Senin, 13 April 2015

MAKALAH USHUL FIQIH


Istihsan, Istishab, dan Maslahah Mursalah

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang
     Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu.
     Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
     Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagai metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain. Dari dua sumber itu muncul dalil hukum yang disepakati dan tidak disepakati. Dimana dalil yang tidak disepakati  diperbedakan di kalangan ulama antara lain  tentang istihsan, istishhab, dan maslahah-mursalah akan dibahas pada makalah ini.

1.2     Rumusan Masalah
A.    Apa pengertian  dari Istihsan?
B.     Apa saja macam-macam dan kehujjahan Istihsan serta pendapat para ulama?
C.     Apa pengertian  dari Istishab?
D.    Apa saja macam-macam dan kehujjahan Istishab serta pendapat para ulama?
E.     Apa pengertian dari maslahah-mursalah?
F.      Apa saja macam-macam dan kehujjahan maslahah-mursalah serta pendapat para ulama?

1.3     Tujuan
A.    Memahami pengertian  dari Istihsan.
B.     Mengetahui macam-macam dan kehujjahan Istihsan serta pendapat para ulama.
C.     Memahami pengertian  dari Istishab.
D.    Mengetahui macam-macam dan kehujjahan Istishab serta pendapat para ulama.
E.     Memahami pengertian dari maslahah-mursalah.
F.      Mengetahui macam-macam dan kehujjahan maslahah-mursalah serta pendapat para ulama.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Istihsan
            Ihtihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah Ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas)kepada kias khafi (yang tersembunyi). Atau dari hukum kulli kepada hukum istisnai. Di sini terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak berdasarkan nash. Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, terang-terangan memperlakukan hukum. Dan Kedua, secara sembunyi-sembunyi. Di sini mujtahid itu sendiri yang menegakkan dalil, untuk menguatkan bentuk yang sembunyi sembunyi itu. Membentulkan bentuk pandangan zahir. Ini namanya menurut syar’i istihsan. Begitu juga jika dia itu hukum kulli. Mujtahid itu sendiri yang mengemukakan dalil, bahwa istisna itu adalah perincian dari hukum kulli. Dihukum kepadanya dengan hukum lain. Ini juga menurut syari’at, dinamakan istihsan.[1]
            Jadi ciri-ciri istihsan ada dua:
a.       Pindah dari qiyas jali ke qiyas khafi, karena dalil/alasan yang mengharuskan pemindahan itu. Ulama menamakannya qiyas khafi/istihsan qiyas. Contohnya, jika orang mewakafkan sebidang tanah pertanian, menurut istihsan hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu (seperti hak mengairi, hak membuat saluran, dan membuat lorong di atas tersebut) sudah tercakup di dalamnya secara langsung, sebagaimana dalam perikatan jual-beli.
Adapun dari segi istihsannya dalam kasus ini adalah bahwa tujuan berwakaf yaitu untuk memberikan manfaat sesuatu barang yang diwakafkan kepada pihak yang diberi wakaf. Pemanfaatan tanah pertanian seperti yang disebut dalam contoh di atas tidak akan tercapai kalau hak-hak yang berkaitan dengan pengelolaan tanah tersebut tidak mengikuti hukum tanahnya. Jadi sekalipun hak-hak tersebut tidak dinyatakan secara rinci saat diucapkan, tapi sudah mengikuti ketentuan wakaf, sama halnya dalam perjanjian sewa-menyewa tanah.
Dalam contoh diatas, menurut qiyas jali, wakaf itu identik dengan jual-beli karena kedua bentuk aktivitas tersebut sama-sama mengandung adanya unsur pelepasan hak milik dari pemilik barang kepada orang lain. Sedangkan menurut qiyas khafi, waqaf itu identik dengan sewa-menyewa karena yang menjadi tujuan dalam dua bentuk aktivitas tersebut adalah manfaat dari apa yang diperjual-belikan atau yang diwakafkan. Sehingga semua hak itu sudah termasuk di dalamnya, sekalipun tidak disebutkan secara terperinci dan begitu juga pada kasus wakaf di atas.
b.      Pindah dari hukum kulli ke hukum juzi, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh ulama Hanafi disebut istihsan dharurat karena penyimpangan tersebut dilakukan secara terpaksa dengan maksud menghadapi keadaan yang mendesak/untuk menghindari kesulitan. Contohnya, syara’melarang transaksi dan memperjualbelikan barang-barang yang belum ada pada saat transaksi dilakukan. Namun menurut istihsan syara’ memberi dispensasi (rukhshsh) diperkenankannya praktik salam (jual-beli dengan pembayaran terlebih dahulu, tapi barangnya dikirim kemudian) dan istishna’(memesan untuk melakukan sesuatu/inden). Kedua bentuk transaksi ini adalah bagian betuk transaksi dagang, tapi barang yang disebut belum ada.
Hukum kulli pada contoh ini yaitu tidak sahnya memperjualbelikan barang yang belum terwujud pada saat perikatan atau transaksi terjadi. Namun transaksi itu sangat dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikanlah dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz-I, yaitu transaksi dalam bentuk salam dan istishna’. Segi istihsannya dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan masyarakat. Jadi, jika praktik salam dan istishna’ tidak dibenarkan, masyarakat akan mendapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari,karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat tersedia di pasaran pada saat transaksi dilakukan, sehingga perlu dipesan terlebih dahulu.[2]

  Macam-Macam Istihsan
Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, ini ada empat:
a.       Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama Karen ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh si mujahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan  hukum. Jadi menggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas khafi. Ini disebut istihsan qiyas.
 Misalnya, dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli karena  pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau mengalirkan air  ke lahan pertanian melalui tanah tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan  lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
b.      Istihsan yang sandarannya adalah nash. Di sini si mujahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
c.       Istihsan yang sandarannya adalah ‘urf (adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tapi dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
d.       Istihsan yang sandarannya adalah darurat.dalam hal ini si mujahid tidak menggunakan  adanyadalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.[3]
Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
1.      Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan  yang ditulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
2.      Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesunguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan istihsan.
3.      Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Tapi, Al-jalal Al Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabillah.
4.      Ulama Syafi’iyah
Golongan Al Syfi’I secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’I berkata “Barang siapa yang menggunakan istihsan berarti dia telah membuat syari’at”. Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT. setidaknya ada yang menyerupainya jadi dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”[4]
Ada Perbedaan lagi mengenai Pendapat Ulama mengenai Istihsan:
1)      Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a.       Firman Allah:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Ayat tersebut menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti perkataan yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b.      Sabda Rasulullah:
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam adalah juga baik  disisi Allah (HR. Ahmad dalam kitab Sunnah, bukan dalam musnadnya)”.
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2)      Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri mazhab syafi’i, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:
a.       Ayat 38 Surat Al-An’am:
$tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur 9ŽÈµ¯»sÛ çŽÏÜtƒ Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u šcrçŽ|³øtä ÇÌÑÈ
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
b.      Ayat 44 surat An-Nahl:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
c.       Ayat 49 Surat Al-Maidah:
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# Ÿwur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& šqãZÏFøÿtƒ .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ߃̍ムª!$# br& Nåkz:ÅÁムÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRèŒ 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat pertama di atas, menurut Imam syafi’i menegaskan kesempurnaan Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa disamping Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an jadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan kesimpulan pribadi. Lalu ayat yang ketiga, menurut Imam Syafi’i, memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Rasul-Nya serta larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, sehingga tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’. Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan pada hawa nafsu tapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan hukumnya.
Jadi, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i, bukanlah istihsan yang telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya adalah praktik-praktik istihsan yang ada di Irak dimana secara ilmiah belum dirumuskan secara definitif.[5]
2.2  Pengertian Istishhab
            Kata istishab secara etimologi adalah meminta ikut serta secara terus menerus. Dalam peristilahan ahli ushul, istishab yaitu menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Juga bisa diartikan sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.[6]
Pernah mujtahid itu ditanya orang tentang hukum perjanjian , atau tasaruf (tindakan dalam suatu urusan). Tidak terdapat nash dalam Al-Qur’an dan sunnah , dan tidak ada dalil syar’I yang dapat dirangkaikan kepada hukumnya menurut hukum, apakah diperbolehkannya perjanjian ini?  Hal ini menurut apa yang dijanjikan Allah, terhadap segala apa yang ada di bumi ini. Hal ini diperbolehkan sedemikian adanya, sebelum ada dalil yang mengubahnya. Sesuatu itu pada prinsipnya diperbolehkan. Pernah orang bertanya kepada seorang mujtahid tentang hukum yang bersangkut dengan hewan, benda padat, tumbuh-tumbuhan. Baik yang berupa makanan, maupun minuman. Atau salah satu dari tindakan dan perbuatan yang tidak pernah diatur oleh dalil syari’at. Bagaimana hukumnya? Dalam hal ini hukum memperbolehkan. Kalau tidak ada dalil untuk mengubahnya maka sesuatu itu tetap diperbolehkan. Yang menjadi pokok sesuatu itu diperbolehkan. Allah berfirman dalam AlQur’an.
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# .$YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ   
 Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
            Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menjadikan untuk manusia, apa yang berada di langit dan yang di bumi. Gunanya itu tidak lain selain dari diperbolehkan. Kalau berbahaya, maka sudah barang tentu tidak diperbolehkan.[7]
2.3   Macam-Macam Istishab
Dilihat dari bentuknya, istishab terbagi menjadi tiga:
a.         Istishab yang tidak mempunyai asal. Yaitu sesuatu yang akal menetapkan bahwa hal tersebut tidak mempunyai asal, lagi pula syara’ tidak menetapkannya. Contohnya, akal menetapkan bahwa shalat wajib, tidak ada enam, dalil yang menetapkannya.
b.      Istishab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum/nash umum, sampai ada dalil yang mengkhususkannya/dalil yang me-naskh-nya/yang menghapusnya. Maksudnya, yang menentukan berlakunya keumuman satu hukum hingga sekarang adalah dengan jalan istishab.
c.       Istishab yang telah disebutkan syara’, yang tetap dan kekalnya karena telah disebutkan sebabnya. Seperti tetapnya adanya kepemilikan seseorang terhadap sesuatu bila ada sebabnya, yaitu jual beli.
Golongan ulama yang menolak menerima istishab sebagai sumber hukum, termasuk mazhab Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa untuk menetapkan diteruskannya keberlakuan suatu hukum yang lalu untuk sekarang, haruslah dengan dalil.
Dari istishab ini tumbuhlah istilah/kaidah fiqih yang artinya “keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan syak”. Misalnya, orang yang yakin bahwa ia tlah berwudhu, lalu ragu-ragu apakah wudhunya telah batal/belum. Dalam hal tersebut dia harus berpegang pada yang yakin, yaitu telah berwudhu, jadi boleh langsung melakukan shalat tanpa harus wudhu lagi.[8]
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam. Yaitu:
1.        Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.        Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya).  Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3.        Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu  nash yang umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
1.      Istishab An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?, padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
2.      Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan  hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.[9]
Kehujjahan Istishhab dan Pandangan Para Ulama
Istishhab yaitu akhir dari syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata, “Sesungguhnya istishhab ialah akhir tempat beredarnya fatwa.”Yaitu mengetahui sesuatu menurut  hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seseorang yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdsarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada yang menghapuskannya. Tanggungan yag telah dibebaskan dari orang yang terkena tuntutan utang piutang atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya, Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut, “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah
اَ لأَ صلُ في الأشياَءِ الإِ باَ حَةٌ
Artinya: “Asal segala sesuatu adalah kebolehan.”
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah  yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.[10]
Pada umumnya ulama ushul fiqh menempatkan istishab sebagai dalil hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab dalil akal hanya diakui oleh ulama Mu’tazilah, dalam hal istishab sifat ulama Hanafiyahhanya memberlakukannya untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya untuk menetapkan hukum baru. Sementara sebagian ulamatidak memberlakukan istishab sebagai dalil umum. Ulama yang mengamalkan istishabmendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis Nabi dan menambahkannya pada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:[11]
اليقين لا يزا ل بالشك
“Sesuatu yang diyakini tidak dapat dihilangkan denganhal yang meragukan.”
2.4     Pengertian Maslahah Al- Mursalah
Pengertian maslahah al- mursalah menurut bahasa
Menurut bahasa al-maslahah merupakan bentuk tunggal (mufrod) dari kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al- ‘arb menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih dan semuanya itu mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan dan penyakit. Semuanya itu bisa di katakan mashlahah.[12]
Manfaat yang di maksud oleh pembuat hukum syara’ (allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahsil al-ibqa. Tahsil adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemudhorotan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian mashlahah al-mursalah adalah suatu kemasalahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian di temukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut di namakan maslahah al- mursalah. Tujuan utama dari maslahah al- mursalah adalah keselamatan; yakni memelihara dari kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Pengertian maslahah al- mursalah menurut istilah
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama’ menggunakan istilah al- mashlahah al- mursalah itu dengan kata al- munasib al- mursal. Ada pula yang menggunakan al- istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al- istidlal al- mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat di tinjau dari tiga segi, yaitu: [13]
a.       Melihat mashlahah yang terdapat pada kasusyang di persoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad di masa sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, kemashlahatan tersebut tidak di dasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan di tinjau dari sisi ini di sebut al- maslahah al- mursalah (masalah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat.
b.      Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al- washf al- munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan .akan tetapi ,sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus.oleh karena itu ,dari sisi ini ia disebut al-munasib Al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara’ yang khusus)
c.       Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu diakui sah oleh salah satu tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai istilah al- Mashlahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal.istilah tersebut digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al- Qadhi Al- Baidhawi : 135). Untuk  segi yang ketiga dipakai istilah al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab Al- Mustasyfa (Al-Ghazali :311),atau dipakai istilah al – isti’dal al-mursal, seperti yang dipakai Al-syatibi dalam kitab Al- Muwafaqat (Al- Muwafaqat, juz 1 : 39).
Walaupun para ulama’ berbeda-beda dalam memandang al- maslahah al- mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Ada beberapa pandangan para ulama tentang hakikat dan pengertian al- maslahah al- mursalah, yakni:[14]
1.      Abu nur Zuhair berpendapat al-maslahah al- mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’. (muhammad Abu Nur Zuhair, IV : 185)
2.      Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang secara khusus menjadi bukti di akui tidaknya. (abu zahrah : 221)
3.      Al-ghazali berpendapat bahwa al- maslahah al mursalah adalah suatu metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.
4.      Asy-syatibi mengatakan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
Setelah di kemukakan beberapa pengertian al-mashlahah menurut beberpa ulama ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al-mashlahah dalam syari’at islam adalah setiap manfaat yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu’tabar (diakui) atau tidaknya manfaat itu.
2.6  Macam-Macam Mashlahah Al-Mursalah
Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “maslahah” dapat dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing-masing, baik dari sisi eksistensinya maupun muatan substansinya, yaitu :
1.      Dari sisi eksistensinya, maslahah terbagi menjadi tiga, yaitu:[15]
a)      Maslahah mu’tarabah
Yaitu maslahah yang keberadaannya diperhitungkan oleh syara’, seperti maslahah yang terkandung dalam masalah pensyari’atan hukum qias bagi pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia. Bentuk maslahah ini sebagian ulama dimasukkan kedalam kategori qiyas (analogis), misalnya hukum keharaman semua bentuk minuman yang memabukkan dengan dianalogikan pada khamr yang keharamannya telah dinash oleh al-qur’an.
b)     Maslahah mulghah
Yaitu maslahah yanng dibuang lantaran bertentangan dengan syara’ atau berarti maslahah yang lemah dan bertentangan dengan maslahah yang lebih utama. Bentuk ini lazimnya berhadapan secara kontraktif dengan bunyi nash, baik al-qur’an maupun hadis, seperti:
1)      Status maslahah yang terkandung dalam hak seorang istri menjatuhkan talak kepada suami, tetapi hal ini tidak diakui oleh oleh syara’, sebab hak menjatuhkan talaq hanya dimiliki seorang suami dan putusan ini di mungkinkan karena pertimbangan psikologis kemanusiaan
2)      Putusan seorang raja tentang denda kafarah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan hubungan sexual dengan istrinya disiang hari bulan romadhon. Bentuk maslahah disini, seorang raja dengan mudah akan dapat membayarnya, sehingga membuat ia berpindah pada denda berikutnya, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
c)      Maslahah mursalah
Yaitu maslahah yang didiamkan oleh syara’ dalam wujud tidak adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit atau kemaslahatan yang keberadaannya tidak disinggung-singgung oleh syara’ atau didiamkan, seperti pembukuan al-qur’an menjadi satu mushaf, sistem penjara bagi pelaku tindak pidana, pengadaan mata uang dengan sistem sirkulasinya dan lain sebagainya.
2.      Dari sisi muatan substansinya, maslahah dibagi  tiga yaitu:[16]
a)      Maslahah dlaruriyah
Yaitu maslahah yang berkaitan dengan penegakan atau kepentingan agama dan dunia, dimana tanpa kedatangannya akan menimbulkan cacat dan cela. Ini merupakan dasar utama bagi beberapa maslahah lain.



b)     Maslahah hajiyyah
Yaitu yang di butuhkan untuk menghilangkan kesukaran dalam keehidupan mukalaf dan memberikan kelonggaran. Ini merupakan penyangga dan penyempurna bagi kepentingan primer.
c)      Maslahah tahsiniyyah
Yaitu mengambil apa-apa yang sesuai dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara-cara yang tidak di senangi oleh orag baik dan bijak. Ini merupakan salah satu penopang bagi kepentingan hajiyyah.
Ketiga-tiganya membentuk satu struktur yang saling berhubungan dan juga menganalisis dua aspek dalam hubungan yang satu dengan yang lain, artinya pertimbangan unsur pelengkap (hajiyyah) tidak boleh membatalkan pada tujuan asal atau primer atau dlaruriyah.
Oleh sebab itu, maka pelengkap merupakan unsur penyempurna bagi kepentingan sekunder dan sekunder pelengkap dan penopang kepentingan primer. Inilah yang membuat tercetusnya lima ketentuan yaitu:[17]
1)      Maslahah dlaruriyah merupakan asal bagi semua kepentingan yang lain
2)      Kerusakan pada kepentingan primer, berarti suatu kerusakan bagi kepentingan yang lain secara mutlak
3)      Kerusakan pada kepentingan yang lain, tidak harus berarti merusak pada kepentingan primer
4)      Dalam kasus-kasus tertentu, kerusakan pada kepentingan sekunder atau pelengkap, dapat berakibat rusaknya kepentingan primer
5)      Perlindungan atas kepentingan skunder dan pelengkap, harus dilakukan untuk mencapai kepentingan primer.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi akomodasinya dengan komunitas lingkungan, mashlahah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)   Maslahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang, waktu dan lingkungan sosial, sebab obyek utamanya adalah mu’amalah (masalah sosial kemasyarakatan) dan hukum-hukum kebiasaan (adat).
2)   Maslahah yang berwatak konstan. Hal ini tidak dapat dirubah hanya karena perubahan lingkungan, sebab hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah mahdlah atau ritus keagaman.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam mensikapi persoalan kehujjahan teori Maslahah Mursalah, para ahli hukum islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disipli ilmu masing-masing, yaitu :[18]
1) Kelompok Syafi’iyah, Hanafiyah, sebagian Malikiyyah (seperti Ibnu Hajib) dan kelompok al-Dhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk untuk beristinbathil hukm al-syar’iy.
2)   Sebagian kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa Mashlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah dengan syarat harus memiliki semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli hukum Islam, seperti Imam Malik sendiri, dengan alasan tujuan Allah mengutus seorang rasul itu adalh untuk membimbing umat kepada kemaslahatan. Karena itu, Mashlahah merupakan salah satu yang pada hakikatnya dikehendaki oleh syara’ atau agama, sebab tujuan utama diadakannya hukum oleh Allah hanyalah untuk kepentingan ummat, baik dunia maupun akhirat.
Dari kedua pandangan tersebut, al-Qarafiy berpendapat bahwa pada dasarnya semua madzhab telah berhujjah dengan menggunakan teori Mashlahah Mursalah, sebab mereka sudah mengaplikasikan teori Qiyas, bahkan mereka sudah melakukan pembedaan antara satu dengan yang lain lantaran adanya ktentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Posisi para ulama dalam maslahah al-mursalah
Penerimaan imam malik dan pandangan para ulama
            Sebagaimana telah di jelaskan bahwa maslahah istishlah merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, di nyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang menggunakan al-maslahah al-mursalah karena tidak ada dalil yang mengisyaratkannya.
            Di antara para ulama, tidak ada seorangpun yang menyangkal paendapat tersebut kecuali imam malik. Di bawah ini akan di terangkan pendapat beberapa orang ulama dalam kitab ushul tentang al-maslahah al-mursalah:
1.      Al-amidi berkata dalam kitab al-ahkam, IV:140, ”para ulama dari golongan syafi’I, hanafi, dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali imam imam malik dan diapun tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap kemaslahatan, kecuali dalam kemaslahatan yang penting dan khusus secara qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
2.      Menurut ubnu hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu di sebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka imam al-ghazali memakainya, dia menerimanya dari asy-syafi’I dan malik. Namun, yang lebih utama adalah menolaknya.




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Ihtihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah Ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli (jelas)kepada kias khafi (yang tersembunyi). Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, ini ada empat:Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, nash, ‘urf (adat), darurat. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum.
Istishab yaitu menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dilihat dari bentuknya, istishab terbagi menjadi tiga: Istishab yang tidak mempunyai asal, Istishab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum/nash umum, Istishab yang telah disebutkan syara’. Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah  yang telah menetapkan hukum tersebut.
Menurut bahasa al-maslahah merupakan bentuk tunggal (mufrod) dari kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al- ‘arb menjelaskan dua arti, yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih dan semuanya itu mengandung arti adanya manfaat baik. Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “maslahah” dapat dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing-masing, baik dari sisi eksistensinya maupun muatan substansinya. Menurut al-Qarafiy berpendapat bahwa pada dasarnya semua madzhab telah berhujjah dengan menggunakan teori Mashlahah Mursalah.






DAFTAR PUSTAKA
Khallaf , Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Rineka Cipta: Jakarta
Koto, Allaidin 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Rajagrafindo Persada: Jakarta
Syariffudin , Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syafi’i ,Rachmat. 1998. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung
M. Zein , Satria Effendi, , 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta
Djalil , A. Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta
Syarifuddin , Amir, 2012. GarisGaris Besar Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta.
Syafe’i , Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. CV Pustaka Setia: Bandung
al-Hasyimiy, Muhammad Ma’shum Zainy. 2008.Ilmu Ushul Fiqh. Jombang:Darul Hikmah
Nashihuddin. Makalah Istihsan,Istishab, dan Maslahah Mursalah. http//:Mr. Nashihuddin’sblog.htm. Diakses pada tanggal 03 Maret 2014




[1] Abdul Wahab Khallaf. 2005. Ilmu Ushul Fikih Rineka Cipta: Jakarta, Hlm. 93.
[2] Allaidin Koto, 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Rajagrafindo Persada:Jakarta. Hlm. 105.
[3] Amir Syariffudin.2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, Hlm. 330.
[4] Rachmat Syafi’i. 1998. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung, Hlm. 112.
[5] Satria Effendi, M. Zein, 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta, Hlm. 145.
[6]Allaidin Koto, 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Rajagrafindo Persada:Jakarta. Hlm. 111
[7] Abdul Wahab Khallaf. 2005. Ilmu Ushul Fikih Rineka Cipta: Jakarta, Hlm. 93.
[8] A. Basiq Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta, hlm. 156.
[9] Nashihuddin. Makalah Istihsan,Istishab, dan Maslahah Mursalah. http//:Mr. Nashihuddin’sblog.htm. Diakses pada tanggal 03 Maret 2014
[10] Rachmat Syafi’i. 1998. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung, Hlm. 126.

[11]Amir Syarifuddin, 2012. GarisGaris Besar Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta. Hlm. 70.
[12] Rahmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010).hlm 117
[13] Ibid.hlm.118
[14] Ibid.hlm.120
[15] Muhammad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy. 2008.Ilmu Ushul Fiqh. Jombang:Darul Hikmah.hlm.118
[16] Ibid.hlm.119
[17] Ibid.hlm.120
[18] Ibid.hlm.120-121

0 komentar:

Posting Komentar