Istihsan, Istishab, dan Maslahah Mursalah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui, sumber
ajaran islam yang pertama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit
demi sedikit dimulai di Makkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah
Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika
itu.
Ternyata
tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan
pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan
para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala
sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh
hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum
dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan
demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para ulama
mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagai metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain. Dari dua sumber itu muncul dalil hukum yang disepakati dan tidak
disepakati. Dimana dalil yang tidak disepakati diperbedakan di kalangan ulama antara
lain tentang istihsan, istishhab, dan
maslahah-mursalah akan dibahas pada makalah ini.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Apa pengertian dari Istihsan?
B.
Apa saja macam-macam dan kehujjahan Istihsan serta
pendapat para ulama?
C.
Apa pengertian dari Istishab?
D.
Apa saja macam-macam dan kehujjahan Istishab serta
pendapat para ulama?
E.
Apa pengertian dari maslahah-mursalah?
F.
Apa saja macam-macam dan kehujjahan maslahah-mursalah serta pendapat para ulama?
1.3
Tujuan
A.
Memahami pengertian dari Istihsan.
B.
Mengetahui macam-macam dan kehujjahan Istihsan serta
pendapat para ulama.
C.
Memahami pengertian dari Istishab.
D.
Mengetahui macam-macam dan kehujjahan Istishab serta pendapat
para ulama.
E.
Memahami pengertian dari maslahah-mursalah.
F.
Mengetahui macam-macam dan kehujjahan maslahah-mursalah serta pendapat para ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Istihsan
Ihtihsan
menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang baik. Menurut istilah
Ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid dari kias jalli
(jelas)kepada kias khafi (yang tersembunyi). Atau dari hukum kulli
kepada hukum istisnai. Di sini terdapat kecenderungan yang lebih kuat untuk
mencela perbandingan yang dikemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak
berdasarkan nash. Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama,
terang-terangan memperlakukan hukum. Dan Kedua, secara sembunyi-sembunyi. Di
sini mujtahid itu sendiri yang menegakkan dalil, untuk menguatkan bentuk yang
sembunyi sembunyi itu. Membentulkan bentuk pandangan zahir. Ini namanya menurut
syar’i istihsan. Begitu juga jika dia itu hukum kulli. Mujtahid itu sendiri yang
mengemukakan dalil, bahwa istisna itu adalah perincian dari hukum kulli.
Dihukum kepadanya dengan hukum lain. Ini juga menurut syari’at, dinamakan
istihsan.[1]
Jadi
ciri-ciri istihsan ada dua:
a. Pindah dari qiyas jali ke qiyas khafi,
karena dalil/alasan yang mengharuskan pemindahan itu. Ulama menamakannya qiyas
khafi/istihsan qiyas. Contohnya, jika orang mewakafkan sebidang tanah
pertanian, menurut istihsan hak-hak yang bersangkutan dengan tanah itu (seperti
hak mengairi, hak membuat saluran, dan membuat lorong di atas tersebut) sudah
tercakup di dalamnya secara langsung, sebagaimana dalam perikatan jual-beli.
Adapun dari segi istihsannya dalam kasus
ini adalah bahwa tujuan berwakaf yaitu untuk memberikan manfaat sesuatu barang
yang diwakafkan kepada pihak yang diberi wakaf. Pemanfaatan tanah pertanian
seperti yang disebut dalam contoh di atas tidak akan tercapai kalau hak-hak
yang berkaitan dengan pengelolaan tanah tersebut tidak mengikuti hukum
tanahnya. Jadi sekalipun hak-hak tersebut tidak dinyatakan secara rinci saat
diucapkan, tapi sudah mengikuti ketentuan wakaf, sama halnya dalam perjanjian
sewa-menyewa tanah.
Dalam contoh diatas, menurut qiyas jali,
wakaf itu identik dengan jual-beli karena kedua bentuk aktivitas tersebut
sama-sama mengandung adanya unsur pelepasan hak milik dari pemilik barang
kepada orang lain. Sedangkan menurut qiyas khafi, waqaf itu identik dengan
sewa-menyewa karena yang menjadi tujuan dalam dua bentuk aktivitas tersebut
adalah manfaat dari apa yang diperjual-belikan atau yang diwakafkan. Sehingga
semua hak itu sudah termasuk di dalamnya, sekalipun tidak disebutkan secara
terperinci dan begitu juga pada kasus wakaf di atas.
b. Pindah dari hukum kulli ke hukum juzi,
karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh ulama Hanafi
disebut istihsan dharurat karena penyimpangan tersebut dilakukan secara
terpaksa dengan maksud menghadapi keadaan yang mendesak/untuk menghindari
kesulitan. Contohnya, syara’melarang transaksi dan memperjualbelikan
barang-barang yang belum ada pada saat transaksi dilakukan. Namun menurut
istihsan syara’ memberi dispensasi (rukhshsh) diperkenankannya praktik salam
(jual-beli dengan pembayaran terlebih dahulu, tapi barangnya dikirim kemudian)
dan istishna’(memesan untuk melakukan sesuatu/inden). Kedua bentuk transaksi
ini adalah bagian betuk transaksi dagang, tapi barang yang disebut belum ada.
Hukum kulli
pada contoh ini yaitu tidak sahnya memperjualbelikan barang yang belum terwujud
pada saat perikatan atau transaksi terjadi. Namun transaksi itu sangat
dibutuhkan dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka dikecualikanlah
dari hukum kulli tersebut suatu hukum juz-I, yaitu transaksi dalam bentuk salam
dan istishna’. Segi istihsannya dalam hal ini adalah kebutuhan dan kebiasaan
masyarakat. Jadi, jika praktik salam dan istishna’ tidak dibenarkan, masyarakat
akan mendapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari,karena
kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang dibutuhkan masyarakat tersedia di
pasaran pada saat transaksi dilakukan, sehingga perlu dipesan terlebih dahulu.[2]
Macam-Macam Istihsan
Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan
untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, ini ada empat:
a.
Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama Karen ia
menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu memiliki
kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara
seperti ini oleh si mujahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan hukum. Jadi menggunakan istihsan
berarti berdalil dengan qiyas khafi. Ini disebut istihsan qiyas.
Misalnya,
dalam wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual
beli karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah
tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah
tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah tersebut
tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Dan
menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa menyewa, karena maksud
dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan.
Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati tanah pertanian itu atau hak
mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut termasuk kedalam akad wakaf,
sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
b.
Istihsan yang sandarannya adalah nash. Di sini si mujahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan
qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu
tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat
ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi,
kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa
ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
c.
Istihsan yang sandarannya adalah ‘urf (adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang
bersifat umum tapi dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan
yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Contohnya seperti menyewa wanita
untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.
d.
Istihsan yang sandarannya
adalah darurat.dalam hal ini
si mujahid tidak menggunakan adanyadalil
yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki
pengecualian. Misalnya dalam kasus
sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit
dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur
yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah
mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis tersebut
cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu, karena keadaan
dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan
air untuk ibadah.[3]
Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
1.
Ulama Hanafiyah
Abu
Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu
pula dalam keterangan yang ditulis dalam
beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan.
Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang
menyangkut istihsan.
2.
Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi
berkata bahwa sesunguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu
Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan istihsan.
3.
Ulama Hanabilah
Dalam
beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya
istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Tapi,
Al-jalal Al Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu
diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di
dalamnya golongan Hanabillah.
4.
Ulama Syafi’iyah
Golongan
Al Syfi’I secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya
sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’I berkata “Barang siapa yang menggunakan
istihsan berarti dia telah membuat syari’at”. Beliau juga berkata, “Segala
urusan itu telah diatur oleh Allah SWT. setidaknya ada yang menyerupainya jadi
dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”[4]
Ada
Perbedaan lagi mengenai Pendapat Ulama mengenai Istihsan:
1)
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat
dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain:
a.
Firman Allah:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
“ Yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka
Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal.”
Ayat tersebut menurut mereka, memuji orang-orang yang mengikuti
perkataan yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu
yang dianggap baik dan oleh karena itu sah dijadikan landasan hukum.
b.
Sabda Rasulullah:
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam adalah juga
baik disisi Allah (HR. Ahmad dalam kitab
Sunnah, bukan dalam musnadnya)”.
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa
yang dianggap baik oleh orang-orang Islam karena merupakan sesuatu yang baik di
sisi Allah. Dapat dijadikan landasan menetapkan hukum.
2)
Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H), pendiri mazhab
syafi’i, tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan
sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu. Alasannya antara lain:
a.
Ayat 38 Surat Al-An’am:
$tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wur 9ȵ¯»sÛ çÏÜt Ïmøym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé& Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4n<Î) öNÍkÍh5u crç|³øtä ÇÌÑÈ
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat
(juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.”
b.
Ayat 44 surat An-Nahl:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“ Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.”
c.
Ayat 49 Surat Al-Maidah:
Èbr&ur Nä3ôm$# NæhuZ÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# wur ôìÎ7®Ks? öNèduä!#uq÷dr& öNèdöx÷n$#ur br& qãZÏFøÿt .`tã ÇÙ÷èt/ !$tB tAtRr& ª!$# y7øs9Î) ( bÎ*sù (#öq©9uqs? öNn=÷æ$$sù $uK¯Rr& ßÌã ª!$# br& Nåkz:ÅÁã ÇÙ÷èt7Î/ öNÍkÍ5qçRè 3 ¨bÎ)ur #ZÏWx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# tbqà)Å¡»xÿs9 ÇÍÒÈ
“ Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah
diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah
diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan
Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat pertama di atas, menurut Imam syafi’i menegaskan kesempurnaan
Al-Qur’an untuk menjawab segala sesuatu. Ayat kedua menjelaskan bahwa disamping
Al-Qur’an ada Sunnah Rasulullah untuk menjelaskan dan memerinci hukum-hukum
yang terkandung dalam Al-Qur’an jadi lebih lengkap untuk menjadi rujukan
menetapkan hukum sehingga tidak lagi memerlukan istihsan yang merupakan
kesimpulan pribadi. Lalu ayat yang ketiga, menurut Imam Syafi’i, memerintahkan
manusia untuk mengikuti petunjuk Rasul-Nya serta larangan mengikuti kesimpulan
hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu,
sehingga tidak sah dijadikan landasan hukum.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, adanya perbedaan pendapat tersebut
disebabkan perbedaan dalam mengartikan istihsan. Imam Syafi’i membantah
istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa berdasarkan dalil syara’.
Sedangkan istihsan yang dipakai oleh para penganutnya bukan didasarkan pada
hawa nafsu tapi mentarjih (menganggap kuat) salah satu dari dua dalil yang
bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau tujuan pembentukan
hukumnya.
Jadi, sasaran dari kritikan Imam Syafi’i, bukanlah istihsan yang
telah dirumuskan secara definitif di kalangan penganutnya, tetapi sasarannya
adalah praktik-praktik istihsan yang ada di Irak dimana secara ilmiah belum
dirumuskan secara definitif.[5]
2.2 Pengertian
Istishhab
Kata istishab
secara etimologi adalah meminta ikut serta secara terus menerus. Dalam peristilahan ahli ushul, istishab yaitu menetapkan hukum
menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Juga
bisa diartikan sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah
ketentuan itu.[6]
Pernah mujtahid itu ditanya orang tentang hukum perjanjian , atau
tasaruf (tindakan dalam suatu urusan). Tidak terdapat nash dalam Al-Qur’an dan
sunnah , dan tidak ada dalil syar’I yang dapat dirangkaikan kepada hukumnya
menurut hukum, apakah diperbolehkannya perjanjian ini? Hal ini menurut apa yang dijanjikan Allah,
terhadap segala apa yang ada di bumi ini. Hal ini diperbolehkan sedemikian
adanya, sebelum ada dalil yang mengubahnya. Sesuatu itu pada prinsipnya
diperbolehkan. Pernah orang bertanya kepada seorang mujtahid tentang hukum yang
bersangkut dengan hewan, benda padat, tumbuh-tumbuhan. Baik yang berupa
makanan, maupun minuman. Atau salah satu dari tindakan dan perbuatan yang tidak
pernah diatur oleh dalil syari’at. Bagaimana hukumnya? Dalam hal ini hukum
memperbolehkan. Kalau tidak ada dalil untuk mengubahnya maka sesuatu itu tetap
diperbolehkan. Yang menjadi pokok sesuatu itu diperbolehkan. Allah berfirman
dalam AlQur’an.
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# .$YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Dia-lah Allah, yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Banyak ayat dalam
Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menjadikan untuk manusia, apa yang berada
di langit dan yang di bumi. Gunanya itu tidak lain selain dari diperbolehkan.
Kalau berbahaya, maka sudah barang tentu tidak diperbolehkan.[7]
2.3
Macam-Macam Istishab
Dilihat
dari bentuknya, istishab terbagi menjadi tiga:
a.
Istishab yang tidak mempunyai asal. Yaitu sesuatu yang akal menetapkan bahwa hal tersebut tidak
mempunyai asal, lagi pula syara’ tidak menetapkannya. Contohnya, akal
menetapkan bahwa shalat wajib, tidak ada enam, dalil yang menetapkannya.
b.
Istishab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum/nash umum, sampai ada dalil yang mengkhususkannya/dalil yang
me-naskh-nya/yang menghapusnya. Maksudnya, yang menentukan berlakunya keumuman
satu hukum hingga sekarang adalah dengan jalan istishab.
c.
Istishab yang telah disebutkan syara’, yang tetap dan kekalnya karena telah disebutkan sebabnya. Seperti
tetapnya adanya kepemilikan seseorang terhadap sesuatu bila ada sebabnya, yaitu
jual beli.
Golongan ulama yang menolak menerima istishab sebagai sumber hukum,
termasuk mazhab Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa untuk menetapkan
diteruskannya keberlakuan suatu hukum yang lalu untuk sekarang, haruslah dengan
dalil.
Dari istishab ini tumbuhlah istilah/kaidah fiqih yang artinya
“keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan syak”. Misalnya, orang yang yakin
bahwa ia tlah berwudhu, lalu ragu-ragu apakah wudhunya telah batal/belum. Dalam
hal tersebut dia harus berpegang pada yang yakin, yaitu telah berwudhu, jadi
boleh langsung melakukan shalat tanpa harus wudhu lagi.[8]
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu
ada lima macam. Yaitu:
1.
Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya,
menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama
belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan
yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2.
Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu
kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks
hukum-hukum syar’i. Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan
adanya peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada
hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut
aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah
dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil yang tegas
mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya.
3.
Istishab Al-‘Umumi. Istishab
terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang
membatal-kannya). Suatu nash yang umum mencakup segala yang dapat
dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang menghilangkan
tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu hukum yang
umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil
yang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi
umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183)
selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
1.
Istishab An-Nashshi (Istishab
Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam
menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk
sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan
ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara
spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku
sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh:
kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad
kemarin berada di tempat ini?, padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad
disini. Maka ia jawab, benar ia berada disini kemarin.
2.
Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang
telah diyakini adanya, atau tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum
demikian sehingga diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul
madhi bilhali yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa
sekarang. Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus
yang dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh:
Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air. Menurut
ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu ditentukan sebelum
melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada keberlanjutan ketetapan hukum,
sampai ditemukan adanya dalil yang menunjukkan batalnya penetapan tersebut.[9]
Kehujjahan Istishhab dan Pandangan Para Ulama
Istishhab yaitu akhir dari syara’ yang dijadikan tempat kembali
bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya.
Ulama ushul berkata, “Sesungguhnya istishhab ialah akhir tempat beredarnya
fatwa.”Yaitu mengetahui sesuatu menurut
hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang
mengubahnya. Ini adalah dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi
manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Seseorang yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan
atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan
adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud
sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan
barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya
sampai terdapat dalil yang menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan
misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdsarkan sebab beberapa kepemilikan.
Maka kepemilikan itu dianggap ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan
tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami istri sebab akad
pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu.
Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab
ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada yang menghapuskannya.
Tanggungan yag telah dibebaskan dari orang yang terkena tuntutan utang piutang
atau ketetapan apa saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang
membebaskannya, Singkatnya, asal sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang
telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat,
antara lain sebagai berikut, “Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut
keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai
dengan kaidah
اَ لأَ صلُ في
الأشياَءِ الإِ باَ حَةٌ
Artinya: “Asal segala sesuatu adalah kebolehan.”
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil
hukum karena hakikatnya dalillah yang
telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada lain adalah menetapkan
dalalah dalil pada hukumnya.[10]
Pada umumnya ulama ushul fiqh menempatkan istishab sebagai dalil
hukum, kecuali dalam beberapa bentuk istishab dalil akal hanya diakui oleh
ulama Mu’tazilah, dalam hal istishab sifat ulama Hanafiyahhanya
memberlakukannya untuk mempertahankan hukum yang ada dan menolaknya untuk
menetapkan hukum baru. Sementara sebagian ulamatidak memberlakukan istishab sebagai
dalil umum. Ulama yang mengamalkan istishabmendasarkan pendapatnya pada
beberapa hadis Nabi dan menambahkannya pada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:[11]
اليقين لا يزا ل
بالشك
“Sesuatu yang diyakini tidak dapat
dihilangkan denganhal yang meragukan.”
2.4
Pengertian Maslahah Al- Mursalah
Pengertian maslahah al- mursalah menurut bahasa
Menurut bahasa al-maslahah merupakan bentuk tunggal (mufrod) dari
kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al- ‘arb menjelaskan dua arti,
yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk
tunggal dari al-mashalih dan semuanya itu mengandung arti adanya manfaat baik
secara asal maupun melalui proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah,
ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan dan penyakit.
Semuanya itu bisa di katakan mashlahah.[12]
Manfaat yang di maksud oleh pembuat hukum syara’ (allah) adalah
sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai
ketertiban nyata antara pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan
kepada kenikmatan. Dengan kata lain, tahsil al-ibqa. Tahsil adalah penghimpunan
kenikmatan secara langsung, sedangkan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan
tersebut dengan cara menjaganya dari kemudhorotan dan sebab-sebabnya.
Dengan demikian mashlahah al-mursalah adalah suatu kemasalahatan
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika
terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat
yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut,
kemudian di temukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni sesuatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau untuk menyatakan
suatu manfaat, maka kejadian tersebut di namakan maslahah al- mursalah. Tujuan
utama dari maslahah al- mursalah adalah keselamatan; yakni memelihara dari
kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Pengertian maslahah al- mursalah menurut istilah
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama’ menggunakan istilah al-
mashlahah al- mursalah itu dengan kata al- munasib al- mursal. Ada pula yang
menggunakan al- istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al- istidlal
al- mursal. Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama memiliki satu tujuan,
masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda. Setiap hukum yang didirikan
atas dasar maslahat dapat di tinjau dari tiga segi, yaitu: [13]
a.
Melihat mashlahah yang terdapat pada kasusyang di persoalkan.
Misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad di masa
sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, kemashlahatan
tersebut tidak di dasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan
akte nikah tersebut. Kemaslahatan di tinjau dari sisi ini di sebut al- maslahah
al- mursalah (masalah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan
petunjuk-petunjuk umum syariat.
b.
Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al- washf al-
munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu
kemaslahatan.Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai
dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan .akan tetapi
,sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus.oleh karena itu ,dari
sisi ini ia disebut al-munasib Al-mursal (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang
terlepas dari dalil syara’ yang khusus)
c.
Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang
ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa
hal itu diakui sah oleh salah satu tujuan syara’. Proses seperti ini disebut
istishlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai
istilah al- Mashlahah al-mursalah. Istilah ini yang paling terkenal. Bila
ditinjau dari segi yang kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal.istilah
tersebut digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi (Al- Qadhi Al- Baidhawi : 135).
Untuk segi yang ketiga dipakai istilah
al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab Al- Mustasyfa (Al-Ghazali
:311),atau dipakai istilah al – isti’dal al-mursal, seperti yang dipakai
Al-syatibi dalam kitab Al- Muwafaqat (Al- Muwafaqat, juz 1 : 39).
Walaupun para ulama’ berbeda-beda dalam memandang al- maslahah al-
mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya
terdapat tujuan syara’ secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara
khusus menerima atau menolaknya.
Ada beberapa pandangan para ulama tentang hakikat dan pengertian
al- maslahah al- mursalah, yakni:[14]
1.
Abu nur Zuhair berpendapat al-maslahah al- mursalah adalah suatu
sifat yang sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh
syara’. (muhammad Abu Nur Zuhair, IV : 185)
2.
Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang sesuai
dengan maksud-maksud pembuat hukum (allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar
yang secara khusus menjadi bukti di akui tidaknya. (abu zahrah : 221)
3.
Al-ghazali berpendapat bahwa al- maslahah al mursalah adalah suatu
metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara’ yang tidak merupakan dalil
tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia tidak keluar dari nash syara’.
4.
Asy-syatibi mengatakan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah setiap
prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan
tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
Setelah di kemukakan beberapa pengertian al-mashlahah menurut
beberpa ulama ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al-mashlahah
dalam syari’at islam adalah setiap manfaat yang tidak didasarkan pada nash
khusus yang menunjukkan mu’tabar (diakui) atau tidaknya manfaat itu.
2.6 Macam-Macam Mashlahah
Al-Mursalah
Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “maslahah” dapat
dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing-masing, baik dari
sisi eksistensinya maupun muatan substansinya, yaitu :
1.
Dari sisi eksistensinya, maslahah terbagi menjadi tiga, yaitu:[15]
a)
Maslahah mu’tarabah
Yaitu maslahah yang keberadaannya diperhitungkan oleh syara’,
seperti maslahah yang terkandung dalam masalah pensyari’atan hukum qias bagi
pembunuhan sengaja, sebagai simbol pemeliharaan jiwa manusia. Bentuk maslahah
ini sebagian ulama dimasukkan kedalam kategori qiyas (analogis), misalnya hukum
keharaman semua bentuk minuman yang memabukkan dengan dianalogikan pada khamr
yang keharamannya telah dinash oleh al-qur’an.
b)
Maslahah mulghah
Yaitu maslahah yanng dibuang lantaran bertentangan dengan syara’
atau berarti maslahah yang lemah dan bertentangan dengan maslahah yang lebih
utama. Bentuk ini lazimnya berhadapan secara kontraktif dengan bunyi nash, baik
al-qur’an maupun hadis, seperti:
1)
Status maslahah yang terkandung dalam hak seorang istri menjatuhkan
talak kepada suami, tetapi hal ini tidak diakui oleh oleh syara’, sebab hak
menjatuhkan talaq hanya dimiliki seorang suami dan putusan ini di mungkinkan
karena pertimbangan psikologis kemanusiaan
2)
Putusan seorang raja tentang denda kafarah berpuasa dua bulan berturut-turut
sebagai ganti dari denda memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan hubungan
sexual dengan istrinya disiang hari bulan romadhon. Bentuk maslahah disini,
seorang raja dengan mudah akan dapat membayarnya, sehingga membuat ia berpindah
pada denda berikutnya, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
c)
Maslahah mursalah
Yaitu maslahah yang didiamkan oleh syara’ dalam wujud tidak adanya
pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit atau kemaslahatan yang
keberadaannya tidak disinggung-singgung oleh syara’ atau didiamkan, seperti
pembukuan al-qur’an menjadi satu mushaf, sistem penjara bagi pelaku tindak
pidana, pengadaan mata uang dengan sistem sirkulasinya dan lain sebagainya.
2.
Dari sisi muatan substansinya, maslahah dibagi tiga yaitu:[16]
a)
Maslahah dlaruriyah
Yaitu maslahah yang berkaitan dengan penegakan atau kepentingan
agama dan dunia, dimana tanpa kedatangannya akan menimbulkan cacat dan cela.
Ini merupakan dasar utama bagi beberapa maslahah lain.
b)
Maslahah hajiyyah
Yaitu yang di
butuhkan untuk menghilangkan kesukaran dalam keehidupan mukalaf dan memberikan
kelonggaran. Ini merupakan penyangga dan penyempurna bagi kepentingan primer.
c)
Maslahah tahsiniyyah
Yaitu mengambil apa-apa yang sesuai dengan apa yang terbaik dari
kebiasaan dan menghindari cara-cara yang tidak di senangi oleh orag baik dan
bijak. Ini merupakan salah satu penopang bagi kepentingan hajiyyah.
Ketiga-tiganya membentuk satu struktur yang saling berhubungan dan
juga menganalisis dua aspek dalam hubungan yang satu dengan yang lain, artinya
pertimbangan unsur pelengkap (hajiyyah) tidak boleh membatalkan pada tujuan
asal atau primer atau dlaruriyah.
Oleh sebab itu, maka pelengkap merupakan unsur penyempurna bagi
kepentingan sekunder dan sekunder pelengkap dan penopang kepentingan primer.
Inilah yang membuat tercetusnya lima ketentuan yaitu:[17]
1)
Maslahah dlaruriyah merupakan asal bagi semua kepentingan yang lain
2)
Kerusakan pada kepentingan primer, berarti suatu kerusakan bagi
kepentingan yang lain secara mutlak
3)
Kerusakan pada kepentingan yang lain, tidak harus berarti merusak
pada kepentingan primer
4)
Dalam kasus-kasus tertentu, kerusakan pada kepentingan sekunder
atau pelengkap, dapat berakibat rusaknya kepentingan primer
5)
Perlindungan atas kepentingan skunder dan pelengkap, harus
dilakukan untuk mencapai kepentingan primer.
Akan tetapi jika dilihat dari sisi akomodasinya dengan komunitas
lingkungan, mashlahah terbagi menjadi dua, yaitu :
1)
Maslahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang, waktu dan
lingkungan sosial, sebab obyek utamanya adalah mu’amalah (masalah sosial
kemasyarakatan) dan hukum-hukum kebiasaan (adat).
2)
Maslahah yang berwatak konstan. Hal ini tidak dapat dirubah hanya
karena perubahan lingkungan, sebab hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan
ibadah mahdlah atau ritus keagaman.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Dalam mensikapi persoalan kehujjahan teori Maslahah Mursalah, para
ahli hukum islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disipli ilmu
masing-masing, yaitu :[18]
1)
Kelompok Syafi’iyah, Hanafiyah, sebagian Malikiyyah (seperti Ibnu
Hajib) dan kelompok al-Dhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak
dapat dijadikan sebagai hujjah untuk untuk beristinbathil hukm al-syar’iy.
2)
Sebagian kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa
Mashlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah dengan syarat harus memiliki
semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli hukum Islam, seperti
Imam Malik sendiri, dengan alasan tujuan Allah mengutus seorang rasul itu adalh
untuk membimbing umat kepada kemaslahatan. Karena itu, Mashlahah merupakan salah satu yang pada hakikatnya
dikehendaki oleh syara’ atau agama, sebab tujuan utama diadakannya hukum oleh
Allah hanyalah untuk kepentingan ummat, baik dunia maupun akhirat.
Dari kedua pandangan tersebut, al-Qarafiy berpendapat bahwa pada
dasarnya semua madzhab telah berhujjah dengan menggunakan teori Mashlahah
Mursalah, sebab mereka sudah mengaplikasikan teori Qiyas, bahkan mereka sudah
melakukan pembedaan antara satu dengan yang lain lantaran adanya
ktentuan-ketentuan hukum yang mengikat.
Posisi para ulama dalam maslahah
al-mursalah
Penerimaan imam malik dan pandangan para
ulama
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa
maslahah istishlah merupakan permasalahan yang menjadi bahan perdebatan di
kalangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang lebih kuat, di nyatakan bahwa
tidak sah mengambil masalah yang menggunakan al-maslahah al-mursalah karena
tidak ada dalil yang mengisyaratkannya.
Di
antara para ulama, tidak ada seorangpun yang menyangkal paendapat tersebut
kecuali imam malik. Di bawah ini akan di terangkan pendapat beberapa orang
ulama dalam kitab ushul tentang al-maslahah al-mursalah:
1. Al-amidi berkata dalam kitab al-ahkam,
IV:140, ”para ulama dari golongan syafi’I, hanafi, dan lain-lain telah sepakat
untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali imam imam malik dan diapun
tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para ulama tersebut sepakat untuk
tidak memakai istishlah dalam setiap kemaslahatan, kecuali dalam kemaslahatan
yang penting dan khusus secara qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam
kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
2. Menurut ubnu hajib, sesuatu yang tidak ada
dalilnya itu di sebut mursal. Akan tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya
maka dalil itu tertolak secara sepakat. Adapun bila dalilnya sesuai, maka imam
al-ghazali memakainya, dia menerimanya dari asy-syafi’I dan malik. Namun, yang
lebih utama adalah menolaknya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ihtihsan menurut bahasa adalah mengembalikan sesuatu kepada yang
baik. Menurut istilah Ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid
dari kias jalli (jelas)kepada kias khafi (yang tersembunyi). Ditinjau dari segi
sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan
oleh mujtahid, ini ada empat:Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, nash, ‘urf (adat), darurat. Mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan
dalam menetapkan hukum.
Istishab
yaitu menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil
yang mengubahnya. Dilihat dari
bentuknya, istishab terbagi menjadi tiga: Istishab
yang tidak mempunyai asal, Istishab yang
berbentuk ketentuan-ketentuan umum/nash umum, Istishab
yang telah disebutkan syara’. Istishhab bisa dijadikan dalil hukum karena
hakikatnya dalillah yang telah
menetapkan hukum tersebut.
Menurut bahasa al-maslahah merupakan bentuk tunggal (mufrod) dari
kata al-mashalih. Pengarang kamus lisan al- ‘arb menjelaskan dua arti,
yaitu al-mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk
tunggal dari al-mashalih dan semuanya itu mengandung arti adanya manfaat baik. Para
ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “maslahah” dapat dibagi menjadi
beberapa bagian menurut sudut pandang masing-masing, baik dari sisi eksistensinya
maupun muatan substansinya. Menurut al-Qarafiy
berpendapat bahwa pada dasarnya semua madzhab telah berhujjah dengan
menggunakan teori Mashlahah Mursalah.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf , Abdul
Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Rineka Cipta: Jakarta
Koto, Allaidin
2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Rajagrafindo Persada: Jakarta
Syariffudin , Amir.
2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syafi’i ,Rachmat.
1998. Ilmu Ushul Fiqh. Pustaka Setia: Bandung
M. Zein , Satria
Effendi, , 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta
Djalil , A.
Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta
Syarifuddin , Amir,
2012. GarisGaris Besar Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta.
Syafe’i
, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. CV Pustaka Setia: Bandung
al-Hasyimiy, Muhammad Ma’shum Zainy.
2008.Ilmu Ushul Fiqh. Jombang:Darul Hikmah
Nashihuddin. Makalah Istihsan,Istishab, dan Maslahah Mursalah.
http//:Mr. Nashihuddin’sblog.htm. Diakses pada tanggal 03 Maret 2014
[1] Abdul Wahab Khallaf. 2005. Ilmu Ushul Fikih Rineka Cipta: Jakarta,
Hlm. 93.
[3] Amir Syariffudin.2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, Hlm. 330.
[4] Rachmat Syafi’i. 1998. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung, Hlm.
112.
[5] Satria Effendi, M. Zein, 2005. Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta, Hlm. 145.
[6]Allaidin Koto, 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Rajagrafindo Persada:Jakarta.
Hlm. 111
[7] Abdul Wahab Khallaf. 2005. Ilmu Ushul Fikih Rineka Cipta: Jakarta,
Hlm. 93.
[8] A. Basiq Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Kencana: Jakarta, hlm. 156.
[9] Nashihuddin. Makalah Istihsan,Istishab, dan Maslahah Mursalah.
http//:Mr. Nashihuddin’sblog.htm. Diakses pada tanggal 03 Maret 2014
[10] Rachmat Syafi’i. 1998. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia: Bandung, Hlm.
126.
[12] Rahmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih.(Bandung:CV Pustaka Setia,2010).hlm
117
[13] Ibid.hlm.118
[14] Ibid.hlm.120
[16] Ibid.hlm.119
[17] Ibid.hlm.120
[18] Ibid.hlm.120-121
0 komentar:
Posting Komentar