Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu ushul Fiqih
BAB I
Setiap ilmu mengalami pertumbuhan dan
perkembangan tidak terkecuali dengan ilmu Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh adalah
kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara'
tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dan usaha untuk
memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.
Ushul fiqh merupakan komponen utama
dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah
yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam
penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.
Pada dasanya ushul fiqh telah ada
bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika
diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila
dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam
al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan
terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata
jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah.
Dari cerita singkat tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa Rasulullah pada masanya telah mempersiapkan para
sahabat agar mempunyai alternatif cara pengambilan hukum apabila mereka tidak
menemukannya dalam al-Qur’an maupun as-Sunah. Namun pada masa ini belum sampai
kepada perumusan dan prakteknya, karena apabila para sahabat tidak menemukan
hukum dalam al-Qur’an mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan
sekali adanya pemahaman tentang hukum-hukum dalam Islam yang sesuai dengan hal
sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Supaya tidak terjadi simpang siur
tentang sejarah penetapan hukum Islam. Dengan demikian diharapkan tidak
terjadinya kesulitan didalam pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan
hukum Islam.
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana pertumbuhan ilmu ushul fiqh?
2.
Bagaimana perkembangan ilmu ushul fiqh?
Adapun tujuan penyusunan makalah ini,
yaitu:
1.
Untuk
mengetahui pertumbuhan
ilmu ushul fiqh;
2.
Untuk
mengetahui perkembangan
ilmu ushul fiqh.
A.
Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh
Secara
pasti, tumbuhnya ilmu Ushul Fiqih bersamaan dengan tumbuhnya ilmu fiqih,
meskipun pembukuannya lebih dahulu ilmu fiqih. Sebab tumbuhnya ilmu fiqih tidak
terlepas dari kaidah / metode yang digunakan dalam penggalian hukum fiqih itu
sendiri. Metode penggalian hukum ini tidak lain adalah ilmu Ushul Fiqih.
Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan Fiqh, meskipun ilmu
Fiqh dibukukan lebih dahulu daripada Ushul Fiqh. Sehubungan
dengan tumbuhnya Fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuk menggali ilmu
tersebut. Metode itu tidak lain adalah Ushul Fiqh. Karena secara metodologis,
Fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbath, dan metode istinbath itulah
sebagai inri dari Ushul Fiqh.[1]
Ushul
Fiqh sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal sekarang ini,
pada masa Rasulullah SAW belum dikenal. Hal ini disebabkan Rasulullah SAW,
dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil dari
nash Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan
melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga.[2] Meskipun
ada satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang disiasati para sahabat
dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau
tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW.[3]
Pada
masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum
diperlukan, sebab Rasulullah pada saat itu adalah satu-satunya pemegang
otoritas kebenaran agama dan para sahabat ketika itu juga dapat memahami secara
langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Pada
masa sahabat, Ilmu Ushul Fiqh belum juga dikenal. Hanya saja dalam melakukan ijtihad untuk
melahirkan hukum Para sahabat Nabi SAW memberikan fatwa-fatwa dan menetapkan
hukum dengan berdasarkan pada dalil-dalil nash yang dapat mereka pahami
berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami Bahasa Arab, tanpa memerlukan
kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga
menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nashnya
secara langsung dengan berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami
perkembangan pembinaan hukum Islam, lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah
SAW. Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan
wurudnya hadist-hadist Nabi SAW serta mereka memahami betul terhadap tujuan
syar’i dan dasar-dasar persyari’atan hukum.[4] Tegasnya,
para sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang Al-Qur’an, As-Sunnah,
Bahasa Arab dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia dan
tujuannya.
Pengetahuan
ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi saw, disamping kecerdasan
yang mereka miliki sendiri. Karena itu, mereka tidak memerlukan
peraturan-peraturan dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula mereka
tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.
Pada
penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idis al-Syafi’i
(150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mesistematis dan membukukan Ushul
Fiqh. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun al-Rasyid
(145 H-193), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun
dan dilanjutkan pada masa putranya yang bernama al-Ma’mun khalifah ketujuh yang
memerintah selama 20 tahun. Dalam pesatnya ilmu pengetahuan Ushul Fiqh muncul
menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Bahkan terdapat dua aliran dalam
penulisan Ushul Fiqh yaitu aliran Jumhur (mayoritas) dan aliran Hanafiyah.
Aliran jumhur merupakan aliran yang dianut oleh kalangan mayoritas kalanangan
Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah. Contoh kitab Ushul Fiqh menurut aliran
jumhum antara lain : pertama al-Risalah disusun oleh Muhammad bin Idris
al-Syafii. Buku ini merupakan buku pertama Ushul Fiqh. Kedua al-Burhan fi Ushul
Fiqh disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang
bergelar al-Haramain. Pada aliran al-Hanafiayah terdapat kitab Ushul Fiqh
seperti Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi, al-Anwar oleh Abu
al-Barakat Abdullah Ibn Ahmad Ibu Muhammad al-Nasafi.[5]
Dalam
proses pembukuan Ushul Fiqh, menurut Rachmat Syafi’i
secara garis besar terdapat dua teori penulisan.[6]
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyah untuk setiap bab dalam bab-bab fiqih dan
menganalisis serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut.
Misalnya, kaidah jual beli secara umum atau kaidah-kaidah perburuahan.
Kemudian, menetapkan batasannya dan menjelaskan cara mengaplikasikannya dalam
kaidah-kaidah itu. Teori inilsh ysng ditempuh oleh golongsn Hanafi dan
merekalah yang merintisnya.
Kedua,
merumuskan kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk meng-istintbath
hukum dari sumber syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu
pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang
ditempuh As-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, suatu kitab yang
tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu Ushul yang indpenden. Menurut ijma
ulama dan catatan serjarah, kitab semacam ini belum pernah ada sebelumnya.
Dalam
mengomentari kedudukan Asy-Syafi’i sebagai penulis pertama kitab Ushul Fiqh,
berdasarkan teori kedua di atas, Jalaluddin As-Syuyuti berkata, ”Disepakati
bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqh. Dia adalah
orang yang pertama-tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri.
Adapun Malik dalam Al-Muwatha hanya menunujukkan sebagian kaidahnya. Demikian
pula ulama-ulama lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan.[7]
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya ilmu Ushul Fiqh tumbuh pada abad
kedua dimana perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan daerah Islam semakin
luas. Tetapi benih-benih pertumbuhan Ilmu Ushul sudah sejak masa Rasullah yang
mana masalah utama yang menjadi bagian
Ushul Fiqh seperti ijtihad dan qiyas sudah ada pada di masa itu.
B.
Perkembangan Ilmu Ushul Fiqh
Secara teoritis, ilmu Ushul Fiqh lebih dahulu lahir dari Ilmu Fiqh,
karena Ushul Fiqh sebagai alat untuk melahirkan Fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah
menunjukkan Ushul Fiqh bersamaan lahirnya dengan Fiqh. Sedangkan dari segi
penyusunannya, Ilmu Fiqh lebih dahulu lahir dari pada Ilmu Ushul Fiqh. Ushul Fiqh mulai berkembang pada masa Rasulullah, periode sahabat,
periode tabi’in hingga periode imam madzab.
1.
Masa Rasulullah
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup,
seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa
ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian
juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam
menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal
sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum
berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
ٍأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ
أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ
رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya
Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz
bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya
putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau
temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah
Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi
bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan
Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi).[8]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Ushul Fiqih secara
teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih
masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih
adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadits.
Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad.
2.
Periode Sahabat
Fiqh mulai
dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah saw. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah saw, semua persoalan hukum
yang timbuldiserahkan kepada beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum
yang timbul terkadang disiasati oleh para sahabat beliau dengan ijtihad, tetapi
hasil akhir dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka
itu, dikembalikan kepada Rasulullah saw. Hal ini karena Rasulullah saw adalah
satu-satunya pemegang otoritas kebenaran agama, melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau.[9]
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, padsa
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad.
Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling
awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita
kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah saw
dan masa sahabat, antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan
sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh, misalnya, dapat dilihat
dari informasi tentang dialog antara Rasulullah saw dengan Mu’az bin Jabal,
ketika Rasulullah saw mengutus Mu’az ke Yaman.
إِنَّ رَسُوْلُ
اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ
إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ
فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي
سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ.
فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ
رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ الله
.(رواه ابوداود)
“Ketika
Rasulullah saw bermaksud mengutus Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana
kamu memutuskan bila suatu kasus diajukan kepadamu? Ia menjawab: “Saya akan
putuskan berdasarkan kitab Allah” Beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak
menemukannya dalam kitab Allah?” Ia menjawab: “Saya akan putuskan berdasarkan
sunnah Rasulullah saw” Beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya
dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah? Ia menjawab: “Saya akan berijtihad,
namun saya tidak akan ceroboh.” Beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az: “
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik utusan Rasulullah kepada
apa yang diridhai Rasul itu.”
Demikian juga tentang penggunaan dalil saad az-zari’ah; misalnya,
ketika mengemukakan pendapat dalam musyawarah yang diadakan Khalifah Umar bin
al-Khaththab tentang hukuman bagi peminum khamr, Ali bin Abi Thalib
berkata:
نَرَى أَنْ تَجْلِدَهُ ثَمَا نِيْنَ فَإِنهُ إذا شَرِبَ سَكِرَ
وَ إذَا سَكِرَ هَذَى وَ إذَا هَذَى افْتَرَى
“Menurut pendapat kami, Anda menjatuhkan hukuman
kepadanya 80 kali cambuk. Sesungguhnya, jika ia minum (khamr), maka ia akan
mabuk, dan jika ia mabuk, maka ia akan berbicara tidak karuan, dan jika ia
mabuk, maka (kemungkinan) ia akan mengada-ada (menuduh orang berzina tanpa
bukti).
Sementara itu, penggunaan mashahah mursalah dapat dilihat pada kasus
pengumpulan al-Quran dalam bentuk mushaf, di mana tidak terdapat dalil yang
eksplisit di dalam al-Quran maupun sunnah Rasulullah saw yang memerintahkan dan
atau melarang tindakan pengumpulan dan pembukuannya, tetapi secara umum,
tindakan tersebut sejalan dengan semangat memelihara tujuan syariah.
Para sahabat Rasulullah saw, selain karena kedekatan mereka kepada beliau,
sehingga mereka menimba banyak pengalaman dari beliau dan memahami secara
mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri
memiliki pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan
kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah saw wafat, mereka telah dapat
melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas
peristiwa-perisriwa baru yang terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya secara
eksplisit dalam al-Quran dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami
kesulitan memahami ayat-ayat al-Quran dan maksud sunnah untuk melakukan
pengembangan hukumIslam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh para sahabat apabila menghadapi
persoalan hukum ialah, menelusuri ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang
masalah tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam al-Quran, maka mereka
mencarinya dalam sunnah. Apabila dalam sunnah pun tidak ditemukan, barulah
mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan adalah dengan cara
musyawarah di antara mereka (ijtihad jama’i). Hasil kesepakatan ijtihad
melalui musyawarah ini kemudian dikenal dengan istilah ijma’ ash-shahabi
(kesepakatan sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga
ijtihad memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara
sendiri-sendiri (ijtihad fardi). Hasil ijtihad ini kemudian dikenal
dengan istilah ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) atau fatwa
ash-shahabi (fatwa sahabat) atau qaul ash-shahabi (pendapat
sahabat).
3.
Periode Tabi’in
Sejalan dengan
berlalunya masa sahabat, timbullah masa tabi’in. Pada masa ini, sejalan
dengan perluasan wilayah-wilayah Islam., di mana pemeluk Islam semakin
heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu
pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak bermunculan kasus-kasus hukum
baru, yang sebagiannya belum di kenal sama sekali pada masa Rasulullah saw dan
sahabat. Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh hukum Islam yang bertindak sebagai pemberi
fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan
pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka.
Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Sa’id bin al-Musayyab
(15-94 H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula al-Qamah bin
al-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96 H), di samping para ahli hukum
lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk
al-Quran dan sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,
yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas dan
mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan memilih
metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian ulama tabi’in
ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara berusaha menemukan ‘illah
yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah,
dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang
terdapat dalam prinsip2 syara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok ulama tabi’in
ini,terutama timbul karena perbedaan pendapat; apakah fatwa ash-shahabi
dapat menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah
merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah
(dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua
aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin
atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha
atau Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.
4.
Periode Imam Madzab
Setelah berlalunya periode tabi’in,
maka perkembangan ushul fiqh disusul oleh periode imam madzab. Mengingat ada
perbedaan sejarah yang signifikan, maka sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh
periode imam madzab ini lebih jauh dapat dirinci menjadi tiga bagian, yaitu:
masa sebelum dan ketika tampilnya Imam asy-Syafi’i, serta masa sesudah Imam
asy-Syafi’i.
a. Masa Sebelum Imam asy-Syafi’i
Masa sebelum Imam asy-Syafi’i ditandai dengan
munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (w. 150 H), pendiri madzab Hanafi. Ia
tinggal dan berkembang di Irak. Dibanding masa tabi’in, metode ijtihad
Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam berijtihad, ia sangat
dikenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara
berurutan, merujuk pada al-Quran, sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (ijma’
ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa sahabat yang berbeda dalam
satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan istinbath hukum
sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan tersebut.
Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama tabi’in
sebagai rujukan. Karena rentang waktu yang sudah jauh antara Rasulullah dan
ulama dari generasi tabi’in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan
kedudukannya para tabi’in dalam hal berijtihad. Dalam hal ini, sangat
terkenal ucapannya: هم رجال و نحن رجال (Mereka laki-laki (yang mampu
berijtihad), kita juga laki-laki (yang mampu berijtihad)).
Mujtahid lainnya. Imam Malik bin Anas (w. 179
H), pendiri madzab Maliki. Ia tinggal dan berkembang di Madinah. Karena faktor
sosiokultural yang mempengaruhinya, ia sangat ketat berpegang pada tradisi yang
berkembang pada masyarakat Madinah (‘amal ahl al-madinah). Hal ini
tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan hadits-hadits yang dinisbahkan
kepada Rasulullah saw yang dinilainya tidak valid, karena bertentangan
dengan tradisi masyarakat Madinah. Ia juga mengkritik periwayatan hadits-hadits
yang bertentangan dengan nash al-Quran atau prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
Misalnya, ia menolak hadits-hadits yang menjelaskan tentang membasuh tujuh kali
bekas jilatan anjing, adanya khiyar al-majlis, dan hadits yang
menjelaskan pemberian sedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia. Akan
tetapi, dalam berijtihad, Imam Malik sangat banyak menggunakan hadits
dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena Madinah yang menjadi domisili
Imam Malik adalah juga yang menjadi domisili Rasulullah saw, sehingga tidak
mengherankan jika di dalam masyarakat Madinah banyak beredar hadits. Imam Malik
sendiri memiliki kitab hadits yang terkenal dengan nama al-Muwaththa’.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas
dan istihsan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak
menggunakan mashlahah mursalah. Belakangan metode mashlahah Imam
Malik ini berkembang sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama
Najmuddin ath-Thufi (657-716 H) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya,
karena dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat
liberal.
b. Masa Imam asy-Syafi’i
Masa kedua dari periode imam madzab adalah
ketika tampilnya Imam Muhammad Idris asy-Syafi’i (150-204 H). Berbeda dengan
masa sebelumnya, di mana metode ushul fiqh belum tersusun dala suatu disiplin
ilmu yang berdiri sendiri dan belum dibukukan, maka masa ini ditandai dengan
lahirnya karya Imam asy-Syafi’i yang bernama ar-Risalah.
Sebagaimana layaknya proses lahir dan
berkembangnya suatu disiplin ilmu, asy-Syafi’i mewarisi pengetahuannaya yang
mendalam sebagai hasil proses panjang perkembangan ilmu dari para pendahulunya.
Dengan kata lain, harus ditegaskan bahwa asy-Syafi’i bukanlah orang pertama
yang merintis ilmu ushul fiqh, sebagaimana dipahami secara keliru oleh beberapa
pihak. Akan tetapi, di tangannya untuk pertama kali ilmu ushul fiqh lahir
sebagai ilmu yang madiri. Tentu saja harus ditegaskan, dari segi substansi
ilmu, ar-Risalah telah mencakup semua dasar-dasar dan metode ijtihad.
Akan tetapi, dari sistematika keilmuan, sebagai orang pertama yang
mensistematisir dam membukukan ushul fiqh, kitab ar-Risalah juga belum
sebaik sebagaimana sistematika disiplin ilmu yang lahir sesudahnya.
Kitab ar-Risalah sendiri, yang semula
bernama al-Kitab, banyak berisi uraian tentang metode istinbath
hukum, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’ fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas.
Baik juga ditegaskan, secara umum kitab ar-Risalah
asy-Syafi’i sangat menekankan al-qiyas sebagai metode ijtihad. Bahkan
dalam beberapa bagian dari buku tersebut ia menegaskan, al-qiyas
merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad
huwa al-qiyas (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).
Upaya pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh
sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Imam
asy-Syafi’i banyak memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atas tesis dan
antitesis dari berbagai keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan
ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Irak.
Kepakarannya dalam ilmu ini, terutama karena ia adalah murid langsung adri Imam
Malik, ulama Madinah, dan dari Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, salah
seorang murid Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia juga menyerap ilmu fiqh dari
para ulama di Mekkah, di mana ia lahir dan dibesarkan.
c. Masa Sesudah Imam asy-Syafi’i
Setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi’i, perkembangan
ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini
(masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara
lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-241 H),
pendiri madzab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri
(200-270 H), pendiri madzab azh-Zhahiri. Kitab terakhir ini merupakan antitesis
terhadap pemikiran Imam asy-Syafi’i yang sangat mengunggulkan qiyas dalam
berijtihad.[10]
Ilmu
Ushul Fiqih semakin berkembang pesat dan meluas dengan berbagai corak dan
ragam. Berbagai buku Ushul Fiqih diterbitkan, semisal kitab al-Burhan fi Ushul
al-Fiqh (Imam Haramain, 419 – 478 H), al-Mustashfa (al-Ghozali, 505 H),
al-Mahsul fi Ilm al-Ushul (Fahruddin al-Razi, 544–606 H), Irsyadul fuhul
(al-Syawkani, 1255 H), Ilmu Ushul al-Fiqih (Abdul Wahab Khalaf, cet. kelima
1983 M), Ushul Fiqih (Abu Zahrah), Ushul Fiqih (wahbah Zuhaili) dll.
Namun demikian, aliran Ushul Fiqih dapat diklasifikasikan
kedalam dua corak, pertama, Ushul Fiqih Ahli Sunnah wal Jama’ah dan Ushul Fiqih
Syi’ah. Ushul Fiqih Ahli Sunnah bercorak Hanafiah dan Jumhur Ulama. Hal yang
melatar belakangi beragam corak ilmu ini antara lain adalah perbedaan
kecenderungan dalam merumuskan kaidah-kaidah dari hasil pemahaman terhadap teks
sumber agama, al-Quran dan Hadits.[11]
Perlu dicatat bahwa ulama-ulama setelah
setelah Syafi’i mepelajari ushul fiqh dengan tiga cara berikut ini:
1) Hanya dengan menjelaskan metode-metode Syafi’i.
2) Mengeluarkan kaidah-kaidah atau teori-teori lain dari yang telah dirumuskan
Syafi’i.
3) Mengambil sebagian besar dari pokok-pokok yang dikemukakan Syafi’i, tetapi
menyalahinya dalam perincian dan menambahkannya dengan dasar lain.
Cara seperti di atas ternyata membuat
teori-teori yang dirumuskan Imam Syafi’i semakin berkembang sesuai dengan
perkembangan problem-problem fiqhiyah dari masa ke masa.[12]
Agaknya, abad ketiga Hijriyyah merupakan
puncak dan masa keemasan fiqh Islam, karena pada masa itu suasana perdebatan
terbuka dalam ilmu fiqh sangat menggairahkan, sehingga bermunculan para ulama
dalam bidang ilmu ini. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, suasana yang
sangat menggembirakan ini tidak berlangsung lama, karena dicemari oleh
pemikiran orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam bidang
fiqh. Mereka melahirkan fatwa-fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan
masyarakat. Hal itu bukan saja materi fatwa mereka yang saling bertolak
belakang dengan fatwa-fatwa para ulama yang kenamaan, tetapi juga karena fatwa
mereka pada umumnya tidak dibangun di atas landasan dalil dan metodologi yang
memenuhi standar. Akibatnya, pada pertengahan abad keempat, mulai terdengar issue
penutupan pintu ijtihad. Keadaan ini diperparah dengan hilangnya rasa percaya
diri para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan berijtihad yang tampil pada
masa itu, sehingga mereka tidak berani berijtihad sendiri secara bebas. Mereka
berkeyakinan, setelah imam madzab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas,
asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) tidak ada lagi ulama yang memiliki kapasitas
keilmuan sebagai mujtahid yang mutlak. Di samping itu, mereka juga berpendapat
semua persoalan fiqh sudah dibahas ulama sebelumnya, sehingga tidak diperlukan
ijtihad baru. [13]
Pada dasanya ushul fiqh telah
ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika
diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila
dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam
al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan
terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata
jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah.
Sedangkan pada masa sahabat. dimulai pada tahun 11 H
sampai pertengahan abad 1 H (50 H). Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para
pembesar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud.
Pada masa ini pintu ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan.
Islam
merupakan agama yang lengkap dengan segala perbuatannya, baik yang berhubungan
dengan sesama manusia maupun yang berhubungan dengan Sang pencipta-Nya yaitu
Allah SWT. Sejalan dengan itu, hukum Islam disyariatkan untuk mengatur segala
perbuatan dan tingkah laku manusia di muka bumi dalam rangka mencari ridha
Allah SWT, sehingga semua urusan manusia diatur dengan ketentuan hukum yang
jelas dan pasti.
Dari
uraian di atas mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh dapat
diambil kesimpulan, yaitu:
1.
Ilmu Ushul Fiqh
tumbuh pada abad kedua dimana perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan
daerah Islam semakin luas. Tetapi benih-benih pertumbuhan Ilmu Ushul sudah
sejak masa Rasullah yang mana masalah
utama yang menjadi bagian Ushul Fiqh seperti ijtihad dan qiyas sudah ada pada
di masa itu.
2.
Pada dasanya ushul fiqh telah
ada bahkan ketika Rasulullah masih hidup, hal ini didasari dengan hadits yang
meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bertanya kepada Muadz bin Jabal ketika
diutus untuk menjadi gubernur di Yaman tentang apa yang akan dilakukan apabila
dia harus menetapkan hukum sedangkan dia tidak menemukan hukumnya dalam
al-Qur’an maupun as-Sunah, kemudian Muadz bin Jabal menjawab dalam pertanyaan
terakhir ini bahwa dia akan menetapkan hukum melalui ijtihadnya, dan ternyata
jawaban Muadz tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah. Sedangkan pada
masa sahabat. dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 1 H (50 H).
Pembinaan hukum Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, seperti Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu
ijtihad/istimbat telah mulai dikembangkan.
DAFTAR RUJUKAN
Dahlan,
Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Hasbiyallah.
2013. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung:
PT. Remaja Rodakarya.
Koto,
Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Saebani,
Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Zuhri,
Moh. dkk. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
http://ahmadbudiyono.blogspot.com,
(Diakses pada 13 Maret 2014)
http://andasayabisa.blogspot.com,
(Diakses pada 08 Maret 2014).
[1] Hasbiyallah,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2013), hlm 5
[2] Muhammad
Bayu, 03 Juni 2012, Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqih, http://andasayabisa.blogspot.com,
(Diakses pada 08 Maret 2014)
[3] Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm.20
[4] Moh.
Zuhri, dkk. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 9
[8] Thalabul Ilmi in Jombang, 25 November 2012,
Sejarah Ushul Fiqh pada masa Rosulullah sampai kepada tabi'in, http://ahmadbudiyono.blogspot.com, (Diakses pada 13
Maret 2014)
[9] Abd.
Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm.
20
[11]
Thalabul Ilmi in Jombang, 25 November 2012, Sejarah Ushul Fiqh pada masa
Rosulullah sampai kepada tabi'in, http://ahmadbudiyono.blogspot.com, (Diakses
pada 13 Maret 2014)
[12] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 33-34
[13] Abd.
Rahman Dahlan, Op. Cit., hlm.
27-28
0 komentar:
Posting Komentar