Senin, 13 April 2015

STUDI AGAMA-AGAMA


Agama Buddha

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang
Agama Budha lahir di Negara India, di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Yakni sekitar abad ke-6 SM sejak lahirnya Budha Sidharta Gautama. Agama Budha berkembang dan pencetusnya adalah Sidharta Gautama yang dikenal sebagai Gautama Budha oleh pengikut-pengikutnya. Meskipun demikian dalam agama Budha ditekankan bahwa Budha Gautama bukan tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Budha berbeda dengan kosep agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surge ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Menurut Buddha, Tuhan tidak berkondisi (asamkhata), maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebsan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dalam agama Budha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyk sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidka perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai keadaan ini, tidak ada siapapun termasuk dewa-dewi yang dapat membantu. Budha hanya merupakan contoh, pemandu dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran sebenarnya.
1.2     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah berdirinya agama Budha ?
2.    Bagaimana kitab agama Budha ?
3.    Bagaimana ajaran agama Budha ?

1.3     Tujuan Penulisan
1.    Menjelaskan sejarah berdirinya agama Budha.
2.    Menjelaskan kitab dan ajaran agama Budha.
3.    Menjelaskan seperti apa ajaran agama Budha itu.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Sejarah Berdirinya Agama Budha
Budha memiliki sejarah yang panjang dan tersebar di sejumlah wilayah di India dan kemudian bergerak keluar dan berkembang luas di Sri Langka sampai ke selatan, Asia Tengah sampai ke utara, dan kearah timur sampai ke Cina, Korea, dan Jepang, serta Asia Tenggara.[1]
Dalam perjalanan sejarah agama-agama di India perkembangan agama Budha dimulai sekitar tahun 500 sebelum Masehi hingga tahun 300 Masehi. Agama tersebut secara tidak langsung mempunyai kaitan yang erat dengan agama yang mendahuluinya maupun agama yang datang sesudahnya, seperti agama Hindu.[2]
Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari khususnya tentang tata susila yang harus dijalankan manusia agar terbebas dari lingkaran sukkah yang senantiasa mengiringi hidupnya.
Pada jangka waktu yang lama, masalah ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya. Sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah agama Budha dapat dipandang sebagai agama atau hanya sebagai salah satu aliran filsafat saja..
Kemudian dalam sejarah agama Budha disebutkan bahwa jauh sebelum masa prasejarah pernah hidup seoranng makhluk yang bernama Sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta kali reinkarnasi. Ia berada dalam tubuh seseorang manusia yang memunyai derajat ke-Budha-an yang bernama Shidarta.
Shidarta dilahirkan kurang lebih 563 SM, tepatnya di daerah Kapilawastu di kaki sebuah pegunungan Himalaya. Ayahnya bernama Sudhodana, seorang raja yang kaya raya, sedangkan ibunya bernama Maya.[3]
Sejak kecil sidharta telah menunjukkan kecerdasan pikirannya dan jauh melebihi kawan-kawannya. Bahkan konon ia telah lancar menulis sebelum ia diajari oleh seorang guru. Disamping itu, ia juga memiliki sifat-sifat terpuji. Riwayat Sidharta secara lengkap diungkapkan dalam sebuah kisah bernama Lalitavistara dan Jatakamala Aryasura serta digambarkan dengan visual dinding candi Borobudur.
Menginjak usia 29 tahun, timbullah keinsyafan batinnya bahwa hidup keduniaan dalam suasana kemewahan di istana tidaklah dapat memberi ketenangan batinnya. Timbullah keinsyafan demikian itu karena di waktu ia bercengkrama telah melihat beberapa peristiwa yang sanngat mengesankan. Ia melihat seorang tua yang lemah tubuhnya, sehingga hidupnya penuh penderitaan. Ia berfikir sesungguhnya bagaimanapun juga orang hidup itu akhirnya pasti akan mengalami ketuaan dan penuh dengan penderitaan.
Dari beberapa peristiwa yang di jumpai tersebut ia berkesimpulan bahwa hidup ini penuh dengan penderitaan. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Selama ia dalam pengembaraan dan pertapaan, tepatnya di bawah pohon Bodhi di Bodha Gaya tersingkaplah baginya “pengetahuan tentang kebenaran yang sejati”. Sejak itu ia memakai gelar Budha. Artinya, orang yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa kata Budha merupakan gelar seseorang, pembawa dan pendiri agama Budha, yakni Sidharta Gautama atau disebut juga Cakyamuni yang berarti orang tanpa dari suku keturunan Cakyas.   


2.2       Kitab Agama Budha
Kitab-kitab yang menjadi sumber pengetahuan kita tentang agama budha banyak sekali. Tetapi sudah ada banyak yang hilang. Yang tinggal hanya petilan atau fragment saja. Kitab-kitab itu ditulis di dalam behasa pali, cina dan sanskerta. Kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa pali dipergunakan oleh aliran theravada dari golongan hinayana, yang terdapat di langka, birma dan muangthai, sedangkan yang di tulis di dalam bahasa sanskerta kebanyakan dipergunakan oleh aliran mahayana yang terdapat di nepal, tibet, cina dan jepang.
   Harus di ingat, bahwa selama kira-kira empat abad agama buddha hidup dari tradisi yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama buddha pada abad yang pertama ini. Oleh karena itu maka kitab-kitab yang tergolong tua memberikan kesan sebagai kumpulan-kumpulan dari tradisi yang diteruskan secara lisan tadi, umpamanya: kumpulan khotbah-kotbah, kata-kata mutuara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan dan sebagainya. Kumpulan-kumpulan itu kemudian di atur dalam kelompok-kelompok. Tiap kelompok disebut pitaka (keranjang). Demikianlah timbul tiga kitab pitaka, yang disebut tripitaka atau tipitaka. Yaitu: sutra pitaka, yang berisi dharma atau ajaran budha kepada muridnya. Winaya pitaka, yang berisi peranturan-peranturan untuk mengatur tata tertib sangha, serta hidup sehari-hari para bhiksu. Abhidharma pitaka, yang berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakekat dan tujuan hidup manusia, atau pengetahuan yang membawa kelepasan.
   Selain dari pengelompokan tersebut di atas, kitab-kitab agama buddha bisa juga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kitab-kitab sutra dan sastra. Yang termasuk golongan kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab yang dipandang sebagai yang diucapkan oleh buddha sendiri, sekalipun kitab-kitab itu ditulis berabad-abad sesudah wafatnya buddha. Menurut aliran hinayana, yang dianggap sebagai kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab yang dahulu dikumpulkan pada muktamar buddhis yang pertama, yaitu pada 483 SM segala kitab yang timbul setelah itu tidak dianggap sebagai asli. Sebaliknya aliran mahayana berpendapat, bahwa kitab-kitab sutra yang timbul kemudian dari pada itu juga dipandang sebagai asli dan sebagai diucapankan oleh buddha sendiri, umpamanya kitab prajnaparamita, yang membicarakan tentang hikamah yang sempurna. Diceritakan, bahwa isi kitab ini diucapkan oleh buddha itu sendiri, tetapi oleh karena isi kitab ini masih terlalu sukar bagi orang pada zamannya, maka kitab ini disimpan ditempat para naga di dunia bawah. Baru berabad-abad kemudian kitab ini diambil oleh nagarjuna dari dunia bawah itu dan diumumkan kepada dunia.
Yang termasuk sastra ialah uraian-uraian yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang ternama. Uraian-uraian ini biasanya disusun secara sistematis. Di antara para penulis itu ialah nagarjuna dan wasubandhu. (harun, agama:67)[4]
Kitab suci umat buddha yang pertama
Kitab suci umat buddha yang paling awal adalah doktrin (sutta) dan aturan mengenai disiplin bicara (vinaya). Kedua dokumen ini tercatat sebagai catatan asli dari sang buddha (buddha vacana). Berikutnya ditambahkan lagi spekulasi metafisis dalam kumpulan ketiga (abhidharma).
Norma pali: tiga keranjang/tripika
Kumpulan teks utama yang dikenal sebagai tripika ini masih belum dicatat hingga lama sesudah meninggalnya sang buddha. Tiga keranjang mengacu pada fatwa bahwa ketika ditulis dalam bahasa pali, teks itu dikumpulkan dalam bentuk ikatan dan disimpan di tiga keranjang. Ketiga keranjang itu masing-masing berisi: khotbah sang buddha dan  kunci lain dalam ajaran buddha awal (sutta), perilaku yang harus diikuti oleh anggota buddha (vinaya), dan metafisika serta analisis selanjutnya (abhidharma). Semua teks diikat menurut isinya dan secara keseluruhannya disebut sebagai norma pali. Di antara semua teks itu, yang dianggap paling penting pada saat ini adalah sutta pitaka yang berisi khotbah, akan tetapi, pada zaman yang menyusul tak lama setelah meninggalnya sang buddha, vinaya, aturan-aturan yang dibuat sang buddha menyangkut sangha dianggap sebagai teks yang paling penting.
Suatu teks yang disebut sebagai budhhavamsa melukiskan silsilah sang buddha sejak buddha yang pertama diantar 24 buddha sebelumnya, hingga ke buddha yang ditunggu berikutnyaajaran dari masing-masing buddha sama saja, sebab dharma atau kebenaran itu abadi. Masing-masing buddha dituturkan muncul di dunia keetika ajaran dari pendahuluannya tak lagi efektif. Umat manusia secara periodik kehilangan wawasannya mengenai dharma, mungkin karena jumlah pengikutnya menjadi makin merosot karena suatu sebab sehingga akhirnya ajaran tidak tersebar lagi disebar. Lalu muncul lagi calon buddha yang berikutnya.
Cerita jataka
Kisah-kisah tentang kehidupan sang buddha yang sebelumnya ditulis dalam cerita jataka. Kumpulan kisah yang luar biasa ini menyangkut perbuatannya di kehidupan yang lalu, ketika ia dilahirkan dalam berbagai bentuk. Sang buddha dikatakan memiliki pengalaman hidup dalam berbagai jenis hewan maupun dalam beraneka ragam manusia, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Banyak diantara kisah itu yang menjadi bahan bagi penafsiran artistik di lukisan dinding, patung, dan ukiran. Cerita jetaka masih sangat terkenal di kalangan tua maupun muda.
Dharmapada
Dharmapada yang berarti syair-syair hukum adalah satu teks buddha yang paling indah dan berharga. Inilah esensi ajaran sang buddha yang disusun pada abad ketiga sebelum masehi. Dharmapada berbentuk kumpulan syair mengenai doktrin buddha yang sangat mudah dipahami dan penuh inspirasi. Dharmapada memiliki 423 syair atau kata-kata mutiara yang disusun dengan judul seperti ”baik dan jahat”, “pikiran”, “idaman”. Syair-syair ini mengajarkan moral buddha dan jalan menuju nirvana dengan susunan yang menarik. Dharmapada tercangkup dalam norma pali di dalam kumpulan mengenai khotbah-khotbah sang buddha. Teks ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan masih secara luas dipelajari dan dinikmati oleh umat buddha maupun yang bukan umat buddha.

2.3     Ajaran Agama Budha
Ajaran agama buddha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut tiga batu permata (triratna), yaitu: buddha, dharma dan sangha.
1.      Ajaran tentang buddha
Diajarkan, bahwa bagi kepercayaan buddhis, hidup sang buddha sebagai perorangan, sebagai siddharta atau gautama atau sakyamumi. Tidaklah penting. Buddha adaah gelar, suatu jabatan yang sudah pernah dijabat oleh orang-orang lain. Menurut keyajkinan buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada tahap zaman yang tak terbilang. Dan tiap-tiap zaman ini memiliki buddhanya sendiri-sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan buddhis ada banyak buddha, yaitu orang yang sudah mendapatkan pencerahan buddhi. Menurut jema’at selatan, sebelum buddha gautama sudah ada 24 buddha yang mendahuluinya. Tetapi menurut jema’at utara ada lebih banyak lagi. Walaupun dalam soal bilangannya buddha yang sudah pernah ada, keduanya berbeda pendapat, tetapi mengenai tujuh orang buddha yang terakhir, keduanya ada kesamaan pendapat.
Ketujuh buddha yang terahir, yang sudah pernah menjelma sebagai manusia adalah, wipasyin, sikhin, dan wiswabhu, yang menjelma sebagai manusia pada zaman emas, kakukhanda dan kanakamuni, yang menjelma sebagai manusia pada zaman perak, kasyapa, yang menjelma pada zaman tembaga dan sakyamani atau gautama yang menjelma sebagai manusia pada zaman besi.
Sekalipun siddharta dilahirkan pada 563 SM, tetapi menurut keyakinan orang buddhis, pada tahun itu gautama bukan untuk pertama kali datang ke dunia. Sebelum dilahirkan sebagai siddha gautama ia sudah hidup berjuta-juta abad, dengan nama sumedha, sama dengan nasib tiap-tiap orang, ia mengalami kelahiran kembali yang banyak sekali, pernah ia dilahirkan kembali sebagai binatang, sebagai manusia dan sebagai dewa. Kesempurnaan, seperti yang sudah dicapai oleh gautama ini tidak mungkin dicapai dalam satu kelahiran saja. Pada kelahiran yang sudah lalu itu sumedha berhasil untuk makin mendapatkan hikmah atau ilmu yang makin tinggi, sehingga ia menjadi bodhisattva, yaitu orang yang hakekatnya adalah budhi.
Selanjutnya tentang tokoh buddha itu diajarkan, bahwa sebenarnya tokoh buddha itu adalah asas rohani, suatu ke-budha-an atau suatu tabiat kebudhahan. Tabiat kebuddhaan ini sebenarnay tersembunyi di dalam tiap-tiap orang yang emnjadi buddha, juga di dalam diri siddharta. Dan tabiat kebuddhaan inilah yang mengilhami siddharta untuk mengerti akan kebenaran dan kemudian mengajarkannya, jika buddha dipandang sebagai asas rohani, maka ia disebut tathagata.
Di dalam diri siddharta, buddha itu memiliki tubuh yang lain lagi, yang disebut tubuh kegirangan, atau tubuh yang tak dapat berubah. Secara lahiriyah siddharta tampak sebagai manusia biasa, tetapi di dalam tubuhnya yang tampak itu tersembunyi pribadi yang sebenarnya. Di dalam tubuh jasmani yang tampak itu tersembunyi tubuh yang lain, yang tak dapat dihayati oleh manusia biasa, kecuali oleh mereka yang beriman. Tubuh kegirangan ini dipandang sebagi tubuh yang tingginy 18 kaki, berwarna keemasaan. Diantara kedua keningnya di bagian atas terdapat suatu ikalah yang lembut seperti kapas, yang disebu urns, selanjutnya diatas kepala. Akhirnya di sekitar kepala itu ada lingkaran sinar yang menandai kesucian dan sifat ilahinya.
Tubuh yang mulia ini tak menderita, sekalipun berada di dalam tubuh jasmani yang terbatas itu. Tubuh ini dapat bergerak di dalam ruang yang tidak lebih besar dari pada sebiji sawi, tetapi juga dapat bergerak di ruang yang jauh lebih besar. Demikianlah keadaan tubuh kegirangan, yang ada pada tiap-tiap buddha sebagai manusia.[5]
2.      Ajaran tentang dharma
Yang disebut dharma ialah ajaran pokok. Ajaran pokok agama buddha dirumuskan di dalam apa yang disebut: empat kebenaran yang mulia yaitu: ajaran yang diajarkan oleh buggha gautama di benares, sesudahnya ia mendapat pencerahan.
a.       Aryasatyani
Aryasatyani itu terdiri dari empat kata: yaitu, dukha, samudaya, nirodha dan marga.
·         Yang disebut dukha ialah penderitaan. Hidup ini adalah penderitaan. Misalnya: kelahiran adalah penderitaan. Umur tua adalah penderutaan. Dll
·         Yang dimaksud dngan samudaya adalah sebab maksudnya penderitaan itu ada sebabnya. Keinginan kepada hidup itu menyebabkan orang dilahirkan kembali, dengan disertai nafsu dan keinginan.
·         Yang dimasud dengan nirodha ialah pemadaman yaitu pemadaman penderitaan itu terjadi, bila kita mampu menghapuskan seluruh nafsu dan keinginan kita secara sempurna.
·         Yang dimaksud marga ialah jalan kelepasan yaitu jalan menuju kepada pemadaman penderitaan itu.
b.      Pratica samutpada
Pokok permulaan yang bergantung. Pokok permulaan sesuatu bergantung kepada pokok permulaan yang mendahuluinya, dan seterusnya. Seluruhnya ada 12 pokok permulaan yaitu :
1)      Ketidaktahuan (awidya).
2)      Penafsiran yang salah bergantung kepada……
3)      Kesadaran bergantung kepada penafsiran yang salah.
4)      Lahir/batin bergantung kepada kesadaran.
5)      Indra dan sasarannya bergantung kepada lahir/batin.
6)      Sentuhan/kontak bergantung kepada indra dan sasarannya.
7)      Emosi bergantung kepada sentuhan/kontak.
8)      Nafsu/keinginan bergantung kepada emosi.
9)      Makanan, minuman dan sebagainya ini bergantung kepada neafsu/keinginan.
10)  Hidup dimasa lampau bergantung kepada makanan, minuman, dan sebagainya.
11)  Kelahiran bergantung dari hidup masa lampau.
12)  Menjadi tua dan mati (yaramaranam) bergantung dari kelahiran.
Yang terang dari uraian itu ialah, bahwa kehausan atau keinginan, yang eyebabkan adanya penderitaan itu, pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan (awidya), yaitu semacam ketidaktahuan yang kosmis, yang menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini pertama-tama mengenai tabiat asasi dari alam semesta ini, yang memiliki tiga ciri yang mencolok, yaitu : bahwa alam semesta ini penuh dengan penderitaan (dukha), bahwa alam semesta ini adalah fana (anica) dan bahwa taka da jiwa di dalam dunia ini (anatman)
c.       Ajaran tentang anica
Kata anica berarti:tidak kekal. Doktrin ini mengajarkan, bahwa di dalam dunia ini tak ada sesuatu yang kekal. Semuanya dalah fana. Tak ada sesuatu yang tetap ada, segala sesuatu itu sedang menjadi. Hidup ini adalah suatu rentetan dari hal-hal yang terjadi untuk sesaat dan yang segera tidak ada lagi. Hal ini digambarkan sebagai nyala api. Nyala api tampak seolah-olah tetap ada. Mata kita melihat api yang tetap menyala. Tetapi hal ini tidaklah benar. Sebab sebenarnya setiap kali ada nyala yang baru, yang kemudian hilang, disusul oleh nyala yang baru lagi, yang kemudian hilang lagi. Begitulah individualitas, sebenarnya tidak ada.
d.      Ajaran tentang anatman
Kata anatman bararti: tak ada jiwa. Ajaran ini tak bisa dipishakan dari ajaran tentang anica, yang mengajarkan bahwa tag ada sesuatu yang kekal yang tidak berubah. Karenya, tak ada jiwa yang kekal. Manusia sebenarnya tidak berjiwa. Manusia adalah suatu kelompok keadaan jasmani dan rohani. Di dalamnya taka da suatu pribadi yang tetap.
e.       Ajaran tentang karma
Ajaran buddha juga mengajarkan, bahwa karma menyebabkan kelahiran kembali.  Tetapi yang dilahirkan kembali itu bukan jiwa, bukan “aku” manusia, sebab taka da “aku” yang tetap. Yang dilahirkan kembali adalah watak atau sifat-sifat manusia, atau “kepribadian”nya, tetapi tanpa pribadi atau aku.
f.       Jalan kelepasan
Didalam bagia keempat dari arjasatyani itu diajarkan tentang jalan kelepasan. Agar orang dapat lepas dari penderitaan itu orang harus melalui suatu jalan yang terdiri dari delapan tingkatan, yaitu: percaya yang benar, maksud yang benar, perkataan yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar.
Delpan macam jalan yang diajarkan di dalam arjasatyani ini sering disingkatkan menjadi empat singkatan. Masing-masing tingkatan ditandai dengan pemutusan ikatan-ikatan yang mengikat orang kepada dunia ini. Keempat tingkatan itu ialah :
1)      Srotpana atau pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah ditempatkan pada arus yang benar.
2)      Sakrdagamin, yaitu tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah itu ia akan mencapai kelepasan yang sempurna.
3)      Anagamin, yaitu tingkatan orang yang sudah tidak akan dilahirkan kembali, dan yang sudah mendapat kelpasan di dalam hidup sekarang ini.
4)      Arhat, yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari dilahirkan kembali, baik di dalam dunia berbentuk maupun di dalam dunia yang tidak berbentuk. Dalam tingkatan ini orang mencapai nirwana.
g.      Ajaran tentang nirwana
Kelepasan di dalam agama Budha diugkapkan dengan bermacam-macam ungkapan. Ungkapan yang paling terkenal ialah nirana. Secara harfiah kata nirwana berarti: pemadaman atau pendinginan, yang dipadamkan ialah keinginan, api dari nafsu, kebencian dan sebagainya.
Orang di dalam nirwana itu mengalami suatu keadaan yang penuh damai. Suatu keadaan yang jauh lebih baik dari pada segala keadaan di dunia ini.
Nirwana itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu: upadhisesa dan anupadhisesa. Upadhisesa ialah status orang yang sudah mendapat kelepasan atau nirwana, tetapi yang hidup lahiriahnya masih terus berjalan. Dan anupadhisesa ialah status orang yang mendapat kelepasan, yang hidup lahiriah sudah tidak ada lagi jadi yang dicapai sesudah mati.[6]
Orang yang masuk ke dalam nirwana bukannya jiwanya campur atau dilarutkan ke dalam jiwa yang maha agung, tetapi ia mendapat ketenangan sebagai lautan tanpa ombak.
3.      Ajaran tentang sangha
Pengikut agama buddha dibagi menjadi 2 bagian, yaitu para bhiksu atau para rahib dan para upasaka atau para kaum awam
Inti masyarakat buddhis sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup kerahiban itulah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan orang untuk mencapai tujuan hidup yang tinggi. Seluruh persekutuan para rahib disebut sangha atau jema’at.
Kehidupan kerahiban diatur di dalam kitab winaya pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui, bahwa para rahib itu ditandai oleh tiga hal, yaitu: kemiskinan, hidup membujang dan ahimsa (tanpa kekerasan).
Kesusilaan rahib dicanntumkan di dalam dasasila, atau sebenarnya sepuluh larangan, yaitu larangan untuk : membunuh, mencuri, hidup mesum, berdusta, minum-minuman keras, makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat keramaian duniawi, bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak, dan menerima hadiah.
Siapa saja bisa menjadi rahib, baik lelaki maupun perempuan, asal ia tidak dikuasai oleh orang lain, umpanya seorang tentara, orang yang memiliki hutang, budak, orang yang belum dewasa dan sebagainya. Juga orang yang memiliki penyakit yang menular, dan yang bercacat besar tidak diperkenankan.
Golongan kedua dari pengikut buddha ialah para upasaka atau para awam. Mereka itu adalah orang baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui buddha sebagai pemimpin agamanya, menerima ajarannya, tetapi yang tetap hidup di dalam masyatrat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para upasaka itu tak dapat mencapai nirwana di dlam hidupnya. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah penting sekali. Mereka sudah berada pada permulaan jalan yang mampu kelepasan. Sebab mereka sudah percaya kepada buddha dan ajarannya. Sekalipun belum sempurna, hal itu sudah berarti juga melepaskan diri dari dunia serta memalingkan pandangannya dari dunia yang tampak ini kepada yang tak tampak, sekalipun belum juga mencapainya. Bagaimanapun juga mereka akan mendapat pahalanya, sekalipun belum yang tertinggi. Pahala itu dapat diperolehnya dengan bersedekah, baik kepada sesamanya, maupun kepada para rahib, dengan memberikan kepada para rahib itu segala yang diperlukannya.
Tugas para upasaka itu selanjutnya diuraikan umpamanya sebagai berikut: para orang tua harus mengendalikan anak-anaknya dari perbuatan yang jahat, melatih mereka pada perbuatan yang baik, mengajarkannya pengetahuan dan kesenian, mencarikan jodo yang baik baginya, dan sebagainya. Para anak harus membatu orang tuanya, merawat miliknya, melayakkan diri untuk menjadi warisanya dan sebagainya. Para murid harus menghormati gurunya, para guru harus memberi pelajaran kepada muridnya dan sebagainya.[7]
Sekalipun semuanya itu belum dapat membawa orang kepada nirwana, tetapi dapat membuat mereka dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik dari pada yang sekarang mereka alami. Demikianlah keadaan para pengikut Budha.





BAB III
KESIMPULAN
Sebagai agama, ajaran Budha tidak bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta seluruh isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari khususnya tentang tata susila yang harus dijalankan manusia agar terbebas dari lingkaran sukkah yang senantiasa mengiringi hidupnya.
Pada jangka waktu yang lama, masalah ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya. Sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah agama Budha dapat dipandang sebagai agama atau hanya sebagai salah satu aliran filsafat saja..
Kemudian dalam sejarah agama Budha disebutkan bahwa jauh sebelum masa prasejarah pernah hidup seoranng makhluk yang bernama Sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta kali reinkarnasi. Ia berada dalam tubuh seseorang manusia yang memunyai derajat ke-Budha-an yang bernama Shidarta.
Kitab-kitab yang menjadi sumber pengetahuan kita tentang agama budha banyak sekali. Tetapi sudah ada banyak yang hilang. Yang tinggal hanya petilan atau fragment saja. Kitab-kitab itu ditulis di dalam behasa pali, cina dan sanskerta. Kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa pali dipergunakan oleh aliran theravada dari golongan hinayana, yang terdapat di langka, birma dan muangthai, sedangkan yang di tulis di dalam bahasa sanskerta kebanyakan dipergunakan oleh aliran mahayana yang terdapat di nepal, tibet, cina dan jepang.
Kitab-kitab agama buddha bisa juga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kitab-kitab sutra dan sastra. Yang termasuk golongan kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab yang dipandang sebagai yang diucapkan oleh buddha sendiri, sekalipun kitab-kitab itu ditulis berabad-abad sesudah wafatnya buddha.
Yang termasuk sastra ialah uraian-uraian yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang ternama. Uraian-uraian ini biasanya disusun secara sistematis. Di antara para penulis itu ialah nagarjuna dan wasubandhu.
Ajaran agama buddha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut tiga batu permata (triratna), yaitu: buddha, dharma dan sangha.














DAFTAR PUSTAKA

Sufa’at Mansur, Agama-Agama besar Masa Kini, 2011, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Galian Stokes, Seri Siapa Dia Budha ?2001, Jakarta : Erlangga.
Faridi, Agama Jalan Kedamaian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Wilfreda Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama, Jakarta : PT Mizan Publika.



[1] Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama, PT Mizan Publika: Jakarta, hal. 243
[2] Faridi, Agama Jalan Kedamaian, Ghalia Indonesia: Jakarrta, hal 97
[3] Ibid, hal. 98
[4] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm 75-77
[5] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm77-80
[6] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm 80-87
[7] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm 87-90

0 komentar:

Posting Komentar