kedudukan Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan
al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur
utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban
pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum
islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “
Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad
sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist. Tapi dalam
hal ini kami akan membahas sumber yang meliputi Al qur’an dan Al hadis. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca umunya, dan bagi penulis khususnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
pengertian Al Qur’an dan AS sunnah?
2.
Bagaimanakah
kedudukan Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum islam?
C.
Tujuan
1.
Agar
mengerti dari hakekat Al Qur’an dan AS sunnah.
2.
Agar
dapat memahami fungsi dari Al Qur’an dan AS sunnah dalam penempatan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al qur’an
1.
Definisi Al-Qur’an
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Qur’an berdasarkan segi
bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “qara’a” yang bisa dimasukkan wazan
fu’lan, yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, seperti terdapat
dalam surat Al-Qiyamah (75) : 17-18 :
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya apabila Kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”[1]
Adapun definisi Al-Qur’an secara terminologi, menurut sebagian
besar ulama ushul Fiqh adalah sebagai berikut: “Kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi
sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf
: dimulai dari surat Al-fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas”
Dari definisi di atas para ulama ushul fiqh menyimpulkan beberapa
ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: (Asy-Syaukani : 26-27) :
a.
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah
dan tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak dinamakan Al-Qur’an,
seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga
kitab tersebut memang termasuk diantara kalam Allah, tetapi bukan diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sehingga tidak dapat disebut Al-Qur’an.
b.
Bahasa
Al-Qur’an adalah bahasa arab Quraisy.
Seperti ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain:
As-Syu’ara(26) : 192-195 ; Yusuff(12): 2 ;Az-Zumar(39):28; An-Nahl(16):103; dan
Ibrahim(14):4, maka para ulama sepakat bahwa penafsiran dan terjemahan
Al-Qur’an tidak dinamakan Al-Qur’an serta tidak bernilai ibadah
membacanya. Dan tidak sah shalat dengan
hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur’an, sekalipun ulama hanafiyah
membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat
rukhshah (keringanan hukum).
c.
Al-Qur’an
ini dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan
oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk
berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun. (Al-Bukhari :24).
d.
Membaca
setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah, baik bacaan itu
berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.
e.
Al-Qur’an
dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Tata urutan surat yang terdapat dalam
Al-Qur’an, disusun sesuai dengan petunjuk Allah melalui malaikat jibril kepada
Nabi Muhammad SAW, tidak boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya
ditambahkan di akhir Al-Qur’an, tidak termasuk Al-Qur’an.[2]
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya(mukjizat),
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan rasul dengan
perantaran malaikta Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat An-Nas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita
secara mutawatir(oleh orang banyak) serta mempelajarinya merupakan suatu
ibadah.
Definisi tersebut telah disepakati oleh para ulama dan ahli
ushul. Allah menurunkan Al-Qur’an agar
dijadikan Undang-undang bagi umat manusia dan petunjuk atas kebenaran Rasul dan
penjelasan atas kenabian dan kerasulannya.
Juga sebagai alasan (hujjah) yang kuat di hari kemudian bahwa Al-Qur’an
itu benar-benar diturunkan dari Zat Yang Maha Bijaksana lagi terpuji. Nyatalah bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat yang
abadi yang menundukkan semua generasi dan bangsa sepanjang masa.[3]
2.
Keotentikan Al-Qur’an
Al-Qur’an Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan
sifat. Salah satu diantaranya adalah
bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan ia adalah
kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu
nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan
Al-Qur’an dan Kamilah Pemelihara-PemeliharaNya) Q.S. Al-Hijr : 9
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S Q.S. Al-Hijr : 9)
Demikianlah Allah
menjamin keotentikan Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan
dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh
makhluk-makhluk-Nya, terutama manusia. Dengan
jaminan ayat di atas, setiap Muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan
didengarnya sebagai Al-Qur’an tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah
dibaca oelh Rasulullah SAW, dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat
Nabi Muhammad SAW.[4]
3.
Kehujjahan Al-Qur’an menurut pandangan ulama Imam madzhab
a.
Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber hukum Islam. Namun,
menurut sebagian besar ulama Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur
ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafadz dan maknanya atau maknanya
saja. Diantar dalil yang menunjukkan
pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia
membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab, misalnya
dengan bahasa Persi walaupun tidak dalam keadaan madharat. Padahal menurut Imam Syafi’I sekalipun
seorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan selain
Arab.
b.
Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang
lafadz dan maknanya dari Allah Swt. Ia bukan makhluk karena kalam Allah
termasuk sifat Allah. Sesuatu yang
termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat
kafir zindiq terhadap orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk
menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata
“Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan
Al-Qur’an (dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf
(sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Qur’an sesempit mungkin
karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwattha
dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam
cara menggunaka ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Al-Imran, petunjuk lafadz yang terdapat
dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang
dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat
mutasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak
dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafadz dan nash. Imam Malik menyepakati pendapat ulama-ulama
lain bahwa lafadz nash itu adalah lafadz yang menunjukan makna yang jelas dan
tegas (Qath’i) yang secara pasti tidak memiliki makna lain, sedangkan lafadz
zahir adalah lafadz yang menunjukkan makna jelas, namun masih mempunyai
kemungkinan makna lain. Menurut Imam
Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafadz nash di dahulukan
daripada lafadz zahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qoth’i ,
sedangkan dilalah zahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan
antara keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu di ingat
adalah makna zahir disini adalah makna zahir menurut pengertian Imam Malik.
c.
Pandangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’I sebagaimana para ulama’ lainnya, menetapkan bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau
berpendapat “tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali
petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an” (Asy-Syafi’I, 1309:20). Oleh karena itu,
Imam Syafi’I senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali
mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, metode deduktif.
Namun Imam Syafi’I menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan
dari As Sunnah, karena kaitan antar keduannya sangat erat sekali. Kalau para
ulama’ lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Qur’an
kemudian As Sunnah, maka Imam Syafi’I berpendapat bahwa sumber hukum Islam
pertama itu Al-Qur’an dan As Sunnah, sehingga seakan-akan beliau menganggap
keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya Imam Syafi’I pada beberapa tulisannya yang lain tidak
menganggap bahwa Al-Qur’an dan As Sunnah berada dalam satu martabat, namun
kedudukan As Sunnah itu setelah Al-Qur’an tapi Imam Syafi’I menganggap bahwa
keduanya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa diantara keduanya
terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As Sunnah merupakan penjelas
berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Kemudian Imam Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa
Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan dalam Al-Qur’an terdapat bahasa
‘Ajam (luar Arab) diantara pendapatnya Firman Allah SWT yang artinya “Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an
berbahasa Arab”.
Dengan demikian, tak heran bila Imam Syafi’I dalam berbagai
pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam sholat,
nikah, dan ibadah-ibadah yang lainnya dan beliau pun mengharuskan penguasaan
bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan mengistinbat hukum dari
Al-Qur’an (Abu Zahrah: 191-197).
d.
Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Qur’an merupakan sumber dan tianngnya syariat islam, yang didalamnya
terdapat berbagai kaidah yang tidaka akan berubah dengan perubahan zaman dan
tempat.[5] Al-Qur’an juga mengandung hukum-hukum global
dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap
berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal sebagaimana ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an itu
sebagai sumber pokok islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun, seperti
halnya Imam Syafi’I, Imam Hambali memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan
yang kuat disamping Al-Qur’an, sehingga tak jarang beliau menyebutkan bahwa
sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunnah
dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an, Imam Hambali betul-betul
mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunnah (Nabi Muhammad SAW.), dan
sikapnya dapat diklasifiksaikan menjadi tiga :
1)
Sesungguhnya
zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunnah
2)
Rasulullah
SAW saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorang pun yang
berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an, karena As-Sunnah telah cukup
menafsirkan dan menjelaskannya.
3)
Jika
tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabat lah
yang dipakai, karena mereka lah yang menyaksikkan turunnya Al-Qur’an dan
mendengarkan takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunnah yang
mereka gunakan sebagai penafsir Al-Qur’an.
4.
Petunjuk (Dilalah) Al-Qur’an
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
syara’. Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Qur’an dari segi wurud
(kedatangan) dan tsubut (penetapannya) adalah qath’i. hal ini karena semua
ayatnya sampai kepada kita dengan jalan mutawattir. Kalaupun ada sebagian
sahabat yang mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada
qira’ah mutawattir, hal itu hanya merupakan penjelasan dan penafsiran terhadap
Al-Qur’an yang di dengar dari Nabi SAW. Atau hasil ijtihad mereka dengan jalan
membawa nash mutlaq pada muqayyad dan hanya untuk dirinya sendiri.[6]
Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut termasuk qira’at
gair mutawatir yang periwayatannya tersendiri. Diantara para sahabat yang
mencantumkan beberapa kata pada mushaf-nya itu adalah Abdullah Ibn Mas’ud.
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Qur’an itu
dapat di bagi menjadi dua bagian:
a.
Nash
yang Qath’I dilalah-nya
Nash
yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di takwil, tidak mempunyai makna yang
lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain diluar nash itu sendiri. Contoh
yang dapat dikemukakan disini adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian
waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak 100
kali dera dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal tersebut maknanya tegas
dan jelas menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak
memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972:35).
b.
Nash
yang Dzanni dilalah-nya
Nash
yang menunjukkan suatu makna yang dapat ditakwil atau nash yang mempunyai makna
lebih dari 1, baik karena lafadznya musytarak atau homonym atau susunan
kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, sepeti dilalah isyaratnya
iqtidhanya dan sebagainya. Para ulama’ selain berbeda pendapat tentang nash
Al-Qur’an mengenai penetapan yang qoth’I dan dzonni dilalah juga berbeda
pendapat mengenai jumlah ayat yang termasuk qoth’I atau dzonni dilalah.
Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan
sendirinya dapat menunjukkan dilalah yang qoth’I itu tidak ada atau sangat
jarang. Dalil syara’ yang qoth’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang
qoth’I masih bergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagiannya
dzonni. Dalil-dalil syara’ yang bergantung pada dalil yang dzonni menjadi
dzonni pula. (Asy-Syatibi,1975,1:35).
5.
Sikap Para Ulama’ Ketika Zhahir Ayat Al-Qur’an Berhadapan Dengan
Sunnah
Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi
karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunnah
seperti sunnah yang mentakshish keumuman dilalah Al-Qur’an. Dalam hal ini, para ulama berbeda
pandangan. Imam Syafi’I, Imam Hambali,
dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an mesti disesuaikan
dengan keterangan yang ada dalam As-Sunnah, karena Sunnah berfungsi sebagai
penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsish terhadap ayat-ayat
mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas.
Semua lafadz ‘Amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada
keterangan dalam Hadits meskipun menyalahi zhahir ayat tersebut harus, di
takhshis dengan Sunnah. Adapun Abu
Hanifah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafadz umum yang ada dlaam
Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada Sunnah yang mutawatir atau yang
masyhur, Sunnah tersebut yang bisa men-takhshishnya. Namun jika Sunnahnya tidak mutawatir,
Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya karena Al-Qu’an itu qath’I ke
mutawatirannya. Menurutnya, hadits Ahad
tudak bisa dipakai men-takhshish Al-Qur’an
karena tidak shahih dinisbathkan pada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai
takhshis sunnah terhadap Al-Qur’an dibagi dua yaitu:
a.
As-Sunnah
sebagai hakim terhadap Al-Qur’an , yakni As-Sunnah sebagai tafsir dan penjelas
maksud-maksud bayat yang ada dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an yang tidak
mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
b.
Al-Qur’an
sebagai hakim bagi sunnah, yakni Sunnah tidak dianggap sahih jika bertentangan
dengan Al-Qur’an termasuk di dalamnya khabar
Ahad.
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-Qur’an,
juga terjadi pada golongan Sunni atau Syi’I.
Kaum Sunni memahami dilalah Al-Qur’an melalui Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam sunnah, mereka
memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan Ilmu Syari’at dengan mengambil
maqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.
Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak seorang
pun yang mampu memahami Al_Qur’an selain Imam mereka yang dua belas. Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas
tersebut sebagai kunci dalam memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak
ada yang mampu mencapainnya. Selain itu,
mereka juga dianggap ma’shum terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II : 59-60)[7]
B.
As-Sunnah
Al qur’an merupakan sumber utama dalam pengambilan hukum dalam
agama islam, al qur’an merupaka sumber utama yang sempurna dan penuh dengan
keistimewaan. Kesempurnaa dan
Keistimewaan al qur’an perlu di pahami oleh seorang yang ahli, sekaligus
menjadi utusan dalam dari yang maha kuasa dan yang menurunkan Al Qur’an, untuk
mentilawah, mentazkiyah, dan mengajarkan segala ilmu yang terkandung dalam al
qur’an. Segala macam penjelesannya dapat terungkap dalam perbuatan, perkataan,
bahkan taqrir sang utusan. Itulah yang disebut dengan sunnah atau hadist. Dalam
hal ini, hadis menjadi sumber hukum kedua dalam penetapan hukum islam, hadis
merupakan penjelas hukum yang tidak diperinci dalam Al qur’an.
1.
Pengertian As-sunnah
As-sunnah menurut bahasa adalah الطريقة
والسيرة حميدة كانث أو ذميمة[8]
yang artinya perilaku seorang tertentu baik perilaku baik atau perilaku buruk.
Dalam konteks yang lain Rasulullah SAW bersbda:
عن جرير بن عبد الله قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَن سَنَّ في الاسلام
سُنَّةً حسنة فعمل بها بعده كُتِب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقض من أجورهم شيئ
ومن سن في الاسلام سُنة سَيئَةً فعمل بها بعده كُتب عليه مثل وِزن من عمل بها ولا ينقض من اوزارهم شئ
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah R.A, Rasulullah SAW bersabda: “Barang
siapa melakukan suatu sunnah yang baik di dalam islam, kemudian sunnah itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, mka
diberikan kepadanya seperti pahala yang mengikuti sunnah itu tanpa sedikitpun
dikurangi dari pahala mereka. Dan barang siapa yang melakukan suatu sunnah
buruk di dalam islam, kemudian sunnah itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya,,
maka dipikulkan kepadanya seperti dosa orang-orang yang menngikuti sunnah itu,
tanpa sedikitpun sedikitpun dikurangi dari dosa mereka[9].
Sedangkan As-sunnah menurut syar’I ialah perkataan, perbuatan dan taqrir
(persetujuan) yang berasal dari Rasulullah.[10]Dengan
hal ini dapat kita ketahui juga bahwasanya As-sunnah merupakan sumber hukum
yang kedua setelah Al Qur’an. Pendapat ini juga telah diperkuat dengan adanya
dalil Al Qur’an yang menerangkan, bahwa As-sunnah merupakan penjelas dan
perinsi dari ayat Al Qur’an yang bersifat umum. Sesuai dengan firman Allah SWT:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
Artinya: Dan
kami tidak menurunkan kitab (Al Qur’an) ini kepada mu (Muhammad), melainkan
agar enngkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu,
serta menjadi petunjuk dan rahmat bai orang-orang yang beriman. (Q.S. Al-nahl:
64)[11]
Makna dalam
As-sunnah juga dapat kita lihat daari beberapa disiplin ilmu, ketiganya
tersebut ialah:[12]
a.
Menurut
para ahli hadis, As-sunnah sama dengan hadis, yaitu: sesuatu yang dinisbahkan
kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang
suatu peristiwa.
b.
Menurut
para ahli ushul fiqh, As-sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah
hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun
sikap beliau terhadap suatu masalah.
c.
Menurut
para ahli fiqh, makna As-sunnah mengandung dua pengertian, yang pertama sama
dengan apa yang dimaksud dengan ulama ahli ushul fiqh. Sedangkan yang kedua
ialah, suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, tetapi jika
ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pandangan yang kedua ini, sunnah merupakan
salah satu dari ahkam at-taklifi yang lima, yaitu. Wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah.
Meskipun
As-sunnah dalam tiga pandangan itu berbeda. Tapi para ulama tetap sepakat bahwa
hanya Rasulullah-lah yang dapt menjadi sumber sunnah.
2.
Pembagian As-sunnah
Dari beberapa definisi diatas juga dapat kita simpulkan bahwa
As-sunnah dapat terbagi menjadi beberapa bagian, pertama: pembagian As-sunnah
dari segi bentuknya. Kedua: pembagian As-sunnah dari segi Kualitasnya.
a.
Pembagian As-sunnah dari segi bentuknya
Dari
definisi-definisi yang telah di ungkapkan di atas dapat kita simpulkan bahwa
sunnah dari segi bentuknya dapat dibedakan menjadi tiga macam. Yaitu:
1)
Sunnah
Qauliyah
Adupun yang yang di maksud dengan sunnah adalah sesuatu yang
diucapkan oleh Rasulullah SAW melalui lisan beliau yang didengar dan dipahami oleh
para sahabat beliau dan periwayatan tersebut dilanjutkan dari satu generasi ke
generasi lainnya[13].
Dalam literature yang lain juga di sebutkan bahwa sunnah yaitu: Hadits-Hadits
yang diucapkan langsung oleh Nabi saw dalam berbagai kesempatan terhadap
berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang
utuh sebagaimana diucapkan oleh Rasulullah SAW.[14]
Adapun contoh dari sunnah qauliyah ialah:
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا
يؤمن أحدكم حتىي يحب لآخيه ما يحب لنفسه
Artinya: Dari SAW, beliau bersabda: “belum beriman salah seorang
dari kamu, sebelum ia mencaintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”.
Dalam periwayatan sunnah qauliyyah, di antara para sahabat yang
mendengar sabda Rasulullah SAW, ada yang mengutip dan menyanpaikan dan meriwayatkannya
kepada orang lain persis sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Akan
tetapi ada pula perawi yang menyampaikan dan meriwayatkan sabda beliau itu
kepada orang lain hanya dari segi maknanya saja.sesuai dengan pemahamanya
ketika mendengar sabda tersebut. Oleh karena itu, periwayatan yang dilakukan
terhadap ucapan Nabi SAW di atas dapat dibagi menjadi dua, yaitu: riwayah bi
al-lafz (periwayatan hadis yang redaksinya persis sesuai dengan dengan yang
dicuapkan Nabi SAW), dan riwayah bi al-ma’na (periwayatan hadis yang redaksinya
berasal dari perawi, tetapi maknanya sama). Hal ini juga menjadi alas an
mengapa banyak sunnah qauliyah, antara satu hadis dengan hadis yang lain
berbeda redaksinya, padahal membicarakan suatu permasalahan yang sama.
2)
Sunnah
Fi’liyah
sunnah fi’liyah
ialah, semua gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang
dilihat dan diperlihatkan oleh para, sahabat beliau, yang kemudian diberikan
dan diriwayatkan kepada sahabat lainnya secara berkelanjutan dari generasi
kepada generasi lainya,[15]
contoh sunnah fi’liyyah
عَن عَبَّاد بن تميم عن عمه قال رايت النبي صلى الله عليه وسلم يوم
خرج يستسقي قال فخول الى الناس ظَهرَهُ واستقبل القبلة يد عو ثم حول رداءه ثم صلى
لنا ركعتين جهرفهما بالقراءه
Artinya: Dari
Ubbad bin Tamim, dari pamanya, ia berkata: “saya melihat Rasulullah SAW pada
hari beliau keluar untuk melaksanakan sholat gerhana matahari, katanya: “maka
beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap qiblat dan
berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau sholat
bersama kami dua rakaat dengan menjaharkan bancaannya pada kedua rakaan itu”
Sunnah fi’liyah
pada dasarnya dapat dibagi kepada tiga bagian, sebagai berikutnya,
a)
Gerak
gerik, perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya tatcara shalat, puasa, haji, transaksi dagang dan lain-lain yang
berkaitan dengan masalah ibadah dan
muamalah pada umumnya. Para ulama’ sepakat, kedua hal itu merupakan perbuatan
dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu,
bersifat umum, berlaku bagi beliau dan umatnya. Perbuatan yang termasuk dalam
kelompok pertama ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau
sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al qur;an maupun
dari sifat perbuatan Rasululah SAW tersebut, yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu bagian dari ajaran agama.
b)
Perbuatan
yang khusus berlaku bagi Rasululah SAW. misalnya, beristri lebih dari empat
orang. Wajib melaksanakan sholat tahajjud, sholat dhuha, dan berkurban, di mana
terdapat banyak petunjuk yang menyatakan
bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hanya merupakan khususyiyah bagi Bagi
Rasulullah, maka perbuatan tersebut berlaku bagi umat beliau. Berkaitan dengan
contoh-contoh ibadah di atas, bagi beliau hukum melaksanakannya adlah wajib,
sedang bagi umatnya hanya sunnah saja. Bahkan tentang beristri lebih dari empat
orang, bagi umaynya adalah haram.
c)
Perbuatan
dan tingkah laku Rasulullah SAW sebagai manusia biasa. Misalnya, caara makan
dan minum, cara berpakaian, berdiri, duduk, berjalan, cara dan gaya berbicara
beliau dan hal-hal yang biasa beliau lakukan sebagai manusia biasa, dan yang
sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masa itu.
Para ulama
berbeda pendapat, apakah kedudukan perbuatan dan tingkah laku Rasulullah SAW
sebagai manusia biasa dia ats sebagai bagian dari ajaran Islam yang perlu
diikuti atau tidak. Sebagian ulama berpedapat, perbuatan tersebut merupakan
bagian dari sunnah Rasulullah SAW. hanya saja, hukum mengikutinya tidak wajib. Tetapi hanya sunnah saja .
sebagian ulama lainnya berpendapat, perbuatan tersebut tidak merupakan bagian
dari sunnah, karena merupakan adat, kebiasaaan dari kedudukan Rasulullah sebagi
manusia biasa.
3)
Sunnah
Taqririyah
sunnah
taqririyah merupakan adalah sikat persetujuan Rasulullah SAW mengenai suatu
peristiwa yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, di mana terdapat
petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut.
عن خالد بن الوليد قال أتي النبي صلىالله عليه وسلم بِضَنٌ مَشوِيٌ فأهوى إليه لياكل فقيل له إنه ضب فأمسك
يده فقال خالد أحرام هو قال لا ولكنه لا يكون بأرض قومي فأجدني أعافه فاكل خالد
ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر
Artinya: Dari Khalid bin walid R.A berkata: kepada Nabi SAW
dihidangkan makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan
beliau, kemudian ada yang berkata kepada beliau: “itu adalah dhabb”, maka
beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata: “apakah haram memakannya.?”
Beliau menjawab: “tidak, tetapi binatang jenis itu tidak bisa ditemukan di
daerah saya, maka tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya,
sedang Rasulullah SAW memandanginya.
b.
Pembagian As-sunnah dari segi kualitasnya
Meskipun sunnah
sudah terbagi menjadi sunnah qauliyyah, fi’liyyah, dan taqririyah belom tentu
kualitas yang ada pada sunnah-sunnah tersebut sama dalam sei kualiatasnnya,
karena setiap kualitas yang ada dalam setiap sunnah berbeda pada faktor jumlah
yang meriwayatkan suatu sunnah, keterpercayaan pada masing-masing perawi, baik
segi ingatan, kejujuran dan keadilan[16].
Serta keterkaitan periwayatan suatu sunnah sejak dari Rasullah sampai kepada
orang yang terakkhir meriwayatkannya. Oleh Karena itu suatu hadis dapat dinilai
dari berbagai segi.
As-sunnah dilihat
dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan suatu sunnah, para ulama’ membagi
kualitas suatu sunnah menjadi tuga tingkatan, yaitu, sebagai berikut.
1)
Mutawatirah:
yaitu, sunnah yang diriwayatkan oleh sejumlah orang perawi secara
berkesinambungan dari satu generasi kegenerasi lainnya, di mana
berdasarkan logika dan kebiasaan, banyak
jumlah perawi pada masing-masing
generasi tersebut tidak memungkinkan mereka sepakat berdusta untuk merekayasa
sunnah tersebut.
2)
Masyhurah:
sunnah yang diriwayatkan dari satu generasi ke generasi lainnya secara
berkesinambungan, di mana pada generasi awalnya, jumlah perawinya hanya
beberapa orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawatirah, tetapi pada
generasi berikutnya, jumlah oerawinya sedemikian banyak sehingga mencapai
tingkat perawi mutawatirah
3)
Ahad:
yaitu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinambungan dari generasi awal
kepada generasi selanjutnya sampai generasi terakhir, tetapi sejak generasi
awal, jumlah perawinya hanya beberapa orang saja, sehingga tidak mencapai
tingkat masyhurah, apalagi mutawatirah.
Sementara kalau sunnah di tinjau dari segi keterpercayaan pada
perawinya, kualitas suatu sunnah dapat dibedakan kepada empat tingkatan.
1)
Shahih,
yaitu: suatu sunnah yang diriwayatkakn secara berkesinambungan dari satu perawi
ke perawi lainnya, di mana setiap perawi memiliki sifat adil dan kuat
ingatanntnya dan sunnah yang diriwayatkan tidak mengandung keanehan
dibandingkan sunnah lainnya, dan tidak pula cacat.
2)
Hasan,
yaitu: sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat ingatannya,
tetapi tingkat kekuatan ingatan perawinya lebih rendah dari pada tingkatan
kekuatan ingatan perawi sunnah shahih, jadi perbedaaan keduannya terletak pada
rendah dan tinngginya kekuatan ingatan perawinya. Tingkat sunnah ini dapat
meningkat kepada sunnah shahih lighairiha, yang bersifat menguatkan
kedudukannya. Dengan demikian, sunnah ini tidak dengan sendirinya berubah
menjadi sunnah shahih, tetapi karena ditopang oleh jalur periwayatan dari
perawi lainnya.
3)
Dha’if,
yaitu: sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak memenuhi kriteria perawi
sunnah yang shahih dan hasan. Apabila diperinci lebih jauh, sunnah dho’if
adalah sunnah yang tidak memenuhi salah satu dari lima syuruth al-qabul
(syarat-syarat untuk dapat diterima). Oleh sebab itu sebuah sunnah disebut
dengan sunnah dho’if karena tidak terpenuhinya syarat ittshal (sanad-nya tidak
tersambung), atau karena perawinya tidak dhabith, atau karena tidak memenuhi
syarat ‘adalah atau karena ia aneh (asy-syudzudz) dibandingkan dengan sunnah
yang shahih lainnya, atau karena bercacat.
4)
Maudhu’
(palsu) yaitu: khabar yang direkayasa dan dipalsukan oleh pemalsu sunnah,
sehingga seolah-oleh berasal dari Rasulullah SAW, baik dengan iktikad baik
maupun karena sengaja hendak merusak ajaran Islam dari dalam. Mengingat bahaya
yang ditimbulkan dalam islam, sebagian ulama’ tidak mengelompokkan ke dalam
tingkatan sunnah/hadis/khabar. Jika tidak karena hendak membedakan dari khabar
lainnya, para ulama’ tidak setuju menyebutnya sebagai sunnah/hadis/khabar.
3.
Kedudukan As-sunnah sebagai sumber hukum islam
Setelah kita mengetahui beberapa hal yang berkaitan tentang
pengelompokan hadis di atas, sekarang kita akan membahas beberapa hal tentang
kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam, setidaknya kita dapat melihat dari
dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat islam mematuhi dan meneladani
Rasulullah SAW, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al qur’an.[17]
a.
Kedudukan As-sunnah dari segi kewajiban umat islam mematuhi dan
meneladani Rasulullah SAW
Dalam ayat Al qur’an, Allah SWT memerintahkan kepada kita agar
menaruh kepatuhan kepada-Nya sama dengan kepatuhan kepada Rasulnya. Allah SWT
berfirman dalam ayat Al qur’an:
`¨B ÆìÏÜã tAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
Artinya: Barang siapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia
telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S An-Nisa’ : 80)
Demikian pula dalam surat An-Nisa’ ayat 59.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S
An-Nisa’: 59)[18]
Berdasarkan kutipan di atas dapat kita lihat, bahwa sangat jelas
bahwa kepatuhan kepada Allah SWT tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan kepada
Rasulullah SAW. Secara logika, ketaatan kepada Allah adalah mengikuti semua
perintah-Nya dengan merealisasikan dalam kekhidupan. Perintah-perintah-Nya
adalah wahyu yang tertuang di dalam Al qur’an. Dengan demikian, ketaatan kepada
kepada Rasulullah SAW, berarti mengikuti sunnah-sunnahnya. Sunnah-sunnah
Rasulullah merupakan contoh teladan yang dijelaskan melalui semua perkataan,
perbuatan, dan taqrir-nya yang disampaikan melalui perawi yang adil, dhabith,
dan tsiqah dengan jalan rangkaian sanad yang bersambung dan matan yang tidak cacat dan serasi dengan Al
qur’an.[19] Dalam
hal ini, tentu saja ketika kita mematuhi dan meneladani Rasulullah SAW berarti
pula mengikuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh Allah. Bahkan Al qu’ran
menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada
keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Disisi lain,
tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh kepada ajaran-ajarang Al
qur’an sebagai wahyu Allah, tanpa
mempercayai kebenaran Rasulullah SAW dan mematuhi beliau. Sebab, sampainya Al
qur’an kepada manusia melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan oleh
Allah SWT melalui malaikat Jibril kepada beliau.
b.
Kedudukan As-sunnah dari segi fungsi sunnah terhadap Al qur’an
Sebagaimana
yang telah dijelaskan, ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang hukum
sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-hal yang pokok dan dasar.
Sebagaimana selayaknya undang-undang dasar suatu Negara yang juga mengatur
hal-hal yang dasar dan pokok. Al qur’an sendiri menjelaskan fungsi sunnah yang
dominan adalah sebagai penjelas terhadap Al-qur’an hal ini disebutkan dalam
firman Allah:
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
Artinya: Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
Berdasarkan
fungsi sunnah terhadap Al qur’an, maka dengan ini dapat kita ketahui bahwasanya
sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber dan dalil hukum islam, setelah Al
qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama.
Secara lebih terperinci,
fungsi sunnah sebagai penjelas terhadap Al qur’an terdiri dari beberapa
kategori:[20]
1)
Menjelaskan
maksud Ayat-ayat Hukum Al qur’an
a)
Memperinci
ketentuan-ketentuan hukum Al qur’an yang disebut secara garis besar.
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# 4……… ÇÊÊÉÈ
Artinya:
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.
Demikian
perincianya waktu-waktu sholat, diterangkan dalam sunnah-sunnah.
b)
Menerangkan
kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al qur’an.
2)
Men-tahshih
Ayat-ayat Al qur’an yang bersifat umum
Ayat
al qur’an menyebutkan secara umum bahwa warisan anak laki-laki dan perempuan
adalah: 1 banding 2, sebagai mana tersebut dalam surat An-nisa ayat 11.
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ….. ÇÊÊÈ
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian dua orang anak perempuan……
(Q.S. An-nisa ayat 11)
3)
Mengukuhkan
dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al qur’an.
Para
ulama’ menyebut fungsi ini dengan istilah ta’qid wa taqrir. Misalnya Al qur’an
memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa dan menunaikan zakat, maka sunnah
mengukuhkannya dengan penegasan Rasulullah berupa hadis.
4)
Menetapkan
hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat didalam Al qur’an
Para
ulama’ menyebut fungsi ini dengan istilah itsbat wa insya’. Akan tetapi, jika
diperhatikan dengan lebih jauh, meskipun bahwa Rasulullah SAW menetapkan hukum baru yang tidak terdapat
dalam Al qur’an , namun pada hakekatnya, ketentuan yang ditetapkan Rasulullah
SAW tersebut sudah terdapat di dalam Al Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dan sebagai
sumber hukum Islam yang pertama dan utama dalam menentukan hukum fiqih.
As-Sunnah merupakan perbuatan maupun perkataan Rasulullah saw., dan sebagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Serta segala
sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu, yang
berlandaskan pada Al-qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril,
membacanya di nilai sebagai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang
kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain
sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh Al-Islami, Beirut. Dar
Al-Fikr. Juz 1. 1986.
Ash-Shaabuniy, Muhammad Ali, Studi
Ilmu Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung. 2013.
Rahman, M.A, Abd. Dahlan. Ushul Fiqh. Amzah. Jakarta.
Cet. Kedua. 2011.
Saebani, Drs Ahmad, M.Si, Drs. H.
Januri, M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung: 2008
Shihab, M.Quraish, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2013.
Syafe’i , Rachmat, Ilmu ushul
Fiqh, Bandung:Pustaka Setia, 2010.
Yunus , Dr. Muhammad kabir. مباحث في أصول الفقه.
Darul shofwah. 2007.
[1] Al
Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 77
[2]
Rachmat Syafe’i, Ilmu ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka
Setia, 2010) hlm.49-51
[3]
Muhammad Ali Ash-Shaabuniy, Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[4]
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
(Bandung:Mizan Pustaka, 2013) hlm. 27
[5]
Ibid. hal 29
[6]
Ibid.
[7]
Rachmat Syafe’I, Op. Cit. Hlm. 51-59
[9] Dr.
H. Abd. Rahman, M.A. Dahlan. Ushul Fiqh. Amzah. Jakarta. 2011. Cet.
Kedua. Hal. 131.
[10] Dr.
Hasbiyallah, M.Ag. Fiqh dan Ushul Fiqh. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
2013. Hal. 21.
[11] Al
Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 273
[12]
Dr. H. Abd. Rahman, M.A. Dahlan. Ushul Fiqh. Op.Cit. hal 131
[13] Ibid.
hal. 132
[14]
Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Fiqh Al-Islami. Beirut. Dar Al-Fikr. 1986. Juz
I. hal. 450.
[15]Dr.
H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. Op. Cit. hal. 133
[16]
Ibid. hal. 136
[17]
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fiqh. Op. Cit. hal. 138
[18] Al
Qur’an. Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya. Hal. 87
[19]
Drs Ahmad Saebani, M.Si. Drs. H. Januri,
M.Ag. Fiqh Ushul Fiqh. Pustaka Setia. Bandung: 2008. Hal. 153
[20]
Ibid. hal 141
0 komentar:
Posting Komentar