Senin, 13 April 2015

MAKALAH USHUL FIQIH


kedudukan Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Tapi dalam hal ini kami akan membahas sumber yang meliputi Al qur’an dan Al hadis. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca umunya, dan bagi penulis khususnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian Al Qur’an dan AS sunnah?
2.      Bagaimanakah kedudukan Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum islam?

C.     Tujuan
1.      Agar mengerti dari hakekat Al Qur’an dan AS sunnah.
2.      Agar dapat memahami fungsi dari Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Al qur’an
1.      Definisi Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “qara’a” yang bisa dimasukkan wazan fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, seperti terdapat dalam surat Al-Qiyamah (75) : 17-18 :

¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”[1]
           
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminologi, menurut sebagian besar ulama ushul Fiqh adalah sebagai berikut: “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf : dimulai dari surat Al-fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”

Dari definisi di atas para ulama ushul fiqh menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: (Asy-Syaukani : 26-27) :

a.       Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW.  Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dinamakan Al-Qur’an, seperti Zabur, Taurat dan Injil.  Ketiga kitab tersebut memang termasuk diantara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga tidak dapat disebut Al-Qur’an.

b.      Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa arab Quraisy.  Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: As-Syu’ara(26) : 192-195 ; Yusuff(12): 2 ;Az-Zumar(39):28; An-Nahl(16):103; dan Ibrahim(14):4, maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya.  Dan tidak sah shalat dengan hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an, sekalipun ulama hanafiyah membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat rukhshah (keringanan hukum).

c.       Al-Qur’an ini dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang.  Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun. (Al-Bukhari :24).

d.      Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.

e.       Al-Qur’an dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.  Tata urutan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW, tidak boleh diubah dan diganti letaknya.  Dengan demikian, doa-doa yang biasanya ditambahkan di akhir Al-Qur’an, tidak termasuk Al-Qur’an.[2]
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya(mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan rasul dengan perantaran malaikta Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir(oleh orang banyak) serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.

Definisi tersebut telah disepakati oleh para ulama dan ahli ushul.  Allah menurunkan Al-Qur’an agar dijadikan Undang-undang bagi umat manusia dan petunjuk atas kebenaran Rasul dan penjelasan atas kenabian dan kerasulannya.  Juga sebagai alasan (hujjah) yang kuat di hari kemudian bahwa Al-Qur’an itu benar-benar diturunkan dari Zat Yang Maha Bijaksana lagi terpuji.  Nyatalah bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi yang menundukkan semua generasi dan bangsa sepanjang masa.[3]

2.      Keotentikan Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat.  Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.  Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kamilah Pemelihara-PemeliharaNya) Q.S. Al-Hijr : 9

 $¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ    
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S Q.S. Al-Hijr : 9)
     Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia.  Dengan jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Qur’an tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oelh Rasulullah SAW, dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW.[4]

3.      Kehujjahan Al-Qur’an menurut pandangan ulama Imam madzhab

a.      Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam.  Namun, menurut sebagian besar ulama Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya saja.  Diantar dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab, misalnya dengan bahasa Persi walaupun tidak dalam keadaan madharat.  Padahal menurut Imam Syafi’I sekalipun seorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan selain Arab.

b.      Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah Swt. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.  Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.  Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an (dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu”

Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT.  Maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwattha dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in.  Dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunaka ra’yu.

Berdasarkan ayat 7 surat Al-Imran, petunjuk lafadz yang terdapat dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat.  Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.

Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafadz dan nash.  Imam Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafadz nash itu adalah lafadz yang menunjukan makna yang jelas dan tegas (Qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, sedangkan lafadz zahir adalah lafadz yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain.  Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafadz nash di dahulukan daripada lafadz zahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qoth’i , sedangkan dilalah zahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu di ingat adalah makna zahir disini adalah makna zahir menurut pengertian Imam Malik.
c.       Pandangan Imam Syafi’i

Imam Syafi’I sebagaimana para ulama’ lainnya, menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an” (Asy-Syafi’I, 1309:20). Oleh karena itu, Imam Syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, metode deduktif.

Namun Imam Syafi’I menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As Sunnah, karena kaitan antar keduannya sangat erat sekali. Kalau para ulama’ lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Qur’an kemudian As Sunnah, maka Imam Syafi’I berpendapat bahwa sumber hukum Islam pertama itu Al-Qur’an dan As Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.

Sebenarnya Imam Syafi’I pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-Qur’an dan As Sunnah berada dalam satu martabat, namun kedudukan As Sunnah itu setelah Al-Qur’an tapi Imam Syafi’I menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As Sunnah merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al-Qur’an.

Kemudian Imam Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan dalam Al-Qur’an terdapat bahasa ‘Ajam (luar Arab) diantara pendapatnya Firman Allah SWT yang artinya “Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an berbahasa Arab”.

Dengan demikian, tak heran bila Imam Syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam sholat, nikah, dan ibadah-ibadah yang lainnya dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan mengistinbat hukum dari Al-Qur’an (Abu Zahrah: 191-197).

d.      Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Al-Qur’an merupakan sumber dan tianngnya syariat islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidaka akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat.[5]  Al-Qur’an juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam. 

Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun, seperti halnya Imam Syafi’I, Imam Hambali memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an, sehingga tak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an, Imam Hambali betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunnah (Nabi Muhammad SAW.), dan sikapnya dapat diklasifiksaikan menjadi tiga :

1)      Sesungguhnya zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunnah
2)      Rasulullah SAW saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an, karena As-Sunnah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
3)      Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabat lah yang dipakai, karena mereka lah yang menyaksikkan turunnya Al-Qur’an dan mendengarkan takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunnah yang mereka gunakan sebagai penafsir Al-Qur’an. 

4.      Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an

Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud (kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada qira’ah mutawattir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang di dengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengan jalan membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri.[6] Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qira’at gair mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya itu adalah Abdullah Ibn Mas’ud.

Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu dapat di bagi menjadi dua bagian:

a.       Nash yang Qath’I dilalah-nya
Nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain diluar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak 100 kali dera dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal tersebut maknanya tegas dan jelas menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972:35).

b.      Nash yang Dzanni dilalah-nya
Nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat ditakwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari 1, baik karena lafadznya musytarak atau homonym atau susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, sepeti dilalah isyaratnya iqtidhanya dan sebagainya. Para ulama’ selain berbeda pendapat tentang nash Al-Qur’an mengenai penetapan yang qoth’I dan dzonni dilalah juga berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang termasuk qoth’I atau dzonni dilalah.

Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yang qoth’I itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’ yang qoth’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qoth’I masih bergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagiannya dzonni. Dalil-dalil syara’ yang bergantung pada dalil yang dzonni menjadi dzonni pula. (Asy-Syatibi,1975,1:35).

5.      Sikap Para Ulama’ Ketika Zhahir Ayat Al-Qur’an Berhadapan Dengan Sunnah
Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunnah seperti sunnah yang mentakshish keumuman dilalah Al-Qur’an.  Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan.  Imam Syafi’I, Imam Hambali, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam As-Sunnah, karena Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsish terhadap ayat-ayat mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas.

Semua lafadz ‘Amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada keterangan dalam Hadits meskipun menyalahi zhahir ayat tersebut harus, di takhshis dengan Sunnah.  Adapun Abu Hanifah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafadz umum yang ada dlaam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya.  Jika ada Sunnah yang mutawatir atau yang masyhur, Sunnah tersebut yang bisa men-takhshishnya.  Namun jika Sunnahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya karena Al-Qu’an itu qath’I ke mutawatirannya.  Menurutnya, hadits Ahad tudak bisa dipakai men-takhshish  Al-Qur’an karena tidak shahih dinisbathkan pada Nabi. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshis sunnah terhadap Al-Qur’an dibagi dua yaitu:
a.       As-Sunnah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an , yakni As-Sunnah sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud bayat yang ada dalam Al-Qur’an.  As-Sunnah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
b.      Al-Qur’an sebagai hakim bagi sunnah, yakni Sunnah tidak dianggap sahih jika bertentangan dengan Al-Qur’an termasuk di dalamnya khabar Ahad.

Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-Qur’an, juga terjadi pada golongan Sunni atau Syi’I.  Kaum Sunni memahami dilalah Al-Qur’an melalui Sunnah.  Jika tidak ditemukan dalam sunnah, mereka memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan Ilmu Syari’at dengan mengambil maqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.

Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak seorang pun yang mampu memahami Al_Qur’an selain Imam mereka yang dua belas.  Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak ada yang mampu mencapainnya.  Selain itu, mereka juga dianggap ma’shum terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II : 59-60)[7]

B.     As-Sunnah
Al qur’an merupakan sumber utama dalam pengambilan hukum dalam agama islam, al qur’an merupaka sumber utama yang sempurna dan penuh dengan keistimewaan.  Kesempurnaa dan Keistimewaan al qur’an perlu di pahami oleh seorang yang ahli, sekaligus menjadi utusan dalam dari yang maha kuasa dan yang menurunkan Al Qur’an, untuk mentilawah, mentazkiyah, dan mengajarkan segala ilmu yang terkandung dalam al qur’an. Segala macam penjelesannya dapat terungkap dalam perbuatan, perkataan, bahkan taqrir sang utusan. Itulah yang disebut dengan sunnah atau hadist. Dalam hal ini, hadis menjadi sumber hukum kedua dalam penetapan hukum islam, hadis merupakan penjelas hukum yang tidak diperinci dalam Al qur’an.
1.      Pengertian As-sunnah

As-sunnah menurut bahasa adalah الطريقة والسيرة حميدة كانث أو ذميمة[8] yang artinya perilaku seorang tertentu baik perilaku baik atau perilaku buruk. Dalam konteks yang lain Rasulullah SAW bersbda:

عن جرير بن عبد الله قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم مَن سَنَّ في الاسلام سُنَّةً حسنة فعمل بها بعده كُتِب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقض من أجورهم شيئ ومن سن في الاسلام سُنة سَيئَةً فعمل بها بعده كُتب عليه مثل  وِزن من عمل بها ولا ينقض من اوزارهم شئ
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah R.A, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melakukan suatu sunnah yang baik di dalam islam, kemudian sunnah  itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, mka diberikan kepadanya seperti pahala yang  mengikuti sunnah itu tanpa sedikitpun dikurangi dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan suatu sunnah buruk di dalam islam, kemudian sunnah itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya,, maka dipikulkan kepadanya seperti dosa orang-orang yang menngikuti sunnah itu, tanpa sedikitpun sedikitpun dikurangi dari dosa mereka[9].
Sedangkan As-sunnah menurut syar’I ialah perkataan, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasulullah.[10]Dengan hal ini dapat kita ketahui juga bahwasanya As-sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al Qur’an. Pendapat ini juga telah diperkuat dengan adanya dalil Al Qur’an yang menerangkan, bahwa As-sunnah merupakan penjelas dan perinsi dari ayat Al Qur’an yang bersifat umum. Sesuai dengan firman Allah SWT:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Artinya: Dan kami tidak menurunkan kitab (Al Qur’an) ini kepada mu (Muhammad), melainkan agar enngkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bai orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-nahl: 64)[11]
Makna dalam As-sunnah juga dapat kita lihat daari beberapa disiplin ilmu, ketiganya tersebut ialah:[12]
a.       Menurut para ahli hadis, As-sunnah sama dengan hadis, yaitu: sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.
b.      Menurut para ahli ushul fiqh, As-sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu masalah.
c.       Menurut para ahli fiqh, makna As-sunnah mengandung dua pengertian, yang pertama sama dengan apa yang dimaksud dengan ulama ahli ushul fiqh. Sedangkan yang kedua ialah, suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pandangan yang kedua ini, sunnah merupakan salah satu dari ahkam at-taklifi yang lima, yaitu. Wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Meskipun As-sunnah dalam tiga pandangan itu berbeda. Tapi para ulama tetap sepakat bahwa hanya Rasulullah-lah yang dapt menjadi sumber sunnah.

2.      Pembagian As-sunnah

Dari beberapa definisi diatas juga dapat kita simpulkan bahwa As-sunnah dapat terbagi menjadi beberapa bagian, pertama: pembagian As-sunnah dari segi bentuknya. Kedua: pembagian As-sunnah dari segi Kualitasnya.

a.      Pembagian As-sunnah dari segi bentuknya
Dari definisi-definisi yang telah di ungkapkan di atas dapat kita simpulkan bahwa sunnah dari segi bentuknya dapat dibedakan menjadi tiga macam. Yaitu:
1)      Sunnah Qauliyah
Adupun yang yang di maksud dengan sunnah adalah sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah SAW melalui lisan beliau yang didengar dan dipahami oleh para sahabat beliau dan periwayatan tersebut dilanjutkan dari satu generasi ke generasi lainnya[13]. Dalam literature yang lain juga di sebutkan bahwa sunnah yaitu: Hadits-Hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh sebagaimana diucapkan oleh Rasulullah SAW.[14] Adapun contoh dari sunnah qauliyah ialah:
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم حتىي يحب لآخيه ما يحب لنفسه
Artinya: Dari SAW, beliau bersabda: “belum beriman salah seorang dari kamu, sebelum ia mencaintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.

Dalam periwayatan sunnah qauliyyah, di antara para sahabat yang mendengar sabda Rasulullah SAW, ada yang mengutip dan menyanpaikan dan meriwayatkannya kepada orang lain persis sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Akan tetapi ada pula perawi yang menyampaikan dan meriwayatkan sabda beliau itu kepada orang lain hanya dari segi maknanya saja.sesuai dengan pemahamanya ketika mendengar sabda tersebut. Oleh karena itu, periwayatan yang dilakukan terhadap ucapan Nabi SAW di atas dapat dibagi menjadi dua, yaitu: riwayah bi al-lafz (periwayatan hadis yang redaksinya persis sesuai dengan dengan yang dicuapkan Nabi SAW), dan riwayah bi al-ma’na (periwayatan hadis yang redaksinya berasal dari perawi, tetapi maknanya sama). Hal ini juga menjadi alas an mengapa banyak sunnah qauliyah, antara satu hadis dengan hadis yang lain berbeda redaksinya, padahal membicarakan suatu permasalahan yang sama.

2)      Sunnah Fi’liyah
sunnah fi’liyah ialah, semua gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang dilihat dan diperlihatkan oleh para, sahabat beliau, yang kemudian diberikan dan diriwayatkan kepada sahabat lainnya secara berkelanjutan dari generasi kepada generasi lainya,[15] contoh sunnah fi’liyyah
عَن عَبَّاد بن تميم عن عمه قال رايت النبي صلى الله عليه وسلم يوم خرج يستسقي قال فخول الى الناس ظَهرَهُ واستقبل القبلة يد عو ثم حول رداءه ثم صلى لنا ركعتين جهرفهما بالقراءه
Artinya: Dari Ubbad bin Tamim, dari pamanya, ia berkata: “saya melihat Rasulullah SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan sholat gerhana matahari, katanya: “maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap qiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau sholat bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bancaannya pada kedua rakaan itu”
Sunnah fi’liyah pada dasarnya dapat dibagi kepada tiga bagian, sebagai berikutnya,
a)      Gerak gerik, perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Misalnya tatcara shalat, puasa, haji, transaksi dagang dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah  ibadah dan muamalah pada umumnya. Para ulama’ sepakat, kedua hal itu merupakan perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, bersifat umum, berlaku bagi beliau dan umatnya. Perbuatan yang termasuk dalam kelompok pertama ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al qur;an maupun dari sifat perbuatan Rasululah SAW tersebut, yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bagian dari ajaran agama.
b)      Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasululah SAW. misalnya, beristri lebih dari empat orang. Wajib melaksanakan sholat tahajjud, sholat dhuha, dan berkurban, di mana terdapat banyak petunjuk yang menyatakan  bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hanya merupakan khususyiyah bagi Bagi Rasulullah, maka perbuatan tersebut berlaku bagi umat beliau. Berkaitan dengan contoh-contoh ibadah di atas, bagi beliau hukum melaksanakannya adlah wajib, sedang bagi umatnya hanya sunnah saja. Bahkan tentang beristri lebih dari empat orang, bagi umaynya adalah haram.
c)      Perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW sebagai manusia biasa. Misalnya, caara makan dan minum, cara berpakaian, berdiri, duduk, berjalan, cara dan gaya berbicara beliau dan hal-hal yang biasa beliau lakukan sebagai manusia biasa, dan yang sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masa itu.
Para ulama berbeda pendapat, apakah kedudukan perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW sebagai manusia biasa dia ats sebagai bagian dari ajaran Islam yang perlu diikuti atau tidak. Sebagian ulama berpedapat, perbuatan tersebut merupakan bagian dari sunnah Rasulullah SAW. hanya saja, hukum mengikutinya  tidak wajib. Tetapi hanya sunnah saja . sebagian ulama lainnya berpendapat, perbuatan tersebut tidak merupakan bagian dari sunnah, karena merupakan adat, kebiasaaan dari kedudukan Rasulullah sebagi manusia biasa.
3)      Sunnah Taqririyah
sunnah taqririyah merupakan adalah sikat persetujuan Rasulullah SAW mengenai suatu peristiwa yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, di mana terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut.
عن خالد بن الوليد قال أتي النبي صلىالله عليه وسلم بِضَنٌ  مَشوِيٌ فأهوى إليه لياكل فقيل له إنه ضب فأمسك يده فقال خالد أحرام هو قال لا ولكنه لا يكون بأرض قومي فأجدني أعافه فاكل خالد ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر  
Artinya: Dari Khalid bin walid R.A berkata: kepada Nabi SAW dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau, kemudian ada yang berkata kepada beliau: “itu adalah dhabb”, maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “apakah haram memakannya.?” Beliau menjawab: “tidak, tetapi binatang jenis itu tidak bisa ditemukan di daerah saya, maka tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang Rasulullah SAW memandanginya.

b.      Pembagian As-sunnah dari segi kualitasnya
Meskipun sunnah sudah terbagi menjadi sunnah qauliyyah, fi’liyyah, dan taqririyah belom tentu kualitas yang ada pada sunnah-sunnah tersebut sama dalam sei kualiatasnnya, karena setiap kualitas yang ada dalam setiap sunnah berbeda pada faktor jumlah yang meriwayatkan suatu sunnah, keterpercayaan pada masing-masing perawi, baik segi ingatan, kejujuran dan keadilan[16]. Serta keterkaitan periwayatan suatu sunnah sejak dari Rasullah sampai kepada orang yang terakkhir meriwayatkannya. Oleh Karena itu suatu hadis dapat dinilai dari berbagai segi.
As-sunnah dilihat dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan suatu sunnah, para ulama’ membagi kualitas suatu sunnah menjadi tuga tingkatan, yaitu, sebagai berikut.
1)      Mutawatirah: yaitu, sunnah yang diriwayatkan oleh sejumlah orang perawi secara berkesinambungan dari satu generasi kegenerasi lainnya, di mana berdasarkan  logika dan kebiasaan, banyak jumlah  perawi pada masing-masing generasi tersebut tidak memungkinkan mereka sepakat berdusta untuk merekayasa sunnah tersebut.
2)      Masyhurah: sunnah yang diriwayatkan dari satu generasi ke generasi lainnya secara berkesinambungan, di mana pada generasi awalnya, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatirah, tetapi pada generasi berikutnya, jumlah oerawinya sedemikian banyak sehingga mencapai tingkat perawi mutawatirah
3)      Ahad: yaitu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinambungan dari generasi awal kepada generasi selanjutnya sampai generasi terakhir, tetapi sejak generasi awal, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja, sehingga tidak mencapai tingkat masyhurah, apalagi mutawatirah.

Sementara kalau sunnah di tinjau dari segi keterpercayaan pada perawinya, kualitas suatu sunnah dapat dibedakan kepada empat tingkatan.

1)      Shahih, yaitu: suatu sunnah yang diriwayatkakn secara berkesinambungan dari satu perawi ke perawi lainnya, di mana setiap perawi memiliki sifat adil dan kuat ingatanntnya dan sunnah yang diriwayatkan tidak mengandung keanehan dibandingkan sunnah lainnya, dan tidak pula cacat.
2)      Hasan, yaitu: sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat ingatannya, tetapi tingkat kekuatan ingatan perawinya lebih rendah dari pada tingkatan kekuatan ingatan perawi sunnah shahih, jadi perbedaaan keduannya terletak pada rendah dan tinngginya kekuatan ingatan perawinya. Tingkat sunnah ini dapat meningkat kepada sunnah shahih lighairiha, yang bersifat menguatkan kedudukannya. Dengan demikian, sunnah ini tidak dengan sendirinya berubah menjadi sunnah shahih, tetapi karena ditopang oleh jalur periwayatan dari perawi lainnya.
3)      Dha’if, yaitu: sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak memenuhi kriteria perawi sunnah yang shahih dan hasan. Apabila diperinci lebih jauh, sunnah dho’if adalah sunnah yang tidak memenuhi salah satu dari lima syuruth al-qabul (syarat-syarat untuk dapat diterima). Oleh sebab itu sebuah sunnah disebut dengan sunnah dho’if karena tidak terpenuhinya syarat ittshal (sanad-nya tidak tersambung), atau karena perawinya tidak dhabith, atau karena tidak memenuhi syarat ‘adalah atau karena ia aneh (asy-syudzudz) dibandingkan dengan sunnah yang shahih lainnya, atau karena bercacat.
4)      Maudhu’ (palsu) yaitu: khabar yang direkayasa dan dipalsukan oleh pemalsu sunnah, sehingga seolah-oleh berasal dari Rasulullah SAW, baik dengan iktikad baik maupun karena sengaja hendak merusak ajaran Islam dari dalam. Mengingat bahaya yang ditimbulkan dalam islam, sebagian ulama’ tidak mengelompokkan ke dalam tingkatan sunnah/hadis/khabar. Jika tidak karena hendak membedakan dari khabar lainnya, para ulama’ tidak setuju menyebutnya sebagai sunnah/hadis/khabar.



3.      Kedudukan As-sunnah sebagai sumber hukum islam
Setelah kita mengetahui beberapa hal yang berkaitan tentang pengelompokan hadis di atas, sekarang kita akan membahas beberapa hal tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam, setidaknya kita dapat melihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat islam mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al qur’an.[17]
a.      Kedudukan As-sunnah dari segi kewajiban umat islam mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW
Dalam ayat Al qur’an, Allah SWT memerintahkan kepada kita agar menaruh kepatuhan kepada-Nya sama dengan kepatuhan kepada Rasulnya. Allah SWT berfirman dalam ayat Al qur’an:

`¨B ÆìÏÜムtAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ  
Artinya: Barang siapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S An-Nisa’ : 80)

Demikian pula dalam surat An-Nisa’ ayat 59.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An-Nisa’: 59)[18]

Berdasarkan kutipan di atas dapat kita lihat, bahwa sangat jelas bahwa kepatuhan kepada Allah SWT tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah SAW. Secara logika, ketaatan kepada Allah adalah mengikuti semua perintah-Nya dengan merealisasikan dalam kekhidupan. Perintah-perintah-Nya adalah wahyu yang tertuang di dalam Al qur’an. Dengan demikian, ketaatan kepada kepada Rasulullah SAW, berarti mengikuti sunnah-sunnahnya. Sunnah-sunnah Rasulullah merupakan contoh teladan yang dijelaskan melalui semua perkataan, perbuatan, dan taqrir-nya yang disampaikan melalui perawi yang adil, dhabith, dan tsiqah dengan jalan rangkaian sanad yang bersambung dan  matan yang tidak cacat dan serasi dengan Al qur’an.[19] Dalam hal ini, tentu saja ketika kita mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh Allah. Bahkan Al qu’ran menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Disisi lain, tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh kepada ajaran-ajarang Al qur’an  sebagai wahyu Allah, tanpa mempercayai kebenaran Rasulullah SAW dan mematuhi beliau. Sebab, sampainya Al qur’an kepada manusia melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada beliau.

b.      Kedudukan As-sunnah dari segi fungsi sunnah terhadap Al qur’an
Sebagaimana yang telah dijelaskan, ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang hukum sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-hal yang pokok dan dasar. Sebagaimana selayaknya undang-undang dasar suatu Negara yang juga mengatur hal-hal yang dasar dan pokok. Al qur’an sendiri menjelaskan fungsi sunnah yang dominan adalah sebagai penjelas terhadap Al-qur’an hal ini disebutkan dalam firman Allah:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ  
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
Berdasarkan fungsi sunnah terhadap Al qur’an, maka dengan ini dapat kita ketahui bahwasanya sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber dan dalil hukum islam, setelah Al qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama.
Secara lebih terperinci, fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap Al qur’an terdiri dari beberapa kategori:[20]
1)      Menjelaskan maksud Ayat-ayat Hukum Al qur’an
a)      Memperinci ketentuan-ketentuan hukum Al qur’an yang disebut secara garis besar.
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4……… ÇÊÊÉÈ  
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Demikian perincianya waktu-waktu sholat, diterangkan dalam sunnah-sunnah.
b)      Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al qur’an.
2)      Men-tahshih Ayat-ayat Al qur’an yang bersifat umum
Ayat al qur’an menyebutkan secara umum bahwa warisan anak laki-laki dan perempuan adalah: 1 banding 2, sebagai mana tersebut dalam surat An-nisa ayat 11.
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ….. ÇÊÊÈ  
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian dua orang anak perempuan…… (Q.S. An-nisa ayat 11)

3)      Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al qur’an.
Para ulama’ menyebut fungsi ini dengan istilah ta’qid wa taqrir. Misalnya Al qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa dan menunaikan zakat, maka sunnah mengukuhkannya dengan penegasan Rasulullah berupa hadis.

4)      Menetapkan hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat didalam Al qur’an
Para ulama’ menyebut fungsi ini dengan istilah itsbat wa insya’. Akan tetapi, jika diperhatikan dengan lebih jauh, meskipun bahwa Rasulullah  SAW menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al qur’an , namun pada hakekatnya, ketentuan yang ditetapkan Rasulullah SAW tersebut sudah terdapat di dalam Al Qur’an.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dan sebagai sumber hukum Islam yang pertama dan utama dalam menentukan hukum fiqih. As-Sunnah merupakan perbuatan maupun perkataan Rasulullah saw., dan sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Serta segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu, yang berlandaskan pada Al-qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril, membacanya di nilai sebagai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya



DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh Al-Islami, Beirut. Dar Al-Fikr. Juz 1. 1986.
Ash-Shaabuniy, Muhammad Ali, Studi Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2013.
Rahman, M.A,  Abd.  Dahlan. Ushul Fiqh. Amzah. Jakarta. Cet. Kedua.  2011.
Saebani, Drs Ahmad, M.Si, Drs. H.  Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung: 2008
Shihab, M.Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2013.
Syafe’i , Rachmat, Ilmu ushul Fiqh, Bandung:Pustaka Setia, 2010.
Yunus , Dr. Muhammad kabir. مباحث في أصول الفقه. Darul shofwah. 2007.



[1] Al Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 77
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka Setia, 2010) hlm.49-51
[3] Muhammad Ali Ash-Shaabuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[4] M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan Pustaka, 2013) hlm. 27
[5] Ibid. hal 29
[6] Ibid.
[7] Rachmat Syafe’I, Op. Cit. Hlm. 51-59
[8]Dr. Muhammad kabir yunus. مباحث في أصول الفقه. Darul shofwah. 2007. Hal, 25
[9] Dr. H. Abd. Rahman, M.A. Dahlan. Ushul Fiqh. Amzah. Jakarta. 2011. Cet. Kedua. Hal. 131.
[10] Dr. Hasbiyallah, M.Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2013. Hal. 21.
[11] Al Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 273
[12] Dr. H. Abd. Rahman, M.A. Dahlan. Ushul Fiqh. Op.Cit. hal 131
[13] Ibid. hal. 132
[14] Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut. Dar Al-Fikr. 1986. Juz I. hal. 450.
[15]Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. Op. Cit. hal. 133
[16] Ibid. hal. 136
[17] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. Op. Cit. hal. 138
[18] Al Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 87
[19] Drs Ahmad Saebani, M.Si. Drs. H.  Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung: 2008. Hal. 153
[20] Ibid. hal 141

0 komentar:

Posting Komentar