pendahulunya. Dengan kata lain, harus ditegaskan bahwa asy-Syafi’i bukanlah orang pertama yang merintis ilmu ushul fiqh, sebagaimana dipahami secara keliru oleh beberapa pihak. Akan tetapi, di tangannya untuk pertama kali ilmu ushul fiqh lahir sebagai ilmu yang madiri. Tentu saja harus ditegaskan, dari segi substansi ilmu, ar-Risalah telah mencakup semua dasar-dasar dan metode ijtihad. Akan tetapi, dari sistematika keilmuan, sebagai orang pertama yang mensistematisir dam membukukan ushul fiqh, kitab ar-Risalah juga belum sebaik sebagaimana sistematika disiplin ilmu yang lahir sesudahnya.
Kitab ar-Risalah sendiri, yang semula bernama al-Kitab, banyak berisi uraian tentang metode istinbath hukum, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’ fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas.
Baik juga ditegaskan, secara umum kitab ar-Risalah asy-Syafi’i sangat menekankan al-qiyas sebagai metode ijtihad. Bahkan dalam beberapa bagian dari buku tersebut ia menegaskan, al-qiyas merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).
Upaya pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Imam asy-Syafi’i banyak memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atas tesis dan antitesis dari berbagai keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Irak. Kepakarannya dalam ilmu ini, terutama karena ia adalah murid langsung adri Imam Malik, ulama Madinah, dan dari Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia juga menyerap ilmu fiqh dari para ulama di Mekkah, di mana ia lahir dan dibesarkan.
c.    Masa Sesudah Imam asy-Syafi’i
Setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi’i, perkembangan ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-241 H), pendiri madzab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri (200-270 H), pendiri madzab azh-Zhahiri. Kitab terakhir ini merupakan antitesis terhadap pemikiran Imam asy-Syafi’i yang sangat mengunggulkan qiyas dalam berijtihad.[10]
Ilmu Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H), al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul (al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima 1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang melatar belakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks sumber agama, al-Quran dan Hadits.[11]
Perlu dicatat bahwa ulama-ulama setelah setelah Syafi’i mepelajari ushul fiqh dengan tiga cara berikut ini:
1)   Hanya dengan menjelaskan metode-metode Syafi’i.
2)   Mengeluarkan kaidah-kaidah atau teori-teori lain dari yang telah dirumuskan Syafi’i.
3)   Mengambil sebagian besar dari pokok-pokok yang dikemukakan Syafi’i, tetapi menyalahinya dalam perincian dan menambahkannya dengan dasar lain.
Cara seperti di atas ternyata membuat teori-teori yang dirumuskan Imam Syafi’i semakin berkembang sesuai dengan perkembangan problem-problem fiqhiyah dari masa ke masa.[12]
Agaknya, abad ketiga Hijriyyah merupakan puncak dan masa keemasan fiqh Islam, karena pada masa itu suasana perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat menggairahkan, sehingga bermunculan para ulama dalam bidang ilmu ini. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, suasana yang sangat menggembirakan ini tidak berlangsung lama, karena dicemari oleh pemikiran orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam bidang fiqh. Mereka melahirkan fatwa-fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat. Hal itu bukan saja materi fatwa mereka yang saling bertolak belakang dengan fatwa-fatwa para ulama yang kenamaan, tetapi juga karena fatwa mereka pada umumnya tidak dibangun di atas landasan dalil dan metodologi yang memenuhi standar. Akibatnya, pada pertengahan abad keempat, mulai terdengar issue penutupan pintu ijtihad. Keadaan ini diperparah dengan hilangnya rasa percaya diri para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan berijtihad yang tampil pada masa itu, sehingga mereka tidak berani berijtihad sendiri secara bebas. Mereka berkeyakinan, setelah imam madzab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) tidak ada lagi ulama yang memiliki kapasitas keilmuan sebagai mujtahid yang mutlak. Di samping itu, mereka juga berpendapat semua persoalan fiqh sudah dibahas ulama sebelumnya, sehingga tidak diperlukan ijtihad baru. [13]
Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah.
Sedangkan pada masa sahabat. dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan.

Islam merupakan agama yang lengkap dengan segala perbuatannya, baik yang berhubungan dengan sesama manusia maupun yang berhubungan dengan Sang pencipta-Nya yaitu Allah SWT. Sejalan dengan itu, hukum Islam disyariatkan untuk mengatur segala perbuatan dan tingkah laku manusia di muka bumi dalam rangka mencari ridha Allah SWT, sehingga semua urusan manusia diatur dengan ketentuan hukum yang jelas dan pasti.
Dari uraian di atas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1.        Ilmu Ushul Fiqh tumbuh pada abad kedua dimana perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan daerah Islam semakin luas. Tetapi benih-benih pertumbuhan Ilmu Ushul sudah sejak masa Rasullah yang mana  masalah utama yang menjadi bagian Ushul Fiqh seperti ijtihad dan qiyas sudah ada pada di masa itu.
2.        Pada dasanya ushul fiqh telah ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Sedangkan pada masa sahabat. dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan.

DAFTAR RUJUKAN

Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Hasbiyallah. 2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT. Remaja Rodakarya.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Zuhri, Moh. dkk. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
http://ahmadbudiyono.blogspot.com, (Diakses pada 13 Maret 2014)
http://andasayabisa.blogspot.com, (Diakses pada 08 Maret 2014).

 


[1] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2013), hlm 5
[2] Muhammad Bayu, 03 Juni 2012, Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqih, http://andasayabisa.blogspot.com, (Diakses pada 08 Maret 2014)
[3] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm.20
[4] Moh. Zuhri, dkk. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 9
[5] Hasbiyallah, Op. Cit., hlm. 8
[6] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 119
[7] Ibid., hlm. 119-120
[8] Thalabul Ilmi in Jombang, 25 November 2012, Sejarah Ushul Fiqh pada masa Rosulullah sampai kepada tabi'in, http://ahmadbudiyono.blogspot.com, (Diakses pada 13 Maret 2014)
[9] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 20
[10] Ibid., hlm. 27
[11] Thalabul Ilmi in Jombang, 25 November 2012, Sejarah Ushul Fiqh pada masa Rosulullah sampai kepada tabi'in, http://ahmadbudiyono.blogspot.com, (Diakses pada 13 Maret 2014)
[12] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 33-34
[13] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm. 27-28

0 komentar:

Posting Komentar