Agama Buddha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Agama Budha lahir di Negara India, di wilayah Nepal
sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Yakni sekitar abad
ke-6 SM sejak lahirnya Budha Sidharta Gautama. Agama Budha berkembang dan
pencetusnya adalah Sidharta Gautama yang dikenal sebagai Gautama Budha
oleh pengikut-pengikutnya. Meskipun demikian dalam agama Budha ditekankan bahwa
Budha Gautama bukan tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Budha berbeda dengan kosep
agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari
hidup manusia adalah kembali ke surge ciptaan Tuhan yang kekal.
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang
dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Menurut Buddha, Tuhan tidak berkondisi (asamkhata), maka manusia yang
berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebsan dari lingkaran kehidupan
(samsara) dengan cara bermeditasi.
Dalam agama Budha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai
kebuddhaan (anuttara samyk sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia
tidka perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai keadaan
ini, tidak ada siapapun termasuk dewa-dewi yang dapat membantu. Budha hanya
merupakan contoh, pemandu dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka
sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran sebenarnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya agama Budha ?
2.
Bagaimana kitab agama Budha ?
3.
Bagaimana ajaran agama Budha ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan sejarah berdirinya agama Budha.
2.
Menjelaskan kitab dan ajaran agama Budha.
3.
Menjelaskan seperti apa ajaran agama Budha itu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Berdirinya Agama Budha
Budha
memiliki sejarah yang panjang dan tersebar di sejumlah wilayah di India dan
kemudian bergerak keluar dan berkembang luas di Sri Langka sampai ke selatan,
Asia Tengah sampai ke utara, dan kearah timur sampai ke Cina, Korea, dan
Jepang, serta Asia Tenggara.[1]
Dalam perjalanan sejarah agama-agama di
India perkembangan agama Budha dimulai sekitar tahun 500 sebelum Masehi hingga
tahun 300 Masehi. Agama tersebut secara tidak langsung mempunyai kaitan yang
erat dengan agama yang mendahuluinya maupun agama yang datang sesudahnya,
seperti agama Hindu.[2]
Sebagai agama, ajaran Budha tidak
bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta seluruh
isinya, termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam
kehidupannya sehari-hari khususnya tentang tata susila yang harus dijalankan
manusia agar terbebas dari lingkaran sukkah yang senantiasa mengiringi
hidupnya.
Pada jangka waktu yang lama, masalah
ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya. Sehingga
menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah agama Budha dapat dipandang sebagai
agama atau hanya sebagai salah satu aliran filsafat saja..
Kemudian dalam
sejarah agama Budha disebutkan bahwa jauh sebelum masa prasejarah pernah hidup
seoranng makhluk yang bernama Sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta kali
reinkarnasi. Ia berada dalam tubuh seseorang manusia yang memunyai derajat
ke-Budha-an yang bernama Shidarta.
Shidarta dilahirkan kurang lebih 563 SM,
tepatnya di daerah Kapilawastu di kaki sebuah pegunungan Himalaya. Ayahnya
bernama Sudhodana, seorang raja yang kaya raya, sedangkan ibunya bernama Maya.[3]
Sejak kecil sidharta telah menunjukkan
kecerdasan pikirannya dan jauh melebihi kawan-kawannya. Bahkan konon ia telah
lancar menulis sebelum ia diajari oleh seorang guru. Disamping itu, ia juga
memiliki sifat-sifat terpuji. Riwayat Sidharta secara lengkap diungkapkan dalam
sebuah kisah bernama Lalitavistara dan Jatakamala Aryasura serta digambarkan
dengan visual dinding candi Borobudur.
Menginjak usia 29 tahun, timbullah
keinsyafan batinnya bahwa hidup keduniaan dalam suasana kemewahan di istana
tidaklah dapat memberi ketenangan batinnya. Timbullah keinsyafan demikian itu
karena di waktu ia bercengkrama telah melihat beberapa peristiwa yang sanngat
mengesankan. Ia melihat seorang tua yang lemah tubuhnya, sehingga hidupnya
penuh penderitaan. Ia berfikir sesungguhnya bagaimanapun juga orang hidup itu
akhirnya pasti akan mengalami ketuaan dan penuh dengan penderitaan.
Dari beberapa peristiwa yang di jumpai
tersebut ia berkesimpulan bahwa hidup ini penuh dengan penderitaan. Akhirnya ia
memutuskan untuk meninggalkan istana ayahnya, guna mencari jalan yang dapat
membebaskan manusia dari penderitaan. Selama ia dalam pengembaraan dan
pertapaan, tepatnya di bawah pohon Bodhi di Bodha Gaya tersingkaplah baginya
“pengetahuan tentang kebenaran yang sejati”. Sejak itu ia memakai gelar Budha.
Artinya, orang yang telah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati.
Dari uraian singkat di atas dapat
disimpulkan bahwa kata Budha merupakan gelar seseorang, pembawa dan pendiri agama
Budha, yakni Sidharta Gautama atau disebut juga Cakyamuni yang berarti orang
tanpa dari suku keturunan Cakyas.
2.2 Kitab
Agama Budha
Kitab-kitab
yang menjadi sumber pengetahuan kita tentang agama budha banyak sekali. Tetapi
sudah ada banyak yang hilang. Yang tinggal hanya petilan atau fragment saja.
Kitab-kitab itu ditulis di dalam behasa pali, cina dan sanskerta. Kitab-kitab
yang ditulis di dalam bahasa pali dipergunakan oleh aliran theravada dari
golongan hinayana, yang terdapat di langka, birma dan muangthai, sedangkan yang
di tulis di dalam bahasa sanskerta kebanyakan dipergunakan oleh aliran mahayana
yang terdapat di nepal, tibet, cina dan jepang.
Harus di ingat, bahwa selama kira-kira empat
abad agama buddha hidup dari tradisi yang diteruskan secara lisan oleh
pemimpin-pemimpin agama buddha pada abad yang pertama ini. Oleh karena itu maka
kitab-kitab yang tergolong tua memberikan kesan sebagai kumpulan-kumpulan dari
tradisi yang diteruskan secara lisan tadi, umpamanya: kumpulan khotbah-kotbah,
kata-kata mutuara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan dan sebagainya.
Kumpulan-kumpulan itu kemudian di atur dalam kelompok-kelompok. Tiap kelompok
disebut pitaka (keranjang). Demikianlah timbul tiga kitab pitaka, yang disebut
tripitaka atau tipitaka. Yaitu: sutra pitaka, yang berisi dharma atau ajaran
budha kepada muridnya. Winaya pitaka, yang berisi peranturan-peranturan untuk
mengatur tata tertib sangha, serta hidup sehari-hari para bhiksu. Abhidharma
pitaka, yang berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakekat dan tujuan
hidup manusia, atau pengetahuan yang membawa kelepasan.
Selain dari pengelompokan tersebut di atas,
kitab-kitab agama buddha bisa juga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kitab-kitab
sutra dan sastra. Yang termasuk golongan kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab
yang dipandang sebagai yang diucapkan oleh buddha sendiri, sekalipun kitab-kitab
itu ditulis berabad-abad sesudah wafatnya buddha. Menurut aliran hinayana, yang
dianggap sebagai kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab yang dahulu dikumpulkan
pada muktamar buddhis yang pertama, yaitu pada 483 SM segala kitab yang timbul
setelah itu tidak dianggap sebagai asli. Sebaliknya aliran mahayana
berpendapat, bahwa kitab-kitab sutra yang timbul kemudian dari pada itu juga
dipandang sebagai asli dan sebagai diucapankan oleh buddha sendiri, umpamanya
kitab prajnaparamita, yang membicarakan tentang hikamah yang sempurna.
Diceritakan, bahwa isi kitab ini diucapkan oleh buddha itu sendiri, tetapi oleh
karena isi kitab ini masih terlalu sukar bagi orang pada zamannya, maka kitab
ini disimpan ditempat para naga di dunia bawah. Baru berabad-abad kemudian
kitab ini diambil oleh nagarjuna dari dunia bawah itu dan diumumkan kepada
dunia.
Yang termasuk
sastra ialah uraian-uraian yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang ternama.
Uraian-uraian ini biasanya disusun secara sistematis. Di antara para penulis
itu ialah nagarjuna dan wasubandhu. (harun, agama:67)[4]
Kitab suci umat
buddha yang pertama
Kitab suci umat
buddha yang paling awal adalah doktrin (sutta) dan aturan mengenai disiplin
bicara (vinaya). Kedua dokumen ini tercatat sebagai catatan asli dari sang
buddha (buddha vacana). Berikutnya ditambahkan lagi spekulasi metafisis dalam
kumpulan ketiga (abhidharma).
Norma pali:
tiga keranjang/tripika
Kumpulan teks
utama yang dikenal sebagai tripika ini masih belum dicatat hingga lama sesudah
meninggalnya sang buddha. Tiga keranjang mengacu pada fatwa bahwa ketika
ditulis dalam bahasa pali, teks itu dikumpulkan dalam bentuk ikatan dan
disimpan di tiga keranjang. Ketiga keranjang itu masing-masing berisi: khotbah
sang buddha dan kunci lain dalam ajaran
buddha awal (sutta), perilaku yang harus diikuti oleh anggota buddha (vinaya),
dan metafisika serta analisis selanjutnya (abhidharma). Semua teks diikat
menurut isinya dan secara keseluruhannya disebut sebagai norma pali. Di antara
semua teks itu, yang dianggap paling penting pada saat ini adalah sutta pitaka
yang berisi khotbah, akan tetapi, pada zaman yang menyusul tak lama setelah
meninggalnya sang buddha, vinaya, aturan-aturan yang dibuat sang buddha
menyangkut sangha dianggap sebagai teks yang paling penting.
Suatu teks yang
disebut sebagai budhhavamsa melukiskan silsilah sang buddha sejak buddha yang
pertama diantar 24 buddha sebelumnya, hingga ke buddha yang ditunggu
berikutnyaajaran dari masing-masing buddha sama saja, sebab dharma atau
kebenaran itu abadi. Masing-masing buddha dituturkan muncul di dunia keetika
ajaran dari pendahuluannya tak lagi efektif. Umat manusia secara periodik
kehilangan wawasannya mengenai dharma, mungkin karena jumlah pengikutnya
menjadi makin merosot karena suatu sebab sehingga akhirnya ajaran tidak
tersebar lagi disebar. Lalu muncul lagi calon buddha yang berikutnya.
Cerita jataka
Kisah-kisah
tentang kehidupan sang buddha yang sebelumnya ditulis dalam cerita jataka.
Kumpulan kisah yang luar biasa ini menyangkut perbuatannya di kehidupan yang
lalu, ketika ia dilahirkan dalam berbagai bentuk. Sang buddha dikatakan
memiliki pengalaman hidup dalam berbagai jenis hewan maupun dalam beraneka
ragam manusia, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Banyak diantara kisah
itu yang menjadi bahan bagi penafsiran artistik di lukisan dinding, patung, dan
ukiran. Cerita jetaka masih sangat terkenal di kalangan tua maupun muda.
Dharmapada
Dharmapada yang
berarti syair-syair hukum adalah satu teks buddha yang paling indah dan
berharga. Inilah esensi ajaran sang buddha yang disusun pada abad ketiga
sebelum masehi. Dharmapada berbentuk kumpulan syair mengenai doktrin buddha
yang sangat mudah dipahami dan penuh inspirasi. Dharmapada memiliki 423 syair
atau kata-kata mutiara yang disusun dengan judul seperti ”baik dan jahat”,
“pikiran”, “idaman”. Syair-syair ini mengajarkan moral buddha dan jalan menuju
nirvana dengan susunan yang menarik. Dharmapada tercangkup dalam norma pali di
dalam kumpulan mengenai khotbah-khotbah sang buddha. Teks ini telah
diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan masih secara luas dipelajari dan
dinikmati oleh umat buddha maupun yang bukan umat buddha.
2.3 Ajaran Agama Budha
Ajaran agama
buddha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut tiga batu permata
(triratna), yaitu: buddha, dharma dan sangha.
1.
Ajaran
tentang buddha
Diajarkan, bahwa bagi kepercayaan buddhis, hidup sang buddha sebagai
perorangan, sebagai siddharta atau gautama atau sakyamumi. Tidaklah penting.
Buddha adaah gelar, suatu jabatan yang sudah pernah dijabat oleh orang-orang
lain. Menurut keyajkinan buddhis sebelum tahap zaman sekarang ini, sudah ada
tahap zaman yang tak terbilang. Dan tiap-tiap zaman ini memiliki buddhanya
sendiri-sendiri. Oleh karena itu menurut keyakinan buddhis ada banyak buddha,
yaitu orang yang sudah mendapatkan pencerahan buddhi. Menurut jema’at selatan,
sebelum buddha gautama sudah ada 24 buddha yang mendahuluinya. Tetapi menurut
jema’at utara ada lebih banyak lagi. Walaupun dalam soal bilangannya buddha
yang sudah pernah ada, keduanya berbeda pendapat, tetapi mengenai tujuh orang
buddha yang terakhir, keduanya ada kesamaan pendapat.
Ketujuh buddha yang terahir, yang sudah pernah menjelma sebagai
manusia adalah, wipasyin, sikhin, dan wiswabhu, yang menjelma sebagai manusia
pada zaman emas, kakukhanda dan kanakamuni, yang menjelma sebagai manusia pada
zaman perak, kasyapa, yang menjelma pada zaman tembaga dan sakyamani atau
gautama yang menjelma sebagai manusia pada zaman besi.
Sekalipun siddharta dilahirkan pada 563 SM, tetapi menurut
keyakinan orang buddhis, pada tahun itu gautama bukan untuk pertama kali datang
ke dunia. Sebelum dilahirkan sebagai siddha gautama ia sudah hidup berjuta-juta
abad, dengan nama sumedha, sama dengan nasib tiap-tiap orang, ia mengalami
kelahiran kembali yang banyak sekali, pernah ia dilahirkan kembali sebagai
binatang, sebagai manusia dan sebagai dewa. Kesempurnaan, seperti yang sudah
dicapai oleh gautama ini tidak mungkin dicapai dalam satu kelahiran saja. Pada
kelahiran yang sudah lalu itu sumedha berhasil untuk makin mendapatkan hikmah
atau ilmu yang makin tinggi, sehingga ia menjadi bodhisattva, yaitu orang yang
hakekatnya adalah budhi.
Selanjutnya tentang tokoh buddha itu diajarkan, bahwa sebenarnya
tokoh buddha itu adalah asas rohani, suatu ke-budha-an atau suatu tabiat
kebudhahan. Tabiat kebuddhaan ini sebenarnay tersembunyi di dalam tiap-tiap
orang yang emnjadi buddha, juga di dalam diri siddharta. Dan tabiat kebuddhaan
inilah yang mengilhami siddharta untuk mengerti akan kebenaran dan kemudian
mengajarkannya, jika buddha dipandang sebagai asas rohani, maka ia disebut
tathagata.
Di dalam diri siddharta, buddha itu memiliki tubuh yang lain lagi,
yang disebut tubuh kegirangan, atau tubuh yang tak dapat berubah. Secara
lahiriyah siddharta tampak sebagai manusia biasa, tetapi di dalam tubuhnya yang
tampak itu tersembunyi pribadi yang sebenarnya. Di dalam tubuh jasmani yang tampak
itu tersembunyi tubuh yang lain, yang tak dapat dihayati oleh manusia biasa,
kecuali oleh mereka yang beriman. Tubuh kegirangan ini dipandang sebagi tubuh
yang tingginy 18 kaki, berwarna keemasaan. Diantara kedua keningnya di bagian
atas terdapat suatu ikalah yang lembut seperti kapas, yang disebu urns,
selanjutnya diatas kepala. Akhirnya di sekitar kepala itu ada lingkaran sinar
yang menandai kesucian dan sifat ilahinya.
Tubuh yang mulia ini tak menderita, sekalipun berada di dalam tubuh
jasmani yang terbatas itu. Tubuh ini dapat bergerak di dalam ruang yang tidak
lebih besar dari pada sebiji sawi, tetapi juga dapat bergerak di ruang yang
jauh lebih besar. Demikianlah keadaan tubuh kegirangan, yang ada pada tiap-tiap
buddha sebagai manusia.[5]
2.
Ajaran
tentang dharma
Yang disebut dharma ialah ajaran pokok. Ajaran pokok agama buddha
dirumuskan di dalam apa yang disebut: empat kebenaran yang mulia yaitu: ajaran
yang diajarkan oleh buggha gautama di benares, sesudahnya ia mendapat
pencerahan.
a.
Aryasatyani
Aryasatyani itu terdiri dari empat kata: yaitu, dukha, samudaya,
nirodha dan marga.
·
Yang
disebut dukha ialah penderitaan. Hidup ini adalah penderitaan. Misalnya:
kelahiran adalah penderitaan. Umur tua adalah penderutaan. Dll
·
Yang
dimaksud dngan samudaya adalah sebab maksudnya penderitaan itu ada sebabnya.
Keinginan kepada hidup itu menyebabkan orang dilahirkan kembali, dengan
disertai nafsu dan keinginan.
·
Yang
dimasud dengan nirodha ialah pemadaman yaitu pemadaman penderitaan itu terjadi,
bila kita mampu menghapuskan seluruh nafsu dan keinginan kita secara sempurna.
·
Yang
dimaksud marga ialah jalan kelepasan yaitu jalan menuju kepada pemadaman
penderitaan itu.
b.
Pratica
samutpada
Pokok permulaan yang bergantung. Pokok permulaan sesuatu bergantung
kepada pokok permulaan yang mendahuluinya, dan seterusnya. Seluruhnya ada 12
pokok permulaan yaitu :
1)
Ketidaktahuan
(awidya).
2)
Penafsiran
yang salah bergantung kepada……
3)
Kesadaran
bergantung kepada penafsiran yang salah.
4)
Lahir/batin
bergantung kepada kesadaran.
5)
Indra
dan sasarannya bergantung kepada lahir/batin.
6)
Sentuhan/kontak
bergantung kepada indra dan sasarannya.
7)
Emosi
bergantung kepada sentuhan/kontak.
8)
Nafsu/keinginan
bergantung kepada emosi.
9)
Makanan,
minuman dan sebagainya ini bergantung kepada neafsu/keinginan.
10)
Hidup
dimasa lampau bergantung kepada makanan, minuman, dan sebagainya.
11)
Kelahiran
bergantung dari hidup masa lampau.
12)
Menjadi
tua dan mati (yaramaranam) bergantung dari kelahiran.
Yang terang dari uraian itu ialah, bahwa kehausan atau keinginan,
yang eyebabkan adanya penderitaan itu, pada hakikatnya disebabkan oleh
ketidaktahuan (awidya), yaitu semacam ketidaktahuan yang kosmis, yang
menjadikan orang dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini pertama-tama
mengenai tabiat asasi dari alam semesta ini, yang memiliki tiga ciri yang
mencolok, yaitu : bahwa alam semesta ini penuh dengan penderitaan (dukha),
bahwa alam semesta ini adalah fana (anica) dan bahwa taka da jiwa di dalam
dunia ini (anatman)
c.
Ajaran
tentang anica
Kata anica berarti:tidak kekal. Doktrin ini mengajarkan, bahwa di
dalam dunia ini tak ada sesuatu yang kekal. Semuanya dalah fana. Tak ada
sesuatu yang tetap ada, segala sesuatu itu sedang menjadi. Hidup ini adalah
suatu rentetan dari hal-hal yang terjadi untuk sesaat dan yang segera tidak ada
lagi. Hal ini digambarkan sebagai nyala api. Nyala api tampak seolah-olah tetap
ada. Mata kita melihat api yang tetap menyala. Tetapi hal ini tidaklah benar.
Sebab sebenarnya setiap kali ada nyala yang baru, yang kemudian hilang, disusul
oleh nyala yang baru lagi, yang kemudian hilang lagi. Begitulah individualitas,
sebenarnya tidak ada.
d.
Ajaran
tentang anatman
Kata anatman bararti: tak ada jiwa. Ajaran ini tak bisa dipishakan
dari ajaran tentang anica, yang mengajarkan bahwa tag ada sesuatu yang kekal
yang tidak berubah. Karenya, tak ada jiwa yang kekal. Manusia sebenarnya tidak
berjiwa. Manusia adalah suatu kelompok keadaan jasmani dan rohani. Di dalamnya
taka da suatu pribadi yang tetap.
e.
Ajaran
tentang karma
Ajaran buddha juga mengajarkan, bahwa karma menyebabkan kelahiran
kembali. Tetapi yang dilahirkan kembali
itu bukan jiwa, bukan “aku” manusia, sebab taka da “aku” yang tetap. Yang
dilahirkan kembali adalah watak atau sifat-sifat manusia, atau
“kepribadian”nya, tetapi tanpa pribadi atau aku.
f.
Jalan
kelepasan
Didalam bagia keempat dari arjasatyani itu diajarkan tentang jalan
kelepasan. Agar orang dapat lepas dari penderitaan itu orang harus melalui
suatu jalan yang terdiri dari delapan tingkatan, yaitu: percaya yang benar,
maksud yang benar, perkataan yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang
benar, usaha yang benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar.
Delpan macam jalan yang diajarkan di dalam arjasatyani ini sering
disingkatkan menjadi empat singkatan. Masing-masing tingkatan ditandai dengan
pemutusan ikatan-ikatan yang mengikat orang kepada dunia ini. Keempat tingkatan
itu ialah :
1)
Srotpana
atau pertobatan, yaitu tingkatan orang yang sudah ditempatkan pada arus yang
benar.
2)
Sakrdagamin,
yaitu tingkatan orang yang masih harus dilahirkan kembali sekali lagi. Sesudah
itu ia akan mencapai kelepasan yang sempurna.
3)
Anagamin,
yaitu tingkatan orang yang sudah tidak akan dilahirkan kembali, dan yang sudah
mendapat kelpasan di dalam hidup sekarang ini.
4)
Arhat,
yaitu tingkatan orang yang sudah bebas dari dilahirkan kembali, baik di dalam
dunia berbentuk maupun di dalam dunia yang tidak berbentuk. Dalam tingkatan ini
orang mencapai nirwana.
g.
Ajaran
tentang nirwana
Kelepasan di dalam agama Budha diugkapkan dengan bermacam-macam
ungkapan. Ungkapan yang paling terkenal ialah nirana. Secara harfiah kata
nirwana berarti: pemadaman atau pendinginan, yang dipadamkan ialah keinginan,
api dari nafsu, kebencian dan sebagainya.
Orang di dalam nirwana itu mengalami suatu keadaan yang penuh
damai. Suatu keadaan yang jauh lebih baik dari pada segala keadaan di dunia
ini.
Nirwana itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu: upadhisesa dan
anupadhisesa. Upadhisesa ialah status orang yang sudah mendapat kelepasan atau
nirwana, tetapi yang hidup lahiriahnya masih terus berjalan. Dan anupadhisesa
ialah status orang yang mendapat kelepasan, yang hidup lahiriah sudah tidak ada
lagi jadi yang dicapai sesudah mati.[6]
Orang yang masuk ke dalam nirwana bukannya jiwanya campur atau
dilarutkan ke dalam jiwa yang maha agung, tetapi ia mendapat ketenangan sebagai
lautan tanpa ombak.
3.
Ajaran
tentang sangha
Pengikut agama buddha dibagi menjadi 2 bagian, yaitu para bhiksu
atau para rahib dan para upasaka atau para kaum awam
Inti masyarakat buddhis sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab
hanya hidup kerahiban itulah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan
orang untuk mencapai tujuan hidup yang tinggi. Seluruh persekutuan para rahib
disebut sangha atau jema’at.
Kehidupan kerahiban diatur di dalam kitab winaya pitaka. Dari kitab
ini kita dapat mengetahui, bahwa para rahib itu ditandai oleh tiga hal, yaitu:
kemiskinan, hidup membujang dan ahimsa (tanpa kekerasan).
Kesusilaan rahib dicanntumkan di dalam dasasila, atau sebenarnya
sepuluh larangan, yaitu larangan untuk : membunuh, mencuri, hidup mesum,
berdusta, minum-minuman keras, makan pada waktu terlarang, mengunjungi tempat
keramaian duniawi, bersolek, tidur pada tempat tidur yang enak, dan menerima
hadiah.
Siapa saja bisa menjadi rahib, baik lelaki maupun perempuan, asal
ia tidak dikuasai oleh orang lain, umpanya seorang tentara, orang yang memiliki
hutang, budak, orang yang belum dewasa dan sebagainya. Juga orang yang memiliki
penyakit yang menular, dan yang bercacat besar tidak diperkenankan.
Golongan kedua dari pengikut buddha ialah para upasaka atau para
awam. Mereka itu adalah orang baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui
buddha sebagai pemimpin agamanya, menerima ajarannya, tetapi yang tetap hidup
di dalam masyatrat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para upasaka itu tak
dapat mencapai nirwana di dlam hidupnya. Sekalipun demikian kedudukan mereka
adalah penting sekali. Mereka sudah berada pada permulaan jalan yang mampu
kelepasan. Sebab mereka sudah percaya kepada buddha dan ajarannya. Sekalipun
belum sempurna, hal itu sudah berarti juga melepaskan diri dari dunia serta
memalingkan pandangannya dari dunia yang tampak ini kepada yang tak tampak,
sekalipun belum juga mencapainya. Bagaimanapun juga mereka akan mendapat
pahalanya, sekalipun belum yang tertinggi. Pahala itu dapat diperolehnya dengan
bersedekah, baik kepada sesamanya, maupun kepada para rahib, dengan memberikan
kepada para rahib itu segala yang diperlukannya.
Tugas para upasaka itu selanjutnya diuraikan umpamanya sebagai
berikut: para orang tua harus mengendalikan anak-anaknya dari perbuatan yang
jahat, melatih mereka pada perbuatan yang baik, mengajarkannya pengetahuan dan
kesenian, mencarikan jodo yang baik baginya, dan sebagainya. Para anak harus
membatu orang tuanya, merawat miliknya, melayakkan diri untuk menjadi warisanya
dan sebagainya. Para murid harus menghormati gurunya, para guru harus memberi
pelajaran kepada muridnya dan sebagainya.[7]
Sekalipun semuanya itu belum dapat membawa orang kepada nirwana,
tetapi dapat membuat mereka dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik
dari pada yang sekarang mereka alami. Demikianlah keadaan para pengikut Budha.
BAB
III
KESIMPULAN
Sebagai agama, ajaran Budha tidak
bertitik tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta serta seluruh isinya,
termasuk manusia, tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya
sehari-hari khususnya tentang tata susila yang harus dijalankan manusia agar
terbebas dari lingkaran sukkah yang senantiasa mengiringi hidupnya.
Pada jangka waktu yang lama, masalah
ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya. Sehingga
menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah agama Budha dapat dipandang sebagai
agama atau hanya sebagai salah satu aliran filsafat saja..
Kemudian dalam
sejarah agama Budha disebutkan bahwa jauh sebelum masa prasejarah pernah hidup
seoranng makhluk yang bernama Sumedha. Ia pernah mengalami berjuta-juta kali
reinkarnasi. Ia berada dalam tubuh seseorang manusia yang memunyai derajat
ke-Budha-an yang bernama Shidarta.
Kitab-kitab yang
menjadi sumber pengetahuan kita tentang agama budha banyak sekali. Tetapi sudah
ada banyak yang hilang. Yang tinggal hanya petilan atau fragment saja.
Kitab-kitab itu ditulis di dalam behasa pali, cina dan sanskerta. Kitab-kitab
yang ditulis di dalam bahasa pali dipergunakan oleh aliran theravada dari
golongan hinayana, yang terdapat di langka, birma dan muangthai, sedangkan yang
di tulis di dalam bahasa sanskerta kebanyakan dipergunakan oleh aliran mahayana
yang terdapat di nepal, tibet, cina dan jepang.
Kitab-kitab
agama buddha bisa juga dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kitab-kitab sutra dan
sastra. Yang termasuk golongan kitab-kitab sutra ialah kitab-kitab yang
dipandang sebagai yang diucapkan oleh buddha sendiri, sekalipun kitab-kitab itu
ditulis berabad-abad sesudah wafatnya buddha.
Yang termasuk
sastra ialah uraian-uraian yang ditulis oleh tokoh-tokoh yang ternama.
Uraian-uraian ini biasanya disusun secara sistematis. Di antara para penulis
itu ialah nagarjuna dan wasubandhu.
Ajaran agama
buddha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut tiga batu permata
(triratna), yaitu: buddha, dharma dan sangha.
DAFTAR PUSTAKA
Sufa’at Mansur,
Agama-Agama besar Masa Kini, 2011, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Galian
Stokes, Seri Siapa Dia Budha ?, 2001, Jakarta : Erlangga.
Faridi, Agama
Jalan Kedamaian, Jakarta : Ghalia Indonesia
Wilfreda
Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama, Jakarta : PT Mizan Publika.
[1] Wilfred Cantwell Smith, Kitab Suci Agama-Agama, PT Mizan Publika:
Jakarta, hal. 243
[2] Faridi, Agama Jalan Kedamaian, Ghalia Indonesia: Jakarrta, hal 97
[3] Ibid, hal. 98
[4] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm
75-77
[5] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm77-80
[6] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm
80-87
[7] Sufa’at mansur, agama-agama besar masa kini, pustaka pelajar, hlm
87-90
0 komentar:
Posting Komentar